Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terusan-terusan rahasia, taman, kolam, paviliun, masjid bawah tanah, lorong-lorong, bangunan bawah air….
Taman Sari di Yogya adalah sebuah imajinasi yang tak pernah selesai. Sepuluh menit jalan kaki dari keraton, dapat kita lihat sekarang sisa-sisa sebuah kompleks bangunan kolam-kolam, bekas tempat bercengkerama sultan. Tapi apa yang terbayang mungkin lebih liar dari sekadar tempat peraduan. Karya seorang arsitek Portugis, yang membantu mewujudkan impian Sultan untuk membangun suatu istana akuatik yang penuh dengan labirin jebakan.
Telah begitu banyak fotografer mungkin mengeksplorasi Taman Sari. Dan yang terbaru, 25 fotografer muda kita, dibimbing seorang fotografer Prancis bernama Nicolas Cornet, menyusuri bekas kolam pemandian dan reruntuhan berlumutnya.
Taman Sari dibangun sekitar tahun 1758 atas perintah Sultan Hamengku Buwono I. Suatu kurun yang sesungguhnya belum begitu lama. Namun sebagian besar bangunan, selain kolam, sudah menjadi reruntuhan berlumut, tak terawat.
Asal-usul Taman Sari banyak versi. Syahdan, ada sebuah kapal Portugis terdampar di Pantai Glagah, Yogya. Beberapa yang selamat ternyata adalah ahli bangunan. Sultan Hamengku Buwono I meminta mereka membangun sebuah kompleks peraduan yang penuh jalan rahasia. Antonio Pinto Da Franca, bekas duta besar Portugal di Indonesia, pernah menulis: Taman Sari dirancang seorang arsitek Portugis yang tinggal di Batavia. Ia diminta Sultan setelah Sultan mendengar kemegahan bangunan-bangunan Portugis di Goa.
Jadilah Taman Sari sebuah kawasan santai, tempat rekreasi Sultan dan kerabat istana sekaligus benteng pertahanan yang unik, penuh lorong panjang yang berujung ke hutan. Di sana Sultan dapat bercengkerama, mandi, meditasi, tapi juga bisa menjadi tempat muslihat mematikan. Dahulu sekeliling Taman Sari dilengkapi dengan laut buatan. Taman Sari ibarat sebuah pulau terapung. Untuk mengunjungi taman, dapat dicapai dengan transportasi air. Sultan syahdan suka mendayung perahu sendiri.
Air tidak hanya untuk memperindah taman, tapi juga sebagai sebuah jebakan untuk musuh. Bila musuh datang menyerang keraton, Sultan dan keluarga menyelamatkan diri melalui lorong rahasia. Lalu gerbang-gerbang air akan dibuka, air membanjir dan akan membuat musuh tenggelam. Konon, begitu bangunan selesai, sang arsitek dibunuh sehingga terowongan-terowongan rahasia tidak bocor ke siapa pun. Tapi kisah lain menyatakan sang arsitek Portugis itu justru diberi gelar Demang Tegis.
Pada masanya—juga masa sekarang—andai masih berfungsi, Taman Sari tentu dapat disebut karya arsitektur mutakhir. Kini, sekeliling Taman Sari telah menjadi perkampungan padat—antara rumah para perajin batik dan pasar burung. Bekas laut, daerah yang dahulu terendam air, kini adalah Kampung Segaran, Suryoputran.
Berdiri di Taman Sari sulit rasanya membayangkan bagaimana dahulu ada sebuah laut buatan di situ. Susah membayangkan bagaimana Sultan dan keluarganya mendayung—atau menyelamatkan diri ke bawah tanah—sementara tiba-tiba laut itu akan bertambah besar hingga bisa menenggelamkan musuh. Itu karena tidak adanya sebuah peta planologi atau maket kawasan yang terperinci yang mampu menggambarkan lokasi Taman Sari dahulu.
Pada titik ini sebetulnya fotografi bisa membantu. Melalui riset wilayah yang dalam dan pemilihan angle sesungguhnya bisa dilakukan sebuah ”rekonstruksi imajiner”. Adakah pameran bertajuk Vivre a Taman Sari sedikit banyak memberikan hal itu?
Mayoritas karya menampilkan kehidupan di sekitar reruntuhan Taman Sari. Bagaimana anak-anak sehari-hari pada sore hari bermain-main, misalnya, di lorong tersembunyi yang memiliki bagian kamar-kamar dan tempat-tempat tidur berkontruksi bata. Atau di Sumur Gumuling, masjid bawah tanah berbentuk bundar yang di tengahnya ada trap-trap tangga. Juga foto-foto pertunjukan kesenian yang menggunakan bagian-bagian dari Taman Sari seperti pernah penari Yogya Begawan Ciptoning mementaskan tari spiritual berjudul Mangsa Rendheng Taman Sari.
Foto-foto itu memperlihatkan bahwa, betapapun telah menjadi puing secara arsitektural, Taman Sari masih akrab. Tapi ”istana air tempo dahulu” tetap belum terbayangkan sepenuhnya. Imajinasi kita tetap fragmentaris. Tak pernah utuh. Tapi itulah yang membuat Taman Sari masih terus terbuka.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo