DI Teater Arena TIM - 4 dan 5 Mei - muncul tari Bali. Hasil
produksi Pusdiklat Kesenian Dinas Kebudayaan DKI Jaya, dipimpin
oleh Wayan Darma. Acara utamanya fragmen Jatayu Gugur tapi
sementara itu sempat pula dilepas beberapa nomor lepas yang
boleh dikata lumayan.
Acara dibuka dengan kejutan "jrengkebyar" nomor Kebyar Terompong
dikaitkan dengan gending Palawakya. Penonton segera dibawa ke
suasana menerima tamu resmi, hal yang lumrah terjadi masa ini -
terutama di Bali yang banyak kedatangan tamu. Sayang sorot lampu
spot yang biru remang-remang, dengan layar belakang hitam kelam,
agak mengalihkan suasana ke mimpi ngeri yang berkepanjangan.
Padahal para penabuh sudah berpakaian rapi dan bergaya dengan
bebasnya.
Sumiasning
Nomor tari Panyembrama yang maunya akrab pun agak meleset.
Sebabnya terletak pada pemborosan penggunaan 2 pintu masuk yang
ditopang oleh spot yang mengikuti. Penonton lebih terbawa pada
suasana seakan sedang berada dalam sebuah toko permata dan
langsung kena sapa penjaganya yang molek. Keakraban tidak
seketika muncul mungkin karena wanita itu bermunculan dari arah
yang berbeda. Tapi tarian berikutnya, Legong Keraton bisa
mengangkat suasana yang dimaksud. Tiga orang penari cilik
bergerak dengan dinamis, lentur dan polos. Legong Keraton memang
mengungkapkan kepolosan atau kekhususan tari Sangyang Dedari.
Tari ini punya kadar dramatik yang tinggi yang bersumber pada
tari Gambuh.
Tari Tani, sesudah itu, kurang berhasil. Karena juga pemborosan
penggunaan pintu dari 2 sisi arena. Adapun tari Tarunajaya,
cacadnya terletak pada tuntutan "ekspresi romantis" yang memang
lebih mungkin ditampilkan oleh remaja dewasa. Tetapi syukurlah
penampilan itu segera disambung oleh penari Sumiasning yang
membawakan Kebyar Terompong Untuk dua malam pertunjukan,
Sumiasning boleh dianggap top. Penari ini tidak hanya
menunjukkan ketrampilan menari: ia juga menabuh terompong.
Umumnya problem berat dalam membawakan tari ini adalah bagian
yang disebut malampah. Saat perpindahan permainan dari nada
tinggi ke kiri untuk mencapai yang lebih rendah. Dilanjutkan
dengan pusingan, meluncur kembali tepat pada nada yang dituntut
gendmg dengan pukulan ngembat. Keseimbangan sang penari dari
segi gerak dan lagu merupakan pandangan yang nikmat. Bunyi
tersebut bagaikan gemerincing gerak tubuhnya sendiri di atas
terompong. Pada akhir tarian, ia meluncur ke arah pemain kendang
seakan hendak mengungkapkan gerak tari aras-arasan (simbol
ciuman dalam tari Bali). Meskipun level terlalu tinggi sehingga
bisa menjadi faktor hambatan keakraban penari dengan para
penabuh, Sumiasning tak kehilangan akal. Penam pilannya memang
berhasil.
Fragmen Jatayu Gugur, puncak acara, ternyata tidak menampakkan
bekas tangan penggarapnya. Tidak ada perhitungan ruang, gruping
dan komposisi Para pengiring tari, termasuk dalangnya, cenderung
kocak. Direspons oleh para penabuh - sehingga suasana terasa
mengganggu. Gending pengiring, sepa tutnya merupakan ciptaan
yang dijadikan titik tolak, tidak sempat hadir. Demikianlah
misalnya bunyi "jreng" tatkala Rawana mendekati Dewi Sita di
dalam rimba - untuk melukiskan adanya lingkaran khayal yang
telah digoreskan Laksamana - tidak digubris. Maka garis itupun
kehilangan maknalah.
Duel antara Rawana dan Jatayu tidak bergairah. Melulu dijejali
keinginan mengungkapkan perang ramai, yang cenderung akrobatik.
Lingkungan, baik angkasa, rimba, tempat perang tersebut
berlangsung, tidak sempat diungkapkan. Lampu berusaha untuk
menolong, tetapi tidak ada perpaduan. 2 malam pertunjukan yang
didukung oleh tenaga yang terbilang ampuh ini masih terasa
seperti kekurangan tangan seorang penuang. Arena memang ideal
untuk tontonan tari Bali. Tetapi tetap dibutuhkan sebuah tangan
yang juga ideal untuk menuangkan penari-penari ke situ.
Wayan Diya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini