Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Herman Allositandi tampak kuyu. Saat Tempo mendatanginya di tahanan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri pekan lalu, hakim kelahiran Toraja, Sulawesi Selatan, 51 tahun silam, itu sedang dibesuk istrinya, yang baru datang dari Surabaya. ”Saya khilaf, saya lupa ini Jakarta,” kata hakim yang baru bertugas sekitar delapan bulan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.
Sebelumnya, Herman adalah Ketua Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur. Sebagai hakim, ia terbilang kenyang bertugas di daerah. Ia pernah menjadi hakim di sejumlah pengadilan di Sulawesi dan Papua. Di Papua, ia pernah ditempatkan di pengadilan Manokwari. ”Setiap hakim ingin masuk Jakarta karena ini berarti karier meningkat,” kata bapak tiga anak itu. Di Jakarta, ia tinggal seorang diri di perumahan hakim di daerah Ragunan. Jika akan makan, ia kerap menyuruh petugas jaga kompleks itu membeli nasi bungkus. Setidaknya sebulan dua kali ia menengok keluarganya di Surabaya.
Herman mengakui ia memang menyuruh Andry Djemmy Lumanauw, panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, meminta uang kepada Wolter Sigalingging, Kepala Analis Unit Manajemen Risiko PT Jamsostek. Perintah ini, ujarnya, ia lakukan tanpa sepengetahuan hakim siapa pun, termasuk dua anggota majelis hakim kasus Jamsostek lainnya. ”Tapi saya tidak menyebut jumlahnya,” ujarnya. Herman mengakui perkara Jamsostek adalah kasus korupsi terbesar yang ia tangani sepanjang kariernya sebagai hakim. ”Di daerah, kasus korupsi yang saya tangani paling besar nilainya hanya puluhan juta rupiah,” ujarnya.
Menurut Herman, perintah meminta uang itu adalah inisiatif dirinya sendiri. ”Tidak ada siapa pun yang menyuruh. Tidak juga Pak Soedarto (kepala pengadilan),” katanya. Saat Tempo menanyakan untuk apa uang itu, Herman terdiam. Juga saat ditanya apakah ia perlu membeli mobil mengingat di Jakarta ia tak memiliki mobil dan selama ini lebih banyak naik ojek jika ke kantor, ia menggeleng. ”Tidak, saya khilaf, saya lupa ini Jakarta,” katanya lagi.
Tapi, seorang kakak Herman tak yakin adiknya itu meminta uang tanpa ada yang menyuruh. ”Di depan keluarganya, ia berupaya tegar, tapi saya tahu ada yang ia tutupi,” ujarnya. Menurut sang kakak, tidak mungkin adiknya berani melakukan hal demikian tanpa ada yang memerintahkan.
Sementara itu, seorang sumber Tempo di Pengadilan Negeri Mojokerto menyatakan tak terkejut dengan penangkapan Herman. ”Wis wayahe (sudah waktunya),” ujar sumber tersebut. Menurut sumber itu, Herman memang dikenal sebagai hakim yang pintar memainkan kasus. ”Kasus yang dimainkan bukan hanya kasus besar, tapi kasus kecil seperti kasus pengecer atau penombok togel,” ujarnya.
Sumber ini bercerita, pernah suatu ketika Herman meminta uang kepada seorang pengecer togel yang tertangkap. Pengecer ini lalu menyetor uang Rp 3,5 juta. Belakangan, Herman memvonis orang tersebut hukuman 22 hari, sesuai dengan masa penahanan. ”Ini kacau. Biasanya kasus judi itu, sekecil apa pun judinya, vonisnya tiga atau empat bulan penjara,” ujar sumber itu.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Anam Anis, memiliki catatan buruk atas perilaku Herman selama menjadi Ketua PN Mojokerto dari 2002 hingga 2005. ”Salah satu yang menonjol saat ia menjadi ketua majelis hakim kasus uang palsu dengan terdakwa Ronny Susanto,” kata Anam.
Ronny, yang terbukti memiliki uang palsu sebesar Rp 347 juta, dalam persidangan pada Februari 2005 divonis Herman hukuman sembilan bulan penjara. Padahal, kata Anam, saat itu jaksa menuntut hukuman satu setengah tahun penjara. Karena vonis ringan ini pula, ujar Anam, DPRD Mojokerto kemudian memanggil Herman. ”Ini aneh. Menurut undang-undang, tindakan yang dilakukan Ronny ini bisa dihukum sampai lima tahun penjara, ini kok cuma penjara sembilan bulan,” ujar Anam.
L.R. Baskoro, Maria, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo