Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alice (Cheung Lok Kan) membuka album keluarga dari balik pintu. Ia meniup debu-debu yang menempel pada kertas. Dua bola mata bocah berambut pelontos ini membelalak, mengamati foto itu satu per satu. Keningnya mengernyit dan ia menggaruk kepala, bertanya-tanya tentang orang-orang pada foto tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alice melemparkan tiap kertas dari album ke belakang tubuhnya. Gambar animasi bergerak berupa foto-foto hitam putih keluarga melayang-layang. Alice menyimpan satu foto hitam-putih di kantong bajunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan itu merupakan bagian dari pertunjukan teater kolaborasi antar-negara dan seniman lintas disiplin bertajuk City of Darkness di Studio Banjarmili, Sleman, Yogyakarta, pada 27-28 Agustus lalu. Mereka yang tampil di antaranya berlatar penari butoh, penari klasik Jawa, musikus, dan ahli video.
Para seniman berasal dari Indonesia, Hong Kong, Jepang, Taiwan, dan Malaysia. Pertunjukan ini diproduksi Theatre Ash. "Kami memadukan budaya Barat dan Timur lewat teater," kata Cheung Lok Kan, seniman Hong Kong yang menjadi direktur artistik kelompok teater ini.
Pentas malam itu digelar untuk menandai renovasi Studio Banjarmili milik koreografer tari Martinus Miroto. Renovasi itu menggunakan dana dari Badan Ekonomi Kreatif. Miroto menggandeng sutradara artistik dari Inggris, David Glass, yang punya reputasi panjang, 40 tahun, untuk menggarap pertunjukan malam itu.
David dikenal piawai memadukan seni teater dengan pendekatan kreatif dan inovatif. Dia meramu teater dengan drama, opera Cina, pantomim, film animasi, dan musik. Dia lincah menghidupkan properti, panggung, dan imajinasi penonton. "Teater bagian dari sulap untuk menghibur penonton," ujar David.
Ia ketat menerapkan disiplin ilmu teaterwan Barat, seperti Grotowski, Mayerhold, dan LeCoq. David pernah mengecap langsung ilmu dari Grotowski, yang tidak menganggap teks sebagai yang utama dalam pertunjukan. Grotowski menghidupkan aktor dan membawa dampak secara psikologis bagi penonton.
Pentas berdurasi 90 menit itu membawa penonton menyusuri kehidupan di Kowloon Walled City, Hong Kong. Kowloon adalah sebuah tempat terpadat di Hong Kong dengan situasi penuh kekacauan. Kowloon menjadi tempat para imigran. Kota yang berada di sebelah utara Pulau Hong Kong itu penuh dengan permukiman kumuh dan muram, pemadat, gangster, pembunuhan, prostitusi, dan seolah-olah tanpa hukum.
David memulai pertunjukan dengan menampilkan panggung mirip Kowloon Walled City. Kegelapan menyelimuti kota itu. Gambar animasi bergerak berupa garis-garis hitam menyembur pada bidak-bidak almari kayu yang digeser para penampil. Permukaan bidak-bidak kayu besar yang banyak bertuliskan aksara Cina itu mengelupas di sana-sini.
Seseorang muncul dari bagian atas bidak-bidak, memainkan kemudi mobil. Bunyi petir menggelegar dan hujan deras menambah kegelapan kota. Animasi petir dan rintik-rintik hujan membentuk garis-garis menyembur, memenuhi lantai panggung. Orang-orang Kowloon riuh dan berteduh di permukiman-permukiman kotor.
David memberi kejutan melalui pendekatan video mapping yang mampu menghidupkan pertunjukan. Penonton seolah-olah ia bawa duduk di depan televisi untuk menonton film animasi. "Ilusi gambar seperti itu baru digunakan teater sepuluh tahun terakhir," kata David.
Setelah sajian animasi bergerak, sepasang suami-istri (Max Lee dan Ling Tang) boyongan. Imigran ini membawa tas-tas berukuran jumbo penuh barang. Ling hamil besar. Di permukiman yang kotor dan miskin, Ling melahirkan Alice. Keluarga Alice bertahan hidup dalam lingkungan penuh kriminalitas.
Bocah itu tumbuh dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan penuh imajinasi. Suatu ketika, orang tuanya mengunci Alice di kamar. Ia berkalung kunci berukuran besar. Ia merebahkan tubuhnya di lantai, mengintip dari celah-celah dasar pintu. Jari-jari tangan muncul dari sela-sela pintu, dan Alice berusaha keras meraih jari-jari itu.
Ayah dan ibunya mengorok tidur pulas. Mereka menyandarkan kepala pada dua bantal yang menempel pada bidak kayu dan berselimutkan kain rombeng. Paman Alice yang nyentrik bertopi lebar (Martinus Miroto) mengetuk pintu kamar Alice. Anak itu senang bukan kepalang sewaktu membuka pintu kamarnya.
Paman Alice mengajak Alice bermain sulap. Koin di genggaman tangan Miroto hilang seketika. Alice terkesima. Wajah Alice tambah berseri-seri ketika pamannya itu membuka koper yang ia bawa. Boneka keluar dari balik tas jinjing. Alice pun menghabiskan sebagian waktu bersama boneka kesayangannya.
Karakter Alice yang selalu punya rasa ingin tahu terilhami dari film penuh fantasi, Alice in Wonderland. David membebaskan orang menafsir pertunjukan tersebut.
Pelaku seni pertunjukan Bambang Paningron menyebut pentas itu kaya dengan teknik dan properti. Misalnya dominasi video mapping yang jarang digunakan pada teater. Pertunjukan itu digarap secara detail dan menempatkan semua adegan pada porsinya. "Dramatis, minim kata-kata dan bicara banyak hal," ujar Bambang.
Selain dipentaskan di Yogyakarta, pertunjukan ini akan digelar di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 6 dan 7 September nanti. Lalu akan dibawa ke Singapura dan Kuala Lumpur, Malaysia, pada November hingga Desember. SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo