Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Imaji Visual Tunanetra

27 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fotografer Dhemas Reviyanto Atmodjo memposisikan dirinya melebihi empati ketika berjumpa dengan para tunanetra. Bagi Dhemas, mata adalah pancaindra terpenting dalam mengidentifikasi berbagai bentuk. Bertolak dari situlah dia mencoba memvisualkan imaji yang ditangkap para tunanetra ke dalam visualisasi orang yang bisa melihat.

Dhemas lantas memilih beberapa rekan tunanetra dengan kriteria tertentu, yakni mereka yang mengalami kebutaan ketika dewasa. Mereka yang memiliki perbandingan saat masih bisa melihat dan setelah tak lagi punya kemampuan melihat.

Sebagai indikator, Dhemas kemudian merujuk pada suatu obyek, seperti bentuk, warna, tingkat keburaman, dan instrumen lain yang muncul pada sebuah visualisasi. Untuk merujuk pada proses tersebut, ada tolok ukur secara medis yang disebut visus.

Visus adalah ketajaman atau kejernihan penglihatan atas sebuah bentuk yang spesifik. Ketajaman atau kejernihan itu bergantung pada ketepatan retina memantulkan fokus berupa bentuk yang diterima otak. Lalu otak menginterpretasikannya ke dalam pandangan.

Visus dapat terukur melalui pemeriksaan mata secara medis. Bagi tunanetra, visus diyakini tidak memiliki ukuran alias nihil. Namun kenyataannya ada berbagai bentuk dan beragam terjemahan gambar di mata setiap tunanetra. Pada mereka yang memiliki low vision, masih ada sedikit gambar yang bisa diterima mata. Tapi mereka yang mengalami total loss of vision ternyata tetap memiliki perbedaan visualisasi pada mata.

Hasilnya, dunia pandangan para tunanetra tidak melulu gelap. Kamera Dhemas mengkomunikasikan mata kami, para tunanetra, dengan dunia yang masih terlihat.

Abrar Ali,
26 tahun, penderita Low vision dari lahir. Pandangannya buram sekitar 80 persen.

Adinda Luna,
16 tahun.
Pada 2012, ia terserang virus Toxo Rubella. Pandangan Luna saat ini seperti melihat cahaya berbentuk lingkaran pada sisi kiri.

Zulfikar, 22 tahun.
Sejak usia 3 tahun pandangannya buram tapi masih bisa mengenal warna.

Oki Kurnia,
22 tahun.
Oki tunanetra dari lahir. Pandangan Oki gelap, tapi masih dapat menangkap cahaya .

Cheta Nilawaty,
34 tahun.
Akhir 2016, Cheta kehilangan penglihatannya karena Diabetic Retinopathy. Pandangan Cheta sekarang seperti melihat garis berwarna kuning di sisi kiri matanya.

Muhammad Latif Raiz,20 tahun.
Pada 2014, Latif divonis Steven Johnson Syndrome. Dia Hanya bisa melihat 5 persen, tapi dapat membedakan warna dan kondisi langit saat terik atau mendung.

Santi Puspita Dewi, 25 tahun.
Pada usia 15 tahun Santi divonis mengalami Glaukoma. Pandangannya berembun dan tidak bisa membedakan warna.

Irvano Thaha,
22 tahun.
Pada 2014, Vano total kehilangan penglihatannya karena virus langka Von Hippel Lindau. Pandangannya buram berwarna abu-abu tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus