Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film 13 Bom di Jakarta merupakan salah satu film sukses yang diadaptasi dari peristiwa nyata. Film ini berkisah tentang serangkaian bom mengancam keamanan warga Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Intelijen dan agen rahasia segera menyelidiki, mengarahkan mereka pada Oscar dan William. Namun, misi mereka menjadi rumit ketika kecurigaan penyusup muncul dalam tim. Selain, Arok, pemimpin kelompok teroris, terus menakut-nakuti dengan meledakkan bom setiap 8 jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari jaff-filmfest.org, satu-satunya cara untuk menghentikan teror ini adalah dengan membayar imbalan bernilai miliaran rupiah dalam bentuk bitcoin kepada Arok. Tanpa itu, keselamatan seluruh warga Jakarta terancam.
Film ini menghadirkan pengalaman menegangkan dan penuh intrik yang menguji keberanian dan keteguhan karakter. Dengan pemeran yang kuat dan plot yang seru, 13 Bom di Jakarta menjadi salah satu tontonan yang tak boleh dilewatkan di Netflix.
Tanggapan Polisi Mengalami Kejadian Nyata
Film 13 Bom di Jakarta mengangkat kisah nyata serangan teror bom di Mall Alam Sutera pada 2015. Dalam film ini, Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol A. Rachmad Wibowo memberikan testimoni tentang kejadian tersebut.
Pada 2015, Irjen Pol Rachmad Wibowo menjabat sebagai Kasubdit IT/Cybercrime Dittipideksus Bareskrim Polri. Bersama timnya, ia menyelidiki serangkaian ancaman bom yang dialamatkan ke Mall Alam Sutera.
"Saat kejadian itu, saya menjabat sebagai Kasubdit Cyber, dan team yang bergerak menyelidiki di lapangan adalah team yang dipimpin oleh Komjen Pol Martinus Hukom (saat ini Kepala BNN RI), Irjen Pol Ibnu Suhaindra (saat ini Deputy di BNPT RI), Irjen Khrisna Murti (saat ini Kadiv Hubinter Polri), dan Irjen Pol Heri Heryawan (saat ini staff khusus Mendagri)," kata Rachmad, sebagaimana dikutip dari situs Humas Polri.
Pelaku meminta tebusan dalam bentuk Bitcoin, sebuah mata uang kripto yang saat itu belum banyak digunakan. Dalam upaya mengungkap pelaku, mereka bekerja sama dengan Oscar Darmawan, CEO Indodax. Kesaksian Rachmad mengungkapkan bagaimana pelaku mengancam akan meledakkan bom lagi jika tebusan tidak dibayarkan.
Melalui penelusuran tim siber Bareskrim Polri, mereka berhasil melacak identitas pelaku, seorang pegawai outsourcing yang bekerja di salah satu perusahaan tenant di Alam Sutera. Namun, pelaku menggunakan teknologi untuk mengaburkan jejak, membuat penyelidikan semakin sulit.
Ini merupakan serangan teror pertama yang bermotif ekonomi atau pemerasan, dan pelakunya memiliki keterampilan di bidang IT, bahkan kartu ATM yang dikuasasi pelaku dibelinya melalui dark web, dan cara merakit bom juga dipelajari pelaku melalui dark web, ujar Rachmad.
Atas inisiatif dan keberhasilan sutradara dan para kru pembuat film ini, Irjen Pol Rachmad memuji dan mengakui 13 Bom di Jakarta. Film ini memberikan gambaran serius tentang kejahatan siber dan terorisme di era digital. Rachmad menilai bahwa film ini memiliki nilai edukasi yang penting dalam mengedukasi masyarakat tentang kemajuan teknologi informasi dan komputer.
“Filmnya bagus, actionnya bagus, ceritanya bagus walau lebih didramatisir dari cerita aslinya, namun ini cukup menjadi tontonan yang menarik yang dikemas secara apik,” kata dia.
Dia berharap agar film-film semacam ini terus diproduksi untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi. Dengan cerita yang mendramatisasi kejadian nyata, 13 Bom di Jakarta menjadi pengingat akan pentingnya keamanan siber dan kewaspadaan terhadap ancaman terorisme.