ADALAH Prof. David C. McClellan. Dia ini berkunjung ke Indonesia
dan turut berseminar di Fakultas Psikologi U.I. tahun 1972. Pada
tahun 1973, majalah Titian memuat terjemahan tulisan sang
Profesor berjudul Kebutuhan Untuk Berprestasi. Masalah yang
dibahas Pak Prof ini di U.I. dan di dalam artikelnya kira-kira
sama, yaitu hasil penyelidikan para ahli sebagai jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mempesona.
Contoh soal: Mengapa ada negara-negara yang pertumbuhan ekonomi
dan sosialnya cepat, sedang negara-negara lainnya tidak
bertambah maju atau bahkan mundur? Mengapa Amerika Utara yang
mula-mula didiami pendatang-pendatang dari Inggeris, ekonominya
berkembang dengan cepat, sedang Amerika Selatan yang tanahnya
lebih kaya, yang didiami pendatang-pendatang Spanyol, lambat
sekali pertumbuhannya? Mengapa dalam abad ke-19 Jepang melakukan
take-off ekonomi, sedang Cina tidak? Dorongan apa yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sosial dan modernisasi?
Di negeri kita yang Bhinneka Tunggal Ika ini, ada segudang lagi
pertanyaan yang sejenis dengan itu. Mengapa, misalnya,
orang-orang Minang dengan hanya berbekal tulang nan salapan
karek datang ke Jakarta berdagang kaki-lima, meningkat kios,
meningkat toko, dan mampu mengirim uang pulang untuk perbaikan
kampung halaman? Mengapa bagi orang Batak mangan so mangan asal
bersekolah? Mengapa orang Betawi asli yang pernah memiliki
Jakarta ini malah mundur dan terdesak? Mengapa para pemuda kita
berkurang mutunya? Mengapa ekonomi Indonesia rasanya koq belum
take-off, malahan masih sangat bergantung pada
anugerah-anugerah, baik dari alam maupun dari bangsa lain?
Kembali kepada pendapat Prof yang Amerika ini, konon pernah
orang beranggapan bahwa untuk melakukan suatu take-off ekonomi
dan sosial, sesuatu kelompok membutuhkan semacam stoot kapitaal.
Pemerintah India pernah mencoba hal ini. Para nelayan miskin di
desa Kakinada diberi modal dan sentuhan teknologi modern: jaring
nilon yang kuat, tidak membutuhkan perawatan serta dapat
menangkap lebih banyak ikan. Ada dua hasilnya: sebagian nelayan
berhenti mencari ikan ketika sudah memperoleh hasil sejumlah
yang biasa mereka peroleh (= malas) sebagian lagi kerja keras,
dan kelebihan uangnya dibelikan barang-barang mewah (=
lupa-diri). Ternyata stoot kapitaal dan persentuhan dengan
kemajuan teknologi tidak mendorong manusia maju.
Lantas apa yang mendorong? Setan apa yang menyebabkan suatu
kelompok manusia merasa kegatalan ingin maju dan berprestasi
secara serentak bersama-sama? Ujud mahluk ini baru mulai
kelihatan ketika para ahli melakukan kodifikasi terhadap
cerita-cerita dan dongeng rakyat, lagu menidurkan anak dan lagu
bemmain, bacaan kanak-kanak dan bacaan umum, tontonan-tontonan
dari berbagai bangsa, baik yang cepat maupun yang lambat
kemajuannya, melalui kurun waktu beberapa zaman. Dua unsur
terdapat dalam dosis tinggi di dalam lagu-cerita-bacaan-tontonan
bangsa-bangsa yang maju. Dan kedua unsur ini sudah mulai hadir
sekitar 20 tahun sebelum suatu bangsa melakukan take-off
ekonomi.
Unsur pertama diberi nama kode ,n-Ach, singkatan dari need for
achievement, kebutuhan untuk berprestasi. Unsur ini adalah
gambaran keinginan manusia wntuk melakukan sesuatu bukan saja
dengan baik, tetapi dengan lebih baik, lebih cepat, lebih
efisien, dengan tenaga yang sedikit menghasilkan lebih banyak
dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Unsur yang kedua adalah
sebuah tema: "demi perbaikan masyarakat".
Negara-negara yang pertumbuhan ekonominya cepat, memiliki di
dalam lagu-cerita-bacaan-tontonannya kedua unsur ini dalam dosis
tinggi. Sedang negara-negara yang lambat kemajuannya hanya
mempunyai hal-hal yang berhubungan dengan tradisi atau
kebiasaan, serta hal lain yang tidak mengenai kemajuan manusia
atau perbaikan orang banyak. Puncak pesona teori ini ialah
laporan dari usaha-usaha memasukkan kedua unsur tersebut ke
dalam lagu-cerita-bacaan-tontonan kelompok masyarakat yang
lambat perkembangannya dalam waktu yang tidak terlalu lama,
kelompok itu segera melakukan take-off di bidang ekonomi dan
sosial.
Bagi kita, agaknya (yaitu, kalau teori ini benar), daripada
selalu harus mencari dan menuding biang-keladinya setiap kali
ada panen rusak, proyek gagal, tanggul dan jembatan ambrol,
setiap kali ternyata mutu pemuda kita menurun setiap kali ada
hambatan kemajuan ekonomi dalam bentuk perkelahian,
penyalahgunaan wewenang secara en masse atau lainnya, lebih baik
kita melayangkan pandangan kepada makanan rohani atau mental
kita. Lagu-lagu populer atau yang dipopulerkan, bacaan wajib dan
pengisi waktu, surat kabar dan majalah, film-film impor dan
lokal yang diloloskan sensor, lenong Betawi, ludruk, ketoprak,
randai dan sebagainya: apakah benda-benda yang kelihatannya
tidak berdosa ini cukup mengandung unsur-unsur n-Ach dan tema
demi perbaikan masyarakat? Apakah barangkali isinya hanya
simsalabim-simsalabiman, ajaib-ajaiban, pamer-pameran,
mumpung-mumpungan, badut-badutan, cinta-cintaan,
cengeng-cengengan, silat-silatan, atau sekadar
pemujaan tradisi, sekadar nostalgia bagi masa lalu yang
barangkali pernah gemilang - namun yang tidak seorang pun di
antara kita yang sebenarnya ingin kembali ke sana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini