Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sosiolog Ignas Kleden meninggal di Jakarta pada Senin pagi, 22 Januari 2024.
Mundur dari sekolah pastor karena merasa tidak bisa berkhotbah, tapi pandai menulis.
Menulis untuk media nasional, seperti Tempo, di usia 20-an, hingga tutup usia pada 75 tahun.
Suatu hari pada akhir 1960-an, Ignas Kleden kena tegur pastor. Dia dianggap tidak sopan karena melayani misa pribadi memakai sandal, walaupun tetap bertoga panjang. Ignas muda, saat itu calon pastor di sebuah seminari di Flores, Nusa Tenggara Timur, membalas, "Bagaimana Romo bisa tahu bahwa Tuhan lebih suka sepatu daripada sandal?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah bukti kekritisan Ignas, yang saat itu sedang mengantuk. Anak guru di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, itu masuk sekolah calon pastor tersebut berbekal predikat lulusan terbaik di sekolah dasarnya. Setelah beberapa tahun di seminari, Ignas mulai menimbang-nimbang. Satu modal utama pastor adalah berkhotbah. Sementara itu, dia mengaku tidak memiliki keahlian tersebut. Sebaliknya, Ignas menganggap dirinya lebih mampu mengembangkan gagasan lewat tulisan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurang dari setahun menjelang kelulusannya sebagai pastor, Ignas mundur. Dia memilih jalan hidup yang dia yakini sebagai keahliannya: menulis. Selama di Flores, di usia 20-an awal, tulisan-tulisannya telah hadir di berbagai majalah di Yogyakarta dan Jakarta, termasuk Tempo. Produktivitasnya meningkat sejak ia hijrah ke Jakarta pada 1974 dan menjadi kolomnis tetap Tempo.
Ignas Kleden (kanan) dalam diskusi Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) bersama anggota panitia khusus Undang-Undang Pemilu Ganjar Pranowo di Jakarta, 23 Mei 2012. Dok. TEMPO/Dasril Roszandi
Tulisan-tulisannya saat itu kebanyakan seputar sastra dan budaya. Poin yang menjadi ciri karyanya adalah pijakan pada teori, biasanya dari ilmu sosial. Adapun para penulis lainnya, yang waktu itu jauh lebih senior, lebih banyak mendasari kritik mereka dengan rasa.
“Saat banyak kritikus sastra mengkritik sastra Indonesia secara struktural, Ignas Kleden mencoba mengkaji dari sisi sosiologis,” kata sastrawan Maman S. Mahayana. Walhasil, pembahasan suatu karya tidak hanya terpaku pada teks, tapi juga mengulik lebih dalam akar budayanya.
Menurut Maman, penggunaan pisau analisis lintas ilmu itu menjadi sumbangan besar Ignas pada dunia sastra Indonesia. Dia menunjuk Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan yang ditulis Ignas Kleden pada 2004 sebagai buku wajib para pegiat sastra.
OBITUARI Ignatius Nasu Kleden
Kecintaannya pada ilmu-ilmu sosial itulah yang membawa Ignas menggali ilmu di Jerman. Dia meraih gelar master dari Hochschule fuer Philosophie di Muenchen pada 1981, lalu doktor sosiologi dari Bielefeld University pada 1995.
Heru Nugroho, kini 65 tahun, sama-sama belajar di Bielefeld University. Ignas sempat dua pekan tinggal di apartemen Heru karena belum mendapat tempat tinggal. “Pertama kenal waktu beliau masuk S-3. Saat itu saya lebih mengenalnya ketimbang dia mengenal saya. Sebab, sudah banyak tulisannya yang diterbitkan di media-media,” ujar Arief. Guru besar Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini mengaku banyak belajar dari sikap kritis Ignas. Heru terus mengingat pesan temannya itu. “Kalau membaca jangan hanya menangkap kata kuncinya, tapi juga harus menangkap isinya.”
Meninggal karena Gagal Ginjal
Intelektual itu telah berpulang. Ignas Kleden meninggal pada Senin dinihari, 22 Januari 2024, di Rumah Sakit dr Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan. Pascal Kleden, anak tunggal Ignas, mengatakan kondisi kesehatan ayahnya memburuk sejak tujuh bulan terakhir. "Sudah sekitar dua tahun ada penurunan fungsi ginjal," katanya kepada Tempo di Rumah Duka Carolus, Jakarta Pusat, kemarin. Jenazah Ignas disemayamkan di sana sebelum dikremasikan pada Rabu besok, 24 Januari 2024.
Sastrawan dan sosiolog Ignas Kleden disemayamkan di Rumah Duka Carolus, Jakarta, 22 Januari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Pascal mengatakan Ignas dirawat di RS Suyoto sejak pertengahan Desember 2023 dan perlu rutin cuci darah. Ignas sempat pulang untuk merayakan Natal di rumah. Tapi ia kembali dirawat karena kondisinya melemah. "Satu pekan terakhir full dirawat di intensive care unit," ujarnya.
Seperti yang selalu dia lakukan sejak muda di sudut perpustakaan seminari di Maumere, Ignas mengisi hari-hari terakhirnya dengan membaca. Pascal mengatakan buku terakhir yang dibaca ayahnya adalah A Promised Land, autobiografi Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat, yang sering Ignas kutip dalam tulisan-tulisannya.
REZA MAULANA | JIHAN RISTIYANTI | PDAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo