Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDUSTRI perbankan harus segera berbenah dengan meningkatnya kredit bermasalah belakangan ini. Tren berbahaya itu juga selayaknya menjadi alarm bagi pemerintah: proyek infrastruktur besar-besaran di era Presiden Joko Widodo sudah waktunya dihitung kembali.
Peningkatan kredit bermasalah paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, anjloknya harga berbagai komoditas, terutama batu bara. Selama bertahun-tahun, dengan harga batu bara yang relatif tinggi, sektor pertambangan menjadi primadona. Kredit perbankan dikucurkan untuk membuka izin usaha pertambangan batu bara di mana-mana. Dampak langsung meroketnya harga "emas hitam" itu, kredit untuk membuka showroom mobil mewah juga banyak dikucurkan, dengan asumsi akan muncul orang-orang kaya baru dari bisnis pertambangan.
Asumsi itu meleset. Ketika harga batu bara terus merosot sejak 2014 dan mencapai titik terendah menjelang akhir tahun lalu, banyak pengusaha ambruk. Sebagian gagal membayar tagihan kredit bank, sebagian lagi antre meminta restrukturisasi utang. Ketika harga batu bara bergerak naik pada awal tahun ini, angka kredit bermasalah perbankan sudah telanjur naik. Pada semester pertama tahun lalu, enam dari sepuluh bank beraset terbesar mencatatkan kenaikan kredit bermasalah sektor pertambangan itu.
Penyebab kedua, ironisnya, datang dari aneka proyek pembangunan infrastruktur yang menjadi andalan pemerintah Presiden Jokowi. Sejak memerintah pada Oktober 2014, Jokowi menggeber sejumlah proyek di berbagai daerah. Seremoni peletakan batu pertama dilakukan di mana-mana. Perusahaan-perusahaan negara dikerahkan untuk membangun jalan tol, jalur kereta cepat, pembangkit listrik, juga pelabuhan.
Roda ekonomi memang bergerak. Badan usaha milik negara mempercepat perputaran ekonomi itu dengan menggandeng perusahaan swasta sebagai rekanan. Perbankan melihat pergerakan itu sebagai peluang besar. Kredit pun dikucurkan ke perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki proyeksi keuntungan gilang-gemilang itu.
Apa mau dikata, sejumlah proyek ternyata dikebut tanpa perhitungan matang. Pembangunan rel kereta ringan Jakarta-Bogor, misalnya, dikerjakan sebelum jelas skema pembiayaannya. Pembangunan jalan tol Sumatera berlangsung sebelum hitung-hitungan ekonominya tuntas. Akibatnya, pelaksanaan proyek-proyek ini kembang-kempis.
Dampaknya, pembayaran badan usaha milik negara kepada rekanan swasta dalam proyek infrastruktur mulai seret. Pemasok semen, misalnya, tak dibayar berbulan-bulan. Tentu saja swasta akhirnya kesulitan membayar utang ke perbankan. Ujungnya, kredit bermasalah pun merayap naik. Menurut Otoritas Jasa Keuangan, angka non-performing loan (gross) kini 3,1 persen--meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 2,7 persen.
Angka itu diramalkan masih meningkat. Penyebabnya, situasi ekonomi tak kunjung cerah, kemampuan perusahaan membayar kredit melemah. Sementara itu, penyaluran kredit kini cenderung melambat. Tak ada jalan lain, perbankan seharusnya segera berbenah. Manajemen bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam mengucurkan kredit. Dalam kasus tambang dan infrastruktur, bisa dikatakan bank tidak cermat menghitung risiko kreditnya pada saat jorjoran menggelontorkan kredit.
Manajemen bank juga sepatutnya berhati-hati sebelum menyetujui restrukturisasi utang yang diajukan debitor. Jangan sampai muncul moral hazard seperti menjelang krisis 1998, yang membuat Bank Indonesia perlu menggelontorkan bantuan likuiditas triliunan rupiah. Ketika itu, banyak kredit yang terafiliasi dengan pemilik bank yang kreditnya bermasalah. Otoritas Jasa Keuangan juga perlu lebih ketat menjalankan pengawasan.
Agar kredit bermasalah tidak terus meningkat, pemerintah perlu lebih bersikap realistis. Kita tahu, pemerintah berperan besar dengan meningkatnya rasio kredit bermasalah ini. Sikap ambisius menggenjot proyek infrastruktur ketika dananya belum tersedia membuat proyek terkatung-katung di tengah jalan. Akibatnya, mereka kesulitan membayar perusahaan rekanan. Pemerintah selayaknya menghitung ulang berbagai proyek infrastruktur yang telah direncanakan. Ambisi menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dengan berbagai proyek infrastruktur seharusnya didukung dengan hitung-hitungan yang rasional.
Peningkatan rasio kredit bermasalah yang sudah masuk kategori "lampu kuning" ini sepatutnya membuat semua pihak segera berbenah. Penanganan serampangan akan membuat krisis ekonomi lebih cepat datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo