Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mental: lagu-cerita-bacaan-tontonan

Lagu, cerita, bacaan, tontonan berpengaruh terhadap pertum buhan ekonomi. negara-negara yang pertumbuhan ekonominya cepat memiliki dosis tinggi.negara-negara lambat kemajuannya hanya memiliki kebiasaan atau tradisi.

29 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH Prof. David C. McClellan. Dia ini berkunjung ke Indonesia dan turut berseminar di Fakultas Psikologi U.I. tahun 1972. Pada tahun 1973, majalah Titian memuat terjemahan tulisan sang Profesor berjudul Kebutuhan Untuk Berprestasi. Masalah yang dibahas Pak Prof ini di U.I. dan di dalam artikelnya kira-kira sama, yaitu hasil penyelidikan para ahli sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mempesona. Contoh soal: Mengapa ada negara-negara yang pertumbuhan ekonomi dan sosialnya cepat, sedang negara-negara lainnya tidak bertambah maju atau bahkan mundur? Mengapa Amerika Utara yang mula-mula didiami pendatang-pendatang dari Inggeris, ekonominya berkembang dengan cepat, sedang Amerika Selatan yang tanahnya lebih kaya, yang didiami pendatang-pendatang Spanyol, lambat sekali pertumbuhannya? Mengapa dalam abad ke-19 Jepang melakukan take-off ekonomi, sedang Cina tidak? Dorongan apa yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sosial dan modernisasi? Di negeri kita yang Bhinneka Tunggal Ika ini, ada segudang lagi pertanyaan yang sejenis dengan itu. Mengapa, misalnya, orang-orang Minang dengan hanya berbekal tulang nan salapan karek datang ke Jakarta berdagang kaki-lima, meningkat kios, meningkat toko, dan mampu mengirim uang pulang untuk perbaikan kampung halaman? Mengapa bagi orang Batak mangan so mangan asal bersekolah? Mengapa orang Betawi asli yang pernah memiliki Jakarta ini malah mundur dan terdesak? Mengapa para pemuda kita berkurang mutunya? Mengapa ekonomi Indonesia rasanya koq belum take-off, malahan masih sangat bergantung pada anugerah-anugerah, baik dari alam maupun dari bangsa lain? Kembali kepada pendapat Prof yang Amerika ini, konon pernah orang beranggapan bahwa untuk melakukan suatu take-off ekonomi dan sosial, sesuatu kelompok membutuhkan semacam stoot kapitaal. Pemerintah India pernah mencoba hal ini. Para nelayan miskin di desa Kakinada diberi modal dan sentuhan teknologi modern: jaring nilon yang kuat, tidak membutuhkan perawatan serta dapat menangkap lebih banyak ikan. Ada dua hasilnya: sebagian nelayan berhenti mencari ikan ketika sudah memperoleh hasil sejumlah yang biasa mereka peroleh (= malas) sebagian lagi kerja keras, dan kelebihan uangnya dibelikan barang-barang mewah (= lupa-diri). Ternyata stoot kapitaal dan persentuhan dengan kemajuan teknologi tidak mendorong manusia maju. Lantas apa yang mendorong? Setan apa yang menyebabkan suatu kelompok manusia merasa kegatalan ingin maju dan berprestasi secara serentak bersama-sama? Ujud mahluk ini baru mulai kelihatan ketika para ahli melakukan kodifikasi terhadap cerita-cerita dan dongeng rakyat, lagu menidurkan anak dan lagu bemmain, bacaan kanak-kanak dan bacaan umum, tontonan-tontonan dari berbagai bangsa, baik yang cepat maupun yang lambat kemajuannya, melalui kurun waktu beberapa zaman. Dua unsur terdapat dalam dosis tinggi di dalam lagu-cerita-bacaan-tontonan bangsa-bangsa yang maju. Dan kedua unsur ini sudah mulai hadir sekitar 20 tahun sebelum suatu bangsa melakukan take-off ekonomi. Unsur pertama diberi nama kode ,n-Ach, singkatan dari need for achievement, kebutuhan untuk berprestasi. Unsur ini adalah gambaran keinginan manusia wntuk melakukan sesuatu bukan saja dengan baik, tetapi dengan lebih baik, lebih cepat, lebih efisien, dengan tenaga yang sedikit menghasilkan lebih banyak dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Unsur yang kedua adalah sebuah tema: "demi perbaikan masyarakat". Negara-negara yang pertumbuhan ekonominya cepat, memiliki di dalam lagu-cerita-bacaan-tontonannya kedua unsur ini dalam dosis tinggi. Sedang negara-negara yang lambat kemajuannya hanya mempunyai hal-hal yang berhubungan dengan tradisi atau kebiasaan, serta hal lain yang tidak mengenai kemajuan manusia atau perbaikan orang banyak. Puncak pesona teori ini ialah laporan dari usaha-usaha memasukkan kedua unsur tersebut ke dalam lagu-cerita-bacaan-tontonan kelompok masyarakat yang lambat perkembangannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, kelompok itu segera melakukan take-off di bidang ekonomi dan sosial. Bagi kita, agaknya (yaitu, kalau teori ini benar), daripada selalu harus mencari dan menuding biang-keladinya setiap kali ada panen rusak, proyek gagal, tanggul dan jembatan ambrol, setiap kali ternyata mutu pemuda kita menurun setiap kali ada hambatan kemajuan ekonomi dalam bentuk perkelahian, penyalahgunaan wewenang secara en masse atau lainnya, lebih baik kita melayangkan pandangan kepada makanan rohani atau mental kita. Lagu-lagu populer atau yang dipopulerkan, bacaan wajib dan pengisi waktu, surat kabar dan majalah, film-film impor dan lokal yang diloloskan sensor, lenong Betawi, ludruk, ketoprak, randai dan sebagainya: apakah benda-benda yang kelihatannya tidak berdosa ini cukup mengandung unsur-unsur n-Ach dan tema demi perbaikan masyarakat? Apakah barangkali isinya hanya simsalabim-simsalabiman, ajaib-ajaiban, pamer-pameran, mumpung-mumpungan, badut-badutan, cinta-cintaan, cengeng-cengengan, silat-silatan, atau sekadar pemujaan tradisi, sekadar nostalgia bagi masa lalu yang barangkali pernah gemilang - namun yang tidak seorang pun di antara kita yang sebenarnya ingin kembali ke sana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus