Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jatayu kurang tangan

Pusdiklat dinas kebudayaan dki jakarta raya menampilkan tari bali di tim. fragmen jatayu gugur yang tampil pada puncak acara, kurang sempurna penggarapannya.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Teater Arena TIM - 4 dan 5 Mei - muncul tari Bali. Hasil produksi Pusdiklat Kesenian Dinas Kebudayaan DKI Jaya, dipimpin oleh Wayan Darma. Acara utamanya fragmen Jatayu Gugur tapi sementara itu sempat pula dilepas beberapa nomor lepas yang boleh dikata lumayan. Acara dibuka dengan kejutan "jrengkebyar" nomor Kebyar Terompong dikaitkan dengan gending Palawakya. Penonton segera dibawa ke suasana menerima tamu resmi, hal yang lumrah terjadi masa ini - terutama di Bali yang banyak kedatangan tamu. Sayang sorot lampu spot yang biru remang-remang, dengan layar belakang hitam kelam, agak mengalihkan suasana ke mimpi ngeri yang berkepanjangan. Padahal para penabuh sudah berpakaian rapi dan bergaya dengan bebasnya. Sumiasning Nomor tari Panyembrama yang maunya akrab pun agak meleset. Sebabnya terletak pada pemborosan penggunaan 2 pintu masuk yang ditopang oleh spot yang mengikuti. Penonton lebih terbawa pada suasana seakan sedang berada dalam sebuah toko permata dan langsung kena sapa penjaganya yang molek. Keakraban tidak seketika muncul mungkin karena wanita itu bermunculan dari arah yang berbeda. Tapi tarian berikutnya, Legong Keraton bisa mengangkat suasana yang dimaksud. Tiga orang penari cilik bergerak dengan dinamis, lentur dan polos. Legong Keraton memang mengungkapkan kepolosan atau kekhususan tari Sangyang Dedari. Tari ini punya kadar dramatik yang tinggi yang bersumber pada tari Gambuh. Tari Tani, sesudah itu, kurang berhasil. Karena juga pemborosan penggunaan pintu dari 2 sisi arena. Adapun tari Tarunajaya, cacadnya terletak pada tuntutan "ekspresi romantis" yang memang lebih mungkin ditampilkan oleh remaja dewasa. Tetapi syukurlah penampilan itu segera disambung oleh penari Sumiasning yang membawakan Kebyar Terompong Untuk dua malam pertunjukan, Sumiasning boleh dianggap top. Penari ini tidak hanya menunjukkan ketrampilan menari: ia juga menabuh terompong. Umumnya problem berat dalam membawakan tari ini adalah bagian yang disebut malampah. Saat perpindahan permainan dari nada tinggi ke kiri untuk mencapai yang lebih rendah. Dilanjutkan dengan pusingan, meluncur kembali tepat pada nada yang dituntut gendmg dengan pukulan ngembat. Keseimbangan sang penari dari segi gerak dan lagu merupakan pandangan yang nikmat. Bunyi tersebut bagaikan gemerincing gerak tubuhnya sendiri di atas terompong. Pada akhir tarian, ia meluncur ke arah pemain kendang seakan hendak mengungkapkan gerak tari aras-arasan (simbol ciuman dalam tari Bali). Meskipun level terlalu tinggi sehingga bisa menjadi faktor hambatan keakraban penari dengan para penabuh, Sumiasning tak kehilangan akal. Penam pilannya memang berhasil. Fragmen Jatayu Gugur, puncak acara, ternyata tidak menampakkan bekas tangan penggarapnya. Tidak ada perhitungan ruang, gruping dan komposisi Para pengiring tari, termasuk dalangnya, cenderung kocak. Direspons oleh para penabuh - sehingga suasana terasa mengganggu. Gending pengiring, sepa tutnya merupakan ciptaan yang dijadikan titik tolak, tidak sempat hadir. Demikianlah misalnya bunyi "jreng" tatkala Rawana mendekati Dewi Sita di dalam rimba - untuk melukiskan adanya lingkaran khayal yang telah digoreskan Laksamana - tidak digubris. Maka garis itupun kehilangan maknalah. Duel antara Rawana dan Jatayu tidak bergairah. Melulu dijejali keinginan mengungkapkan perang ramai, yang cenderung akrobatik. Lingkungan, baik angkasa, rimba, tempat perang tersebut berlangsung, tidak sempat diungkapkan. Lampu berusaha untuk menolong, tetapi tidak ada perpaduan. 2 malam pertunjukan yang didukung oleh tenaga yang terbilang ampuh ini masih terasa seperti kekurangan tangan seorang penuang. Arena memang ideal untuk tontonan tari Bali. Tetapi tetap dibutuhkan sebuah tangan yang juga ideal untuk menuangkan penari-penari ke situ. Wayan Diya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus