MANUSIA BEBAS
Novel oleh: Suwarsih Djojopuspito
Djambatan, Jakarta, Desember 1975
Cetakan pertama, 284 halaman, Rp 900.
***
SAMPAI ajalnya di Digul awal abad ke-2O, Mas Marco Kartodikromo
tidak mengenal Maxim Gorki (1868-1936), pengarang Rusia, bapak
realisme sosialis. Juga tak pernah mendengar nama Lu Hsun (1881
- 1936), pelopor sastra Tiongkok baru. Meski begitu 'singa dari
Cepu' ini begitu radikal melancarkan kritik-kritik sosial ke
alamat pemerintahan Hindia Belanda. Baik dalam novel-novel
Student Hijo (berbahasa Indonesia, 1919),Roso Merdiko (bahasa
Jawa, 1924), maupun cerpen yang dimuat dalam koran Api. Dalam
pertemuan para djoernalis tahun 1918 ia berani membagi 2
golongan pers Indonesia: 'pers item' yang di tangan kaum
nasionalis dan 'pers putih' yang kolonialis.
Sampai tahun 30-an, ketika Sutan Takdir Alisyahbana yakin bahwa
sastra mampu mendidik bangsa, tokoh utama Pujangga Baru ini juga
tidak menyebut-nyebut realisme sosialis, meskipun 'seni
bertendens' yang kemudian diperkenalkannya nyaris mirip dengan
aliran sastra yang dikukuhkan dalam kongres pertama Persatuan
Pengarang Soviet (1934) itu. Aliran ini menghendaki sastra
'mengabdi' rakyat dan karenanya harus menyesuaikan diri dengan
ideologi dan program politik Partai Komunis.
Syahrir
Jelas bahwa jauh sebelum mengenal realisme sosialis, para
pengarang Indonesia sudah melaksanakan tugas sosialnya. Dan
sesudah itu, hampir semua tokoh Pujangga Baru (terutama Takdir)
begitu getol berbincang tentang peranan pengarang sebagai
pendidik bangsa. Dalam hal ini bukan partai yang 'membimbing'
mereka, melainkan sebuah ide besar: perjuangan sebagai bangsa
yang di dalamnya termasuk gagasan pembaharuan masyarakat.
Sementara itu bagi Sutan Syahrir, pengarang memang tak perlu
memikirkan 'seni bertendens' tapi perlu memahami dan mendidik
rakyat - tanpa mengorbankan mutu. Dalam nomor peringatan 5 tahun
majalah Poedjangga Baroe (1933 - 1938) ia menulis: "Kalau ia tak
sanggup mendidik rakyat dengan kesusastraan yang dapat diukur
dengan ukuran kesusastraan, tak pantas ia hendak mendidik rakyat
dengan kesusastraan dan tempatnya bekerja untuk rakyat ialah di
perguruan, jurnalistik atau politik.
Masalah semacam itu memang berulang-ulang mencekam para
sastrawan Indonesia, apalagi di Iman itu. Dan Suwarsih
Djojopuspito pun mengakhiri Manusia Bebas begini: "Apakah untuk
Indonesia ia menulis itu? Apa manfaatnya kenang-kenangannya
untuk orang lain, biar pun beberapa orang mengira bahwa apa yang
terjadi betul-betulan mengandung pelajaran didalamnya? Suwarsih,
dengan novel ini bermaksud agar generasi sezamannya tabah dalam
perjuangan kemerdekaan - sekalipun ternyata kemudian "ukuran
kesusastraan" itu tak sepenuhnya tercapai. Anehnya, semula
ditulis dalam bahasa Sunda (Suwarsih lahir di Cibatok Bogor,
1912) novel itu ditolak oleh Balai Pustaka (penerbit pemerintah
itu) sebab konon "tak berguna bagi pendidikan rakyat".
Suwarsih lalu menulisnya kembali dalam bahasa Belanda yang amat
baik ia kuasai dan pertama kali terbit tahun 1939 di koran Vij
Nederland dengan judul Buiten let Gareel (Lepas Dari Ikatan).
Tak lama kemudian terbit sebagai buku dengan kata pengantar E.
Du Perron (1899 - 1940), pengarang Belanda kelahiran Jatinegara
Terbit dalam edisi bahasa Indonesia 35 tahun kemudian, novel
otobiografi ini - sebenarnya tak usahlah pengarangnya sendiri
yang menterjemahkan. Kalimat bahasa Indonesia dari wanita
pengarang yang kini sudah 63 tahun ini terasa kurang enak, sebab
masih terlalu terikat oleh struktur kalimat dan rasa bahasa
Belanda. Sangat disayangkan bahwa redaksi Djambatan tak lagi
mengeditnya.
Musykil
Manusia Bebas melukiskan idealisme (yang tentu saja membutuhkan
ketabahan dengan sukses materiil yang hampir musykil) dari
separang suami-isteri Sudarmo-Sulastri, guru pada 'sekolah
liar'. Pindah dari satu kota ke kota lain, numpang di gedung
sekolah, rumah famili, atau sahabat, dengan sumbangan nafkah
dari kawan-kawan yang bermurah hati. Dan tidak kapok-kapoknya
mereka mendirikan sekolah. Kalau perlu dengan tenda atau gubug
dari potongan-potongan kayu. Sering digeledah PID Politieke
Inichtingen Dienst, polisi rahasia), bahkan kemudian ijin
mengajarnya dicabut! Hampir saja Sulastri minta cerai sebelumnya
nyaris jatuh cinta kepada rekan lain--setelah begitu lama
mendampingi Sudarmo, si proletar intelektuil yang begitu nekad.
Dan Sudarmo, suami Sulastri itu adalah Sugondo Djojopuspito
(kini berusia 70 tahun) yang idealismenya memang konsisten.
Sewaktu mudanya,'guru liar' ini ikut membentuk Perhimpunan
Pelajar-Pclajar Indonesia (PPPI) setelah Kongres Pemuda I (1926)
usai. Ia sendiri pernah belajar di Rechtshogeschool sampai
kandidat II (1929).Atas prakarsa PPPI pula Kongres Pemuda II
(1928) berlangsung dan Sugondo, selain sebagai ketua panitia
juga membuka sidang. Selain aktip dalam kepartaian (PNI kemudian
PSI), bekas Direktur Kantor Berita Antara ini tahun 1950 pernah
menjabat Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim .
Suwarsih sendiri pernah menjadi anggota KNIP (1945 - 1950) dan
Wakil Ketua Bio Perjuangan Bagian Wanita (1941 - 1947). Tahun
1954 keliling Eropa, sebelumnya juga menulis untuk majalah
Critiek & Opbouw, Het Inzicht, Orientatie, Poedjangga Baroe dan
menjadi anggota organisasi pengarang Belanda.
Ketika novel ini ditulis - dasawarsa terakhir menjelang tamatnya
kolonialisme Belanda -- pemerintah Hindia Belanda memang lagi
galak-galaknya menggusur sekolah swasta tak bersubsidi (bukan
milik gupernemen) yang dianggap membahayakan 'stabilitas' dan
'keamanan' dengan peraturan yang disebut Onderwijs Ordonantie
atau Wilde Scholen Ordonantie. Tapi justru 'sekolah liar'
semakin subur: Taman Siswa, Muhammadiyah, Ksatrian Institut,
Sekolah Serikat Islam,.Sekolah Kartini, Perguruan Rakyat . . .
Bung Karno
Di Perguruan Rakyat inilah Sudarmo dan Sulastri mengajar.
Sekolah-sekolah semacam itu selalu erat hubungannya dengan
orang-orang pergerakan. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara,
pemimpin Taman Siswa, sekolah adalah ladang. sedang gerakan
politik merupakan pagar yang "melindungi ladang dari gangguan
binatang-binatang- buas". Maka bukan saja mereka
menyelenggarakan latihan ketrampilan dan berkebun, tapi juga
kursus pengetahuan umum (dan politik) untuk orang tua murid
serta menerbitkan koran secara diam-diam untuk menggerakkan
rakyat. Tergambar pula peranan dan pengaruh Bung Karno,
perpecahan PNI menjadi PNI-pendidikan dan Partindo. Tak lupa:
sikap kaum muda terpelajar (yang khas waktu itu): menolak
tradisionalisme tapi ingin dekat dengan rakyat (di desa) sambil
menjauhi sikap & watak burjuis.
Ditulis sangat sederhana, novel ini tak lebih dari semacam buku
harian. Sejak bab pertama sampai penutup bagaikan
catatan-catatan peristiwa tanpa perkembangan konflik yang tajam.
Du Perron menyebutnya sebagai "roman Indonesia yang sangat
representatip" pada saat itu, meskipun sebenarnya tak terlalu
istimewa dibanding Habis Gelap Terbitlah Terang punya Kartini
yan terbit 29 tahun sebelumnya. Tapi inilah yang terbaik di
antara kelima karya sas- tra Suwarsih lainnya yang terbit tahun
tahun kemudian.
Biar pun nilai sastranya sulit diandalkan, toh novel ini
tercatat sebagai saksi suatu zaman dimana keberanian tampak
tersembul dari sebuah album potret knang-kenangan yang mulai
kuat. Meskipun generasi sekarang tentu agak tersandung-sandung
membaca Manusia Bebas ini (dan karenanya harap bersabar), tapi
satu hal jelas: di tengah pergulatan melepaskan diri dari
belenggu yang tak sepi dari ancaman, masih ada yang berani
berkata "tidak" . . .
Budiman S. Hartoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini