Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara alunan nada etnik pentatonik dari KuaEtnika menjadi penanda pembukaan pergelaran busana karya Vera Anggraini di Hotel Raffles, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Pergelaran bertajuk Merajut Nusantara itu menampilkan busana pengantin dari Sabang sampai Merauke diiringi musik tradisional Djaduk Ferianto dan kawan-kawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73, Vera menampilkan 40 kebaya pernikahan Nusantara dari Aceh hingga Papua. Perancang dari label Vera Kebaya itu berusaha menampilkan keberagaman tradisi pernikahan Nusantara yang kaya adat dan ritual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kebaya bukan sekadar kebaya. Ia memiliki makna dan menjelma menjadi perwujudan karya seni nan tinggi. Kebaya adalah ungkapan secara umum untuk bisa menunjukkan kekayaan Indonesia," ujar Vera.
Vera menuturkan Tanah Air dianugerahi kekayaan beragam budaya dan tradisi yang indah, agung, dan juga sakral. Tak jarang setiap upacara pernikahan menampilkan gerak, suara, dan tampilan lain yang kaya arti dan nilai filosofi. Hal itu yang melatarbelakangi Vera menyelenggarakan pergelaran Merajut Nusantara. 
Pergelaran busana kebaya itu disiapkan selama lebih dari empat bulan. Vera menawarkan ragam kebaya dengan aneka bahan maupun warna. Bahan yang ditampilkan di antaranya brokat, beludru, tenun, dan organdi tile. Untuk warna, Vera memilih padu-padan yang lembut, seperti warna emas, hijau, merah, marun, biru, ungu, dan silver.
"Ada perubahan tren kebaya. Beberapa tahun lalu, banyak masyarakat suka dengan warna-warna kombinasi yang berani dan cerah. Sementara tren warna saat ini lebih sederhana. Namun, detailnya lebih variasi," kata Vera.
Bentuk dan pola kebaya tersebut diramu di atas keindahan kain tradisional dari masing-masing daerah dalam koleksi 40 kebaya yang ditampilkan itu. Pergelaran dibagi ke dalam tiga sekuen, yaitu Khatulistiwa, Jawa Dwipa, dan Swarnadwipa.
Pada sekuen pertama, Vera menampilkan 13 koleksi kebaya dari Sulawesi dan Indonesia timur. Penampilan tersebut membawa mata menikmati keindahan warna dan bentuk kekayaan tradisi Bali, Kutai, Nusa Tenggara Timur, Papua, Toraja, Mamuju, dan Bugis.  
Sekuen kedua dibuka dengan wangi dupa Ratus Bokor mengawal busana pengantin Jawa. Dua abdi dalem dengan perlahan membawa ratus dan paying, sehingga membawa penonton ke suasana sakral dari Jawa Dwipa. Setidaknya ada 12 koleksi yang diperagakan diiringi alunan musik etnis Jawa dengan ritme lambat. Vera menampilkan kebaya Jawa yang idenya datang dari siluet kebaya encim dan kutubaru.
Terakhir, sekuen Swarnadwipa menampilkan kebaya dari Sumatera. Sekuen itu dibuka dengan dua penari kontemporer bergaya Padang. Setidaknya 15 koleksi yang menampilkan siluet kebaya penuh variasi yang tidak jauh dari pakem. Sebagian besar kebaya menampilkan warna-warna yang memancarkan kilauan emas nan cemerlang.
"Kebaya itu tidak hanya spesifik untuk Jawa. Semua diolah jadi berbagai macam desain. Kebaya tersebut sudah dimodifikasi sehingga bisa diterima di zaman sekarang."
Vera menuturkan setiap kebaya yang ia rancang memiliki kesulitannya masing-masing. Ia harus tetap memperhatikan pakem dengan konsep yang sudah jadi turun-temurun. Misalnya saja, dalam baju pengantin adat Minang, Vera tidak meninggalkan ciri khas baju kurung. Meski begitu, Vera tetap harus menampilkan baju kurung dengan model kekinian tanpa merusak batasnya.
"Riset-riset kebaya saya lakukan sepanjang karier saya, selama 15 tahun. Kebetulan banyak klien saya yang dari tangan tradisional, saya belajar dari ibu adat yang terlibat dari setiap momen. Saya sering bertanya, secara tidak langsung saya belajar," ujar Vera.
Menurut Vera, kebaya sudah makin diterima masyarakat. Apalagi, kata dia, beberapa tahun ini pengantin tradisional perkembangannya kian marak. Generasi muda dinilai mulai bangga dengan warisan Nusantara. Tak jarang mereka yang tinggal di luar negeri, ketika kembali ke Tanah Air masih memilih busana pengantin tradisional.
"Saya harap busana tradisional dan busana klasik dengan potongan sederhana yang dimodifikasi bisa terus diterima. Kebaya itu sangat fleksibel. Sehingga cocok jadi busana nasional wanita Indonesia," tutur Vera.
Pergelaran Vera Kebaya dibantu oleh sanggar-sanggar tradisional dari bermacam daerah dengan kolaborasi yang apik. Vera menampilkan bentuk kebaya dengan siluet modern untuk memadupadankan tradisi dengan sentuhan ekspresi modernitas yang dapat diterima oleh generasi muda. Kolaborasi padu-padan ini tersaji menjadi baris kebaya penuh warna yang indah dalam sebuah tampilan tradisi yang begitu cantik. 
"Merajut Nusantara menjadi wujud kecintaan saya akan budaya pernikahan Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang sangat kaya akan warna, corak, dan tradisi." LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo