Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Istana Naga

Urashima Taro lantas dipekerjakan Yang Mulia Raja Naga di Istana Naga yang baru. Istana di tengah-tengah manusia.

27 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URASHIMA Taro dipulangkan ke daratan. Ia berjalan pelan-pelan, tapi rasa penasaran yang kian buncah seiring langkah akhirnya membuat dia berhenti sejenak. Penasaran yang dia rasa sudah tidak mungkin ditahan. Dia kemudian membuka tamatebako hadiah perpisahan dari Otohime. Namun, tidak seperti yang sebagian besar orang tahu, Urashima tidak berubah menjadi renta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seakan pandora begitu dikuak memperlihatkan sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya, kotak yang Urashima dapat dari Otohime setelah tinggal selama tiga hari di Istana Naga dalam laut memperlihatkan cahaya mahaterang dan membuat dia tidak bisa melihat apa-apa untuk sesaat. Kemudian tubuhnya ditarik suatu daya yang tiada tertahankan, pergi menuju dunia yang beratus tahun di masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

***

URASHIMA menggamit erat higasa serta joran kayunya, menatap nanar sekitaran. Dia tersadar setelah mendengar bunyi mengusik yang sungguh tidak dikenalnya. Baru kemudian dia tahu kalau bunyi itu muncul dari semacam lembu besi beroda empat yang bergerak di jalanan. Saking tercengangnya, Urashima yang diklakson orang-orang lantaran berada di tengah jalan hanya bisa melongo. Satu-dua orang mengumpat kepadanya, tetapi dia tidak paham. Akhirnya naluri menyuruhnya berjalan ke tepi. Setelah itu, lembu-lembu besi yang ditumpangi manusia di dalamnya bergerak cepat meninggalkan Urashima.

Tampak juga rumah-rumah bertingkat banyak yang menjulang sepanjang bidang pandang Urashima. Ke mana pun dia mengedarkan pandang hanya ada rumah-rumah berbentuk aneh dan menyeramkan. Apa aku masih bermimpi di dalam Istana Naga, batin Urashima. Dia sungguh kebingungan. Yang dia lakukan hanya terus berjalan.

Di mana-mana ada hal yang begitu asing di matanya. Tak ada satu pun yang bisa dia kenali. Orang-orang, rumah, benda-benda. Sama sekali dia tidak kenal, tidak seperti kampung halamannya. Suara berisik kota yang belum pernah disambangi sepanjang hidup Urashima sungguh memekakkan telinga. Lantaran tertekan, dia lantas asal memasuki gang sempit di antara rumah-rumah tinggi itu.

Urashima melangkah sampai ujung gang. Keluar dari gang, ada lagi rumah-rumah ganjil serupa tadi. Urashima menengok ke kanan ke kiri, tidak tahu harus bagaimana. Orang-orang yang berpapasan dengannya mencermati penampilannya sembari bertanya-tanya. Sebagaimana Urashima mengamati mereka, begitu pula mereka menerka-nerka Urashima.

Saat berbelok ke suatu jalan, Urashima tercengang. Di tengah keanehan ini, ada orang yang dikenalnya. Dia buru-buru mendekat. Di depannya, sang dewi yang dia selamatkan sedang melakukan sesuatu.

Otohime mengenakan pakaian yang tidak lazim bagi Urashima sembari menawarkan kertas ke orang-orang yang lewat.

“Kafe baru buka. Silakan datang!” serunya. Sesekali Otohime tersenyum dan mengangguk pelan ke arah orang-orang.

Kenapa Otohime berdandan seaneh itu, pikir Urashima. Di mana selendangnya, di mana baju kebesarannya? Awalnya, Urashima agak segan untuk mendekat setelah mereka berpisah dan dia meninggalkan Istana Naga di dalam laut. Namun, mau tidak mau, dia pun membulatkan tekad.

“Permisi, Ojou, kenapa Anda berpakaian seperti ini? Bukankah kota manusia tidak layak dikunjungi? Bisa-bisa Anda terjerat mata kail lagi. Jadi penyu atau berwujud manusia bagi dewi bukanlah perkara remeh. Terlalu berisiko, Ojou!”

Yang diajak bicara menatap aneh Urashima. Otohime melongo sebentar sebelum bertanya maksudnya. Lantas dia menyunggingkan senyum tipis seraya menyodorkan selembar kertas.

“Silakan, Tuan. Kafe baru tidak jauh dari sini. Silakan datang.”

“Maksudnya apa, Ojou? Kafe itu apa?” Urashima bertanya-tanya, heran. “Oh, iya, saya bukanlah orang besar. Jangan dipanggil Tuan. Anda seorang dewi tidak sepantasnya memanggil manusia demikian. Memang kafe itu Istana Naga di dunia manusia, kah?”

Otohime mengamati dengan saksama penampilan Urashima. Dengan air muka bertanya-tanya, dia tidak menanggapi omongan Urashima.

Sejenak kemudian, Otohime kembali menawarkan lembar-lembar kertas berisi iklan kepada orang-orang yang lewat.

Urashima bergeming seraya mencermati apa yang dikerjakan Otohime. Mungkin Otohime tidak pengin diganggu. Maka Urashima menyisih dan menunggu-nunggu sampai Otohime selesai membagikan kertas kepada orang-orang.

“Kamu siapa? Baju yang kamu pakai aneh! Apakah kamu tinggal di taman sana?” Otohime sudah selesai bekerja. Dia mendekati Urashima yang sedari tadi menunggunya selesai.

Urashima tersenyum.

“Ojou ini aneh. Justru pakaian Ojou aneh. Manusia di sini juga aneh-aneh. Tadi saya diteriaki dan disuruh menyingkir dari jalan cuma gara-gara mereka naik lembu besi.”

“Lembu besi?” tanya Otohime.

“Ya, yang dikendarai orang-orang. Bukan di punggung, tapi di dalam perut. Ajaib sekali!”

Giliran Otohime tersenyum. Lalu tertawa.

“Itu mobil. Masa tidak tahu? Ke mana saja selama ini?”

“Pergi memancing setelah itu ketemu Ojou di laut. Kenapa Anda di dunia manusia? Tidak dicari Yang Mulia?” balas Urashima.

Otohime mengernyit. “Aku tidak paham omonganmu.”

“Saya juga tidak paham dengan Anda, maaf kalau lancang.”

Otohime menggaruk kepala. Dan menggeleng sambil berdecak.

“Ikut saja aku kalau begitu. Aku tidak tahu, mungkin kamu dicari-cari keluargamu atau bagaimana. Ayo!”

Otohime lantas menarik tangan Urashima yang dengan sukarela mengikutinya.

***

OTOHIME membawa Urashima Taro ke sebuah bangunan aneh. Bangunan menjulang yang serupa dengan rumah-rumah ganjil sepanjang perjalanannya tadi.

Lonceng kecil di atas pintu berdenting tatkala mereka masuk. Ada orang-orang sedang duduk menikmati makanan dan minuman. Nyaris semua menatap Urashima Taro, terheran-heran. Sama seperti mereka, dia pun heran.

“Ojou, tempat apa ini?” tanya Urashima.

“Kafe. Belum pernah ke tempat macam ini?” Otohime balik tanya.

“Oh, sekarang Ojou tinggal di sini?”

Otohime mengangguk. “Begitulah.”

Urashima dibawa masuk ke ruang khusus pegawai. Di hadapan Urashima berdiri seorang lelaki bercambang tebal mengenakan pakaian halus berwarna monokrom. Urashima merasakan semacam kewibawaan pada orang itu. Lelaki ini sedang mengurusi sesuatu di balik meja dan sesekali memerintah para gadis yang memakai pakaian serupa Otohime. Para gadis itu mungkin dayang-dayang Otohime, Urashima merasa demikian. Walau begitu, dayang yang mengajaknya ke Istana Naga tempo hari tidak ada di sini. Pikir Urashima: bisa jadi ada pekerjaan di laut dan karena itu Istana Naga dipindahkan sejenak ke kota manusia yang aneh begini. Dan dayang yang mengundangku sedang mengurus yang di laut.

Lelaki di hadapannya berdeham dan berbicara lirih dengan Otohime. Urashima tidak dapat mendengar percakapan mereka. Lama lelaki itu meneliti penampilannya.

“Anda ayahanda Otohime, Yang Mulia Raja Naga?” cetus Urashima Taro.

“Kamu dari mana?” tanya Yang Mulia Raja Naga.

“Saya baru pulang dari istana, Baginda. Tahu-tahu sudah ada di sini. Apakah ini istana baru Baginda Raja?” Urashima bertanya.

Yang Mulia Raja Naga mengusap-usap cambangnya. “Ini memang istanaku. Buat menafkahi hidup,” ucapnya.

“Oh, begitu ya. Selama di dunia manusia, ini adalah Istana Naga Baginda Raja?”

“Kau ingin kerja? Namamu siapa?” Yang Mulia Raja Naga menoleh ke Otohime. “Namanya?”

Otohime tersenyum tipis sembari menggeleng.

“Saya Urashima Taro. Penduduk desa Amami.”

“Amami? Tidak tahu aku. Kau tahu, Koiwai?”

Otohime berkata tidak tahu.

Yang Mulia Raja Naga berdeham. Setelah berpikir lama, dia pun membuat keputusan.

“Pertama-tama, kamu mandi dulu! Pakai pakaianku. Baumu amis!” katanya.
Urashima hanya bisa menurut.

***

URASHIMA Taro lantas dipekerjakan Yang Mulia Raja Naga di Istana Naga yang baru. Istana di tengah-tengah manusia. Fasad Istana Naga di kota manusia ini memang tak seindah yang di laut; tidak ada tiang-tiang penyangga yang terbuat dari emas, pun tidak ada karpet berlapis mutiara yang terjulur dari luar istana hingga bagian dalam. Dan tentu saja di mana-mana tidak ada prajurit yang menjaga. Satu pun penjaga tak didapati. Meski begitu, Urashima hanya bisa menerima sekali lagi kembali mendiami istana.

Waktu itu Urashima sedang memancing di pinggir laut tatkala pandang matanya secara tak sengaja tertumbuk pada bocah-bocah yang sibuk memainkan seekor penyu di atas pasir. Urashima yang terketuk perasaannya menyaksikan penyu nan malang lantas mendekati bocah-bocah nakal itu. Urashima mengangkat binatang tersebut, menjauhkannya dari bocah-bocah yang berlari sembari mengejeknya gara-gara keasyikan mereka direbut. Urashima tak ambil peduli, lebih baik menolong penyu yang sedang kesusahan ketimbang membiarkannya dipermainkan anak manusia.

“Seekor penyu umurnya lebih panjang dari manusia. Akan sangat menyedihkan bila mati sekarang lantaran keusilan anak-anak. Umur 10.000 tahun pasti lama bagi binatang ini, tetapi manusia tidak sampai 80. Penyu ini harus kuselamatkan. Nah, berenanglah hingga jauh. Jangan sampai ditemukan manusia lagi, ya,” tutur Urashima.

Setelah melepas penyu, Urashima melanjutkan kegiatan memancing dengan menghimpun harapan ada ikan terkail jorannya dan dia bisa memakan ikan panggang yang diberi garam. Memikirkan makan ikan lezat membuat perut Urashima kian keroncongan. Sekali, dua kali, lalu sekian kali percobaan Urashima belum juga memperoleh hasil.

Tanpa sadar sore sudah menjalar. Lembayung senja di langit kian meredup, air laut mengusap pepasir sepanjang pesisir. Terbiar dalam embusan angin, joran kayu yang sedari tadi tidak berhasil memperoleh apa-apa sekarang ambruk. Pasirnya kelewat lembek buat jadi penyangga sekalipun Urashima merasa sudah menancapkannya dalam-dalam.

Nihil, Urashima memutuskan pulang. Di puncak bukit belakang kuil, rumah Urashima Taro nan sederhana berdiri. Dari kejauhan tampak setitik manusia merayap pelan-pelan sehabis menghimpun kayu kering di hutan. Ibunda Urashima Taro pulang dengan seikat kayu kering di punggung. Mendapati ibunya baru saja pulang, Urashima buru-buru melangkah. Begitu sampai rumah, dia membantu ibunya menyiapkan api.

“Tidak dapat apa-apa, Taro?” tanya ibu.

Dengan sedih Urashima menggeleng pelan. Saking samarnya geleng kepalanya, tidak bisa dibilang dia menjawab pertanyaan ibunya. Urashima merasa malu mungkin, sebab seharian memancing tetapi tidak dapat apa-apa.
“Barangkali karena nanti malam akan ada badai, tidak ada ikan di lautan,” ujar ibu.

Urashima sekadar mengangguk. Sepelan gelengan kepalanya tadi.
Ibunda Urashima beranjak ke dalam dan mengambil semangkuk beras. Teh gandum dipanaskan kembali. Sambil menunggu nasi matang, Urashima mencangkung di teras rumah, mengedarkan pandang ke kejauhan. Pikirannya tertuju pada nasib penyu yang tadi dia bebaskan. Sudahkah ia kembali ke lautan dengan aman? Urashima bertanya-tanya.

***

“SEBENARNYA namaku Koiwai, bukan Otohime, Taro-san,” aku Otohime.
Urashima menggeleng beberapa kali. Raut mukanya seperti tidak percaya. Setelah menghimpun tekad, lantas dia bersuara.

“Kenapa Ojou mengganti nama? Anda adalah Otohime. Dari Istana Naga. Saya selamatkan dari anak-anak usil yang mengganggumu di pinggir pantai dulu.”

“Nanti kita lapor polisi, mungkin ada keluargamu sedang mencari-cari. Untuk sekarang, bekerja saja di sini. Tenchou juga lumayan senang denganmu, Taro-san.”

Urashima masih bingung. “Polisi? Melapor buat apa? Polisi apa?”

Otohime lebih bingung. “Sudah dulu, ada pelanggan datang! Aku masuk dulu, kamu seperti biasa lihat bagaimana kami bekerja. Walau kamu satu-satunya pelayan lelaki, namun tampangmu boleh dibilang cukup cakep. Jadi, bersabarlah dulu. Nanti akan kutemani ke polisi.”

Otohime yang sebenarnya bernama Koiwai dan seorang manusia, lantas melangkah menyambut pelanggan yang baru masuk kafe. Urashima berdiam tak jauh dari pintu dalam kafe. Dia disuruh mengamat-amati, meski belum yakin akan pekerjaan yang belum dipahaminya.

Semua pekerja di kafe merasa mafhum jika Urashima Taro adalah gelandangan linglung. Namanya mungkin samaran, cetus gadis pelayan 1, Sowa. Bisa juga saraf di kepalanya sudah melar. Orang yang kelewat tegang sepanjang hidup pasti akan melar sarafnya, kata gadis pelayan 2, Sayuri. Banyak gelandangan akhir-akhir ini, dan yang paling aneh dari Taro-san adalah dia seperti tidak kenal daerah sini. Biasanya gelandangan berkumpul di taman tak jauh dari apartemen di samping minimarket. Semacam serikat yang paham seluk-beluk dunianya, para gelandangan sudah kenal betul daerah sini. Tapi yang ganjil darinya memang seperti tidak tahu apa-apa. Taro-san bahkan tidak tahu mesin pembuat kopi, kipas angin, kulkas, dan benda-benda macam itu—tutur gadis pelayan 3, Kinako.

“Ah, memang! Seperti datang dari waktu yang bukan sekarang. Terasa ajaib. Waktu kemarin aku menghidupkan pendingin ruangan, dia tersentak kaget. Waktu ada yang membuka kulkas, dia juga tersentak kaget lantas memasukkan tangannya dan juga tambah kaget. ‘Kok, dari dalam kotak bisa mengeluarkan dingin?’ Dia bilang benda ajaib. Aku yang justru merasa ajaib dia tidak tahu kulkas!” Yang Mulia Raja Naga, tenchou kafe tidak bisa lain ikut menyuarakan pendapat soal Urashima Taro.

Di dalam ruang pegawai itu mereka tertawa lirih.

“Koiwai mungkin suka kepadanya. Dia yang pertama membawanya ke mari. Kenapa tidak tinggal bersama saja?” celetuk Sowa.

“Kupikir tidak. Koiwai punya kekasih. Taro-san tidur di sini, ya kan?” Sayuri menoleh ke Yang Mulia Raja Naga.

Sang Raja mengangguk. “Yang aneh, waktu pertama kusuruh tidur dengan kasur lipat, dia tidak mau. Dia merasa tidak terbiasa. Aku tanya bagaimana selama ini dia tidur. Dia bilang waktu di istana di dalam laut, dia tidur di tengah-tengah ganggang dan remis. Aku merasa heran, ajaib saja dia bisa dengan gampang mengatakan demikian. Mungkin memang seperti katamu, Sayuri, dia sudah tidak waras.”

Sayuri menimpali tuturan Yang Mulia Raja Naga dengan cuma mencengir kuda.

***

SEPEKAN Urashima Taro di Istana Naga yang sebenarnya kafe berjalan lumayan lancar. Sehabis belajar dengan mengamati, Urashima mencoba membawa nampan berisi sejumlah gelas untuk diantar ke orang-orang yang memesan minuman. “Yang penting murah senyum. Tapi jangan senyum lebar-lebar, takutnya orang jadi salah terka. Sebisa mungkin senyum sedikit dan tunjukkan kalau kamu pekerja baik,” tutur Yang Mulia Raja Naga.

“Daulat Yang Mulia bakal saya laksanakan,” sahut Urashima.

“Aku bukan raja, Taro-kun. Tapi kalau anggapanmu begitu, terserahlah. Yang penting kamu bekerja dengan baik. Soal kamu orang linglung yang tak tahu jalan, gelandangan tanpa rumah yang baru saja mentas dari masalah menahun, atau apa pun bukan masalah bagiku. Yang penting kamu bekerja dengan baik dan simpan gajimu dengan baik pula,” ucap tenchou yang dianggap Urashima Taro sebagai Raja Naga.

Pada mulanya Urashima merasa ajaib. Bisa-bisanya manusia dengan enteng keluar-masuk Istana Naga. Meski telah dijelaskan oleh Yang Mulia Raja Naga berikut dayang-dayang kalau tempat itu bukanlah istana, melainkan kafe, Urashima masih belum paham pada saat itu.

Kendati demikian, dalam kebingungan yang tiada surut, Urashima menarik kesimpulan bahwa manusia macam dirinya saja bisa melenggang bebas di dalam istana—baik yang di laut tempo dulu maupun yang kini di tengah-tengah daerah manusia—maka tidaklah berlebihan jika manusia yang berpakaian serba aneh dengan tampang-tampang aneh juga bisa bebas berkeliaran. Seiring berjalannya waktu, Urashima tidak memikirkan persoalan ini lebih jauh.

Merasa betah di Istana Naga baru, Urashima Taro sampai lupa waktu. Entah sudah berapa minggu berlalu semenjak dia bekerja di kafe. Suatu sore, pada saat melangkah pergi sehabis dari minimarket bersama Otohime untuk membeli pesanan Yang Mulia Raja Naga, Urashima menatap plang panjang vertikal di atas kepalanya. Plang besi dengan karat sana-sini bertulisan “Layanan Pijat Plus-Plus” itu tampak redup terkena sinar sore dari barat. Urashima Taro memalingkan muka dan menatap matahari benam di kejauhan. Segaris sinar lembayung tertangkap bidang matanya, dan tiba-tiba dia merasakan rindu yang sarat terhadap ibunya.

Malam harinya Urashima bermimpi mendapati kembali tamatebako pemberian Otohime. Dibukanya kotak itu dan muncul segaris asap tipis dari dalam. Tahu-tahu dia sudah kembali ke kampung halaman. Rumah yang sama, bongkah-bongkah granit dekat kuil yang menjulang; keadaan masih serupa pada saat dia pergi meninggalkannya setelah menerima undangan dari Istana Naga di kedalaman laut.

Semua masih sama. Namun yang membuatnya berbeda adalah tidak ada siapa-siapa di desa. Tidak ada orang sama sekali. Urashima mencari-cari, tak ketemu siapa pun. Ibunya juga tidak ada. Handai taulannya pun tidak ada. Setelah melangkah beberapa lama keluar desa, barulah dia berpapasan dengan seorang petani.

“Ke mana perginya seluruh penduduk desa?” tanya Urashima.

Petani tadi menyeka keringat di pelipisnya dengan punggung tangan seraya menghela napas.

“Bencana penyakit misterius lima puluh tahun lalu sudah mengakibatkan banyak orang meninggal di desa itu. Yang tersisa dari mereka pergi ke balik gunung dan sudah tidak terdengar lagi. Sudah lama sekali,” tutur si petani.

Mendengar hal ini, Urashima tidak sanggup berkata-kata. Si petani menunggu reaksinya, namun lantaran kelewat lama tak berucap sepatah kata pun, dia lantas meninggalkan Urashima begitu saja….

Bangun dengan keadaan mandi keringat, Urashima Taro memanggil-manggil ibunya. Hari masih amat pagi. Belum ada yang datang ke istana. Urashima membasuh mukanya dan merenung-renung sejenak.

Saat hari beranjak terang, Urashima Taro sudah berhenti menangis.

“Waktunya kembali bekerja.” Sehabis berpikir lama seraya menangis sepanjang pagi, Urashima memilih melupakan sejenak kampung halamannya.

Dengan bekerja giat, barangkali Yang Mulia Raja Naga atau Otohime akan menghadiahiku tamatebako supaya aku bisa pulang, dia membatin.

“Selamat datang!” seru dayang-dayang menyambut kedatangan manusia di istana mereka.


Kudus, Oktober 2024


Bagus Dwi Hananto, lahir dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Dia menulis prosa dan menerjemahkan. Cerpen-cerpennya tersiar di sejumlah media massa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagus Dwi Hananto

Bagus Dwi Hananto

Bagus Dwi Hananto adalah seorang penulis. Ia tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Cerpen-cerpennya tersiar di sejumlah media massa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus