Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berakhir di Restoran Manado

Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menangkap hakim yang mencoba memeras saksi kasus Jamsostek. Rekaman suara dan SMS akan dijadikan barang bukti.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECANGKIR kopi itu baru diminum Herman Allositandi separuhnya saat pintu rumahnya di Jalan Kancil, Kompleks Kehakiman, Ragunan, diketuk orang. Hari itu Senin dan Herman bersiap berangkat ke kantornya. Begitu hakim kelahiran Toraja, 51 tahun, itu membuka pintu, empat orang pria segera masuk. ”Kami dari Tim Pemberantasan Korupsi, mendapat tugas menahan dan memeriksa Bapak,” ujar salah satu di antaranya.

Pagi itu juga, Senin pekan lalu sekitar pukul 08.00, Herman diboyong ke Markas Besar Kepolisian di kawasan Blok M. Di sana, para penyelidik dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) menginterogasinya selama sekitar lima jam. Mereka memberondong Herman dengan pertanyaan seputar perintahnya kepada panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andry Djemmy Lumanauw, untuk meminta uang kepada Wolter Sigalingging, Kepala Analis Unit Manajemen Risiko PT Jamsostek.

Surat untuk menangkap Herman sebenarnya sudah keluar Jumat pekan sebelumnya. Tapi, saat aparat mendatangi rumahnya di Ragunan, Herman lenyap. ”Kita ubek-ubek Jakarta dan kami buru ke rumahnya di Surabaya, dia tidak ada,” kata Ketua Timtas Tipikor, Hendarman Supandji. Rupanya, selama tiga hari itu Herman mengungsi ke rumah kakaknya di bilangan Bekasi.

Herman ditangkap karena diduga melakukan pemerasan terhadap Wolter. Syahdan, pada Rabu 21 Desember silam, Andry menghubungi Wolter yang esok harinya akan menjadi saksi dalam perkara korupsi Jamsostek yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.

Untuk kasus Jamsostek ini Kejaksaan Agung sudah menetapkan mantan Direktur Utama Jamsostek Ahmad Djunaidi dan mantan Direktur Investasi Andi Rahman Alamsyah sebagai tersangka. Mereka dinilai melakukan penyelewengan dalam pemberian surat utang kepada PT Bank Global, PT Dahana, PT Sapta Pranajaya, PT Surya Indo Pradana, dan PT Volgren, yang membuat negara rugi sekitar Rp 300 miliar.

Nah, kepada Wolter, Andry menyebutkan hakim Herman mungkin bakal menjadikan dirinya sebagai tersangka. ”Sebaiknya Anda bertemu dia sebelum sidang,” ujar Andry. Menurut Andry, inti pertemuan itu adalah untuk mengatur dirinya agar tak menjadi tersangka. Tapi, Wolter menolak saran Andry.

Esok harinya, Wolter tampil sebagai saksi di persidangan. Di depan majelis hakim yang diketuai Herman dan dua hakim anggota Sri Mulyani dan M. Syarifuddin, Wolter menegaskan dirinya tidak ikut menganalisis permohonan kredit yang diajukan sejumlah perusahaan yang kreditnya macet itu. Keterangan itu rupanya membuat Herman berang. ”Anda bisa menjadi tersangka karena memberikan keterangan palsu,” kata Herman. Ancaman itu persis seperti yang sebelumnya diinformasikan Andry ke Wolter.

Dua pekan kemudian, seusai sidang lanjutan pemeriksaan saksi, Andry kembali menghampiri Wolter. ”Pak Herman meminta Rp 200 juta,” kata Andry. Andry menegaskan, jika Wolter tak memenuhi itu, ia pasti akan menjadi tersangka. ”Ini sudah keterlaluan, saya diperas,” kata Wolter kepada Tempo. Saat itu Wolter tidak menolak atau mengiyakan permintaan Andry.

Dari Pengadilan Jakarta Selatan itu Wolter lantas menghubungi seorang petugas polisi yang kemudian melaporkannya kepada Brigjen Indarto. Direktur Pidana Korupsi Mabes Polri yang juga Wakil Ketua Timtas Tipikor itu segera mengontak Hendarman. Rapat kilat diadakan di Gedung Bundar Kejaksaan, dan Hendarman memerintahkan anak buahnya menangkap Andry. Syarat tambahan Hendarman, harus tertangkap tangan. ”Dan semuanya harus dilakukan secara alamiah,” perintah Hendarman.

Skenario lantas disusun. Wolter mengontak Andry dan menyatakan akan menyetor uang yang diminta Herman. Andry lantas menunjuk Restoran Chamoe-Chamoe di bilangan Semanggi, Jakarta Selatan, sebagai tempat pertemuan mereka. Pukul 21.20, keduanya bertemu di rumah makan khas Manado tersebut. Ketika itu sekitar 12 aparat Timtas Tipikor sudah lebih dulu datang dan mengepung tempat pertemuan mereka. Ada yang menyamar sebagai pengamen.

Andry tak menyadari semua pembicaraannya terekam dalam telepon genggam Wolter. Saat Andry menerima uang dari Wolter sebesar Rp 10 juta dan memasukkannya ke saku celana, saat itu pula petugas Timtas Tipikor menghambur dan menangkap Andry. Beberapa saat setelah Andry ditangkap, petugas meminta Andry menelepon Herman dan mengabarkan ia telah mendapat uang dari Wolter. Di ujung telepon sana, Herman tidak sadar bahwa pembicaraannya itu direkam.

Uang dan telepon genggam milik Andry dan Wolter kini disita sebagai barang bukti. ”Semua ini akan menjadi barang bukti di pengadilan dan ini bukan penyadapan,” kata Hendarman. Hari itu juga panitera yang sebenarnya tengah mengambil cuti Natal itu ditahan di Mabes Polri.

Sehari setelah penangkapan Andry Djemmy, Timtas Tipikor mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di sini mereka menyita telepon genggam Herman. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga segera mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan untuk meminta izin menangkap Herman. Begitu surat izin itu dikantongi, perburuan terhadap Herman pun dilakukan hingga akhirnya tim menemukannya Senin pekan silam di rumahnya, saat ia menyeruput kopi paginya.

Herman, ujar Hendarman, akan dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana yang ancaman hukumannya bisa 20 tahun penjara. ”Bukti-buktinya lengkap, dia melakukan pemerasan. Rekaman pembicaraan dan SMS dalam telepon genggam yang kami sita juga menunjukkan hal itu,” kata Hendarman. Menurut Hendarman, sampai kini belum ada orang lain yang akan dijadikan tersangka. ”Sementara, ya, cuma dua orang itu,” ujarnya.

Herman sendiri saat ditemui Tempo di tahanannya, pekan lalu, mengakui semua perbuatannya. ”Ini inisiatif saya sendiri,” ujarnya. Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Johanes Suhadi, juga membantah rumor yang menyatakan permintaan uang kepada saksi atau terdakwa biasa terjadi di Pengadilan Jakarta Selatan dan tujuannya, antara lain, untuk biaya operasional hakim. ”Tidak ada itu. Operasional hakim apa? Kami ini kan pegawai negeri biasa, tidak pernah ada perjalanan dinas ke luar negeri,” kata Suhadi. Suhadi juga prihatin dengan kasus yang dialami Herman. ”Ini pukulan buat kami. Seharusnya, dalam situasi sekarang ini, kan tidak ada yang neko-neko (bertindak macam-macam),” katanya.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kini sudah ”menarik” semua perkara yang ditangani Herman. Ketua PN Jakarta Selatan, Soedarto, juga merombak susunan majelis hakim Jamsostek. Majelis hakim kasus itu kini diketuai Sri Mulyani dengan anggota Sultoni dan Ahmad Sobari. Adapun Andry kini dalam proses pemecatan.

Bagi anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, kasus Herman menunjukkan kejahatan sistematis memang ada dalam dunia peradilan. ”Namun, kejahatan itu dijalankan secara tertutup dan rapi. Bisa dirasakan, sulit dibuktikan,” ujarnya. Menurut Irawady, Komisi Yudisial juga akan memeriksa Herman, meski kelak hakim itu akan diperiksa Dewan Kehormatan Hakim Mahkamah Agung. ”Kami tetap berwenang memeriksanya dan menelusuri kasus ini lebih dalam,” kata Irawady.

L.R. Baskoro, Abdul Manan, Maria


Nahas dari Chamoe-Chamoe

22 Desember 2005 Ketua majelis hakim kasus korupsi dana Jamsostek, Herman Allositandi, menghardik Kepala Analis Unit Manajemen Risiko (UMR) PT Jamsostek, Wolter Sigalingging, dalam sidang. Herman mengatakan, Wolter bisa menjadi tersangka karena memberikan keterangan palsu.

3 Januari 2006 Panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andry Djemmy Lumanauw, meminta uang Rp 200 juta kepada Wolter dengan iming-iming tidak akan dijadikan tersangka. Djemmy mengaku diperintah Herman. Djemmy dan Wolter lantas bertemu di Restoran Chamoe-Chamoe, Semanggi, Jakarta. Saat uang di tangan Wolter, Djemmy disergap sekitar 12 anggota Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5 Januari 2006 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menarik semua perkara yang ditangani Herman Allositandi untuk batas waktu yang belum ditentukan.

6 Januari 2006 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penahanan Herman. Pada hari yang sama, Mahkamah Agung mengeluarkan surat izin penangkapan kepada Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7-8 Januari 2006 Herman ”menghilang.” Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencari Herman hingga ke rumahnya di Surabaya.

9 Januari 2006 Herman ditangkap di rumahnya di Ragunan sekitar pukul 08.00, sesaat setelah pulang dari rumah kakaknya di Bekasi. Herman diperiksa di Mabes Polri dan langsung ditahan. Sore harinya, polisi menggeledah rumah dinas Herman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus