Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Islam Tidak Ditegakkan dengan Pedang

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kunjungan Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb, ke Indonesia mempertegas pesan damai yang terkandung dalam ajaran Islam. Dalam lawatan selama hampir sepekan pada pertengahan Februari lalu itu, Ath-Thayyeb berkunjung ke berbagai pihak, antara lain Presiden Joko Widodo, Majelis Ulama Indonesia, dan Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.

Ath-Thayyeb, yang juga menjabat Rektor Universitas Al-Azhar, dikenal sebagai ulama moderat. Ia kerap menyebarkan ajaran Islam yang damai dan menolak kekerasan berlandaskan ajaran agama. Di Mesir, pria 70 tahun ini berseberangan dengan kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun. Bahkan ia pernah menyatakan bahwa Al-Azhar tidak akan pernah menjadi lahan terbuka bagi kelompok fundamentalis itu.

Menggenapi gelar akademik dari Universitas Kairo—dari sarjana hingga profesor—Ath-Thayyeb kerap berpartisipasi dalam konferensi keagamaan dunia. Pemikirannya dalam dunia Islam mendapat banyak pujian. Bahkan sikap dan keterlibatannya dalam mendukung kemerdekaan Palestina juga sempat mendapat kecaman dari Barat, yang menyebutnya anti-semit.

Selama kunjungannya di Indonesia, Ath-Thayyeb menyaksikan dan kagum melihat pluralitas dan keberadaan umat muslim Nusantara, yang disebutnya sebagai tempat yang dipilih Allah untuk menyebarkan Islam yang menyerukan kebahagiaan dunia dan akhirat. "Menyebarkan ajaran Islam yang damai harus terus dilakukan," kata Ketua Majelis Hukuma Al-Muslimin ini.

Setelah menerima gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, pada 24 Februari lalu, Syekh Ath-Thayyeb menerima wartawan Tempo Tito Sianipar, Eko Widianto, dan Mohammad Syarrafah serta fotografer Aris Novia Hidayat. Dengan dikelilingi pengawal dan protokolernya, wawancara berlangsung di lobi Singhasari Resort, Malang.

* * * *

Mencermati perkembangan global yang terjadi saat ini, terlihat gerakan radikalisasi Islam muncul di mana-mana. Menurut Anda, apa penyebab maraknya radikalisasi tersebut?

Saya perlu menegaskan lebih dulu bahwa Islam tidak ditegakkan dengan pedang dan tidak memaksa orang untuk mengikutinya. Gerakan Islam radikal dan sebagainya, seperti jaringan terorisme itu, memiliki agenda politik yang terselubung. Tujuannya menciptakan kekacauan di negara-negara Arab, menciptakan suasana tidak stabil, dan mengubah peta geografis batas-batas di kawasan tersebut. Al-Azhar sudah menegaskan tidak bisa menerima jaringan terorisme dan bersenjata ini. Apa yang mereka lakukan itu sebagai bagian dari kolonialisme dunia yang ingin menciptakan wajah baru kawasan Timur Tengah.

Saya tegaskan, gerakan bersenjata seperti ISIS itu memang bukan ancaman bagi Al-Azhar. Mereka melakukan manipulasi terhadap metode Islam yang moderat dan toleran. Tidak benar apa yang selama ini kita dengar bahwa gerakan terorisme bersenjata itu adalah gerakan yang lahir dari rahim Islam. Dan bahwa ajaran agama ini yang menciptakan ISIS. Juga tidak benar bahwa Islam bertanggung jawab pada kekejaman terorisme ini.

Munculnya gerakan-gerakan bersenjata ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain keputusasaan yang dialami oleh generasi muda, pendudukan Zionis terhadap Palestina, keterbelakangan ekonomi, dan pengangguran.

Menurut Anda, bagaimana kita harus menyikapi perkembangan radikalisasi Islam, terutama ISIS ini?

Untuk menghadapi fenomena global semacam ini, yang pertama perlu kita lakukan adalah menjalin persatuan. Kemudian, kedua, menjalin kerja sama dengan negara lain, negara-negara Barat ataupun negara-negara Islam. Kita juga perlu menyelesaikan persoalan umat Islam yang sedang bertikai. Itu perlu diselesaikan. Ketika dunia Islam bersatu, saya yakin pihak lain pun akan bersama umat Islam dalam menghadapi masalah ini.

Salah satu persoalan ISIS, mereka menggunakan hadis untuk mendeklarasikan Negara Islam. Bukankah sebagian muslim yang pemahamannya dangkal akan mudah menerima pandangan semacam itu?

Para ulama Islam punya kewajiban menjelaskan bahwa pemikiran itu salah dan harus dibantah. Harus dijelaskan bahwa ajaran seperti itu bukan Islam. Baik Islam maupun agama samawi lainnya hadir untuk membawa rahmat dan kasih sayang, menciptakan perdamaian dan kasih sayang di antara umat manusia. Para ulama bisa menggunakan media sosial untuk menyebarkan pemahaman agama Islam yang benar, sehingga itu sampai kepada generasi muda di mana pun mereka berada.

Di Indonesia, beberapa gerakan radikal menyatakan bergabung dengan ISIS, seperti dulu kepada Al-Qaidah. Bagaimana mencegah agar paham seperti itu bisa ditangkal?

Kita semua harus sadar bahwa ISIS, Al-Qaidah, dan lain-lain yang sejalan dengan mereka, yang sering disebut kelompok-kelompok terorisme dan berkembang di Timur Tengah, sudah mulai melirik tempat-tempat lain di dunia. Harus ada keinginan kuat dari dunia internasional untuk mencegah dan menghentikan wabah yang merusak ini. Kita harus bisa mendeskripsikan kemunculannya dan pergerakannya yang begitu cepat. Kita harus serius menghadapi pemahaman atau propaganda ekstrem itu, yang disebarluaskan untuk merekrut anggota baru. Mereka merekrut pemuda-pemuda muslim di Timur dan di Barat.

Al-Azhar berupaya keras, melalui para ulama, memonitor dan berupaya meluruskan pemahaman yang keliru yang disebarluaskan kepada generasi muda. Kami melakukan itu melalui juru dakwah yang kami kirim ke berbagai penjuru dunia. Para kafilah dakwah itu bertemu dengan kaum pemuda di berbagai tempat, seperti klub, pusat kegiatan pemuda, dan masjid; bukan hanya di dalam negeri Mesir, tapi juga di penjuru dunia, seperti Asia, Eropa, dan Afrika. Al-Azhar juga bekerja sama dengan Majelis Hukama Al-Muslimin.

Kenapa kelompok radikal ini dengan gampang mengkafirkan orang lain, termasuk sesama muslim?

Kita harus menyebarkan pemahaman Islam yang toleran dan mengharamkan segala hal tentang terorisme. Kita juga harus membatasi ruang gerak mereka dengan mengepung konsep-konsep dasar atau teologis mereka yang menjadi pijakan gerakan terorisme itu, khususnya yang terkait dengan pengkafiran. Kelompok terorisme bersenjata ini meyakini bahwa kalau seorang muslim tidak mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan, maka mereka kafir dan harus dibunuh. Ini adalah pemahaman yang tidak benar. Kita juga perlu membentengi generasi muda dari pemahaman yang merusak seperti itu.

Selain pemahamannya yang salah, apa lagi yang Anda lihat dari kelompok tersebut?

Yang pertama hendak saya tegaskan adalah bahwa suara ekstrem radikal itu sebenarnya minoritas di dalam umat Islam. Tapi bahayanya luar biasa. Mereka memang ada. Dan mereka itu ada yang mendanai dari pihak-pihak tertentu. Mereka tidak mengakar di kalangan muslim, karena apa yang mereka tawarkan adalah sesuatu yang asing, bukan ciri umat Islam. Mayoritas umat muslim itu tidak menerima mereka.

Tapi suara kelompok Islam moderat yang mayoritas selama ini kurang bergaung. Pembaruan apa yang harus dilakukan?

Tidak diragukan bahwa pemikiran seperti mereka itu baru muncul belakangan ini. Karena itu, diperlukan upaya penyelesaian yang baru dan tidak konvensional. Kami di Al-Azhar sudah memahami itu sejak dini. Maka kami membentuk apa yang disebut "marshod Al-Azhar" (tim pemantau Al-Azhar). Dengan bahasa-bahasa asing, kami memantau apa yang disebarluaskan melalui Internet, media sosial. Pemikiran radikal ekstrem itu kami bantah, dan itu dilakukan oleh ulama yang kompeten melalui media yang sama dengan yang digunakan oleh mereka.

Seperti apa kontribusi Universitas Al-Azhar terhadap perkembangan umat Islam?

Universitas Al-Azhar sejak lebih dari seribu tahun lalu sudah menjadi tujuan putra-putri muslim dari berbagai penjuru dunia. Menjadi tujuan para pencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Sekarang mahasiswa asing lebih dari 40 ribu orang. Para pelajar itu adalah duta Al-Azhar di negara mereka. Mereka telah berkontribusi atas kebangkitan negara mereka. Ada yang menjabat posisi penting di negara tersebut. Tentu saja kami berharap mereka melindungi negara mereka dari pemikiran ekstrem radikal dan pemikiran menyimpang lainnya. Karena itu, kami, Al-Azhar, membentuk ikatan alumnus Al-Azhar Internasional untuk mengkoordinasi berbagai upaya yang dilakukan oleh alumnus dan kami memberikan dukungan berupa bantuan bagi mereka dalam menjalankan berbagai misi Al-Azhar.

Kami juga bekerja sama dengan Majelis Hukama Al-Muslimin mengirimkan kafilah perdamaian ke berbagai negara. Para kafilah ini menjalin hubungan dengan muslim dan nonmuslim untuk memastikan dan menegaskan bahwa pemikiran ekstrem radikal itu bukan bersumber dari agama Islam. Sebab, Islam adalah agama yang moderat, agama yang memberikan kemudahan, mengajak harmoni, dan toleran. Nah, Indonesia termasuk negara yang menjadi sasaran kafilah perdamaian, karena kami merasakan ada bahaya yang sedang mengancam Indonesia, yaitu berupa perang pemikiran dan kebudayaan.

Apa tujuan utama Majelis Hukama Al-Muslimin?

Sejak berdiri pada Juli 2014, sebagai organisasi internasional yang independen, bertujuan mengukuhkan perdamaian di dunia Islam. Sejak saya memimpin organisasi ini, kami bersama para ulama berupaya menghentikan kekacauan dan peperangan yang terjadi di banyak negara Islam akhir-akhir ini. Kami juga berupaya menghindari konflik dan perpecahan serta menghentikan krisis dan memadamkan kebakaran yang disebabkan oleh pertikaian akibat paham kelompok syarak, yang terkait dengan agama, aliran, dan sekte.

Kami di majelis ini juga sepakat bahwa tubuh umat Islam terlalu berat untuk menanggung beban dari peperangan antarkomponen masyarakat muslim dan perlu intervensi segera untuk menghentikan pertumpahan darah. Kami juga menegaskan bahwa tujuan dari organisasi ini adalah yang sejalan dengan syariah Islam itu sendiri.

Bagaimana mencegah radikalisasi ini dari sisi pendidikan?

Pendidikan itu untuk generasi muda. Itu adalah jalan pertama untuk mencegah ekstremis. Kalau kita bisa menanamkan nilai-nilai Islam yang benar dalam diri generasi muda, berarti kita sudah memutus jalan menuju terorisme. Ide ekstrem itu tidak menemukan akal atau hati yang kosong—tempat yang bisa ditanami pemikiran yang salah. Kami di Al-Azhar sudah melakukan perubahan kurikulum, terutama di tingkat pra-universitas atau tingkat dasar menengah, sebagai upaya untuk menyelesaikan aneka problem masa kini. Tapi tetap menjaga prinsip dasar ajaran kita. Dengan cara ini, kami tidak hanya melindungi siswa-siswi Al-Azhar, tapi juga membuat mereka menjadi benteng yang melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan pemikiran.

Menurut Anda, apa peran Indonesia dan Mesir yang bisa dilakukan dalam meredam radikalisasi tersebut?

Mesir dan Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting di dunia Islam. Indonesia adalah negara muslim terbesar dari segi jumlah penduduk dan mampu menempati posisi sebagai macan Asia. Mesir adalah negeri Al-Azhar dan menempati posisi serta sejarah yang memungkinkannya untuk memimpin dunia Islam. Dengan potensi yang dimiliki ini, Mesir dan Indonesia bisa bersatu menghadapi ekstremisme. Apalagi Mesir dan Indonesia sama-sama berkecenderungan moderat. Para ulamanya memiliki tanggung jawab berat untuk memimpin upaya dan mengkoordinasi apa yang selama ini sudah dilakukan bersama.

Apa pula peran yang bisa dilakukan kedua negara dalam mendorong perdamaian dunia?

Seperti saya katakan sebelumnya, kedua negara ini memiliki bobot pada tingkat dunia Islam ataupun dunia internasional, dan ini cukup memberi bekal untuk memainkan perannya yang lebih besar dalam mengukuhkan perdamaian dan keamanan dunia. Tapi upaya-upaya ini harus diimbangi dan didahului dengan cara penyelesaian yang mengakar terhadap sebab-sebab terorisme, seperti persoalan pendudukan Palestina. Ada perasaan umat Islam yang tersakiti karena tidak adanya kemauan internasional yang tulus untuk membela kepentingan negara yang terzalimi ini, yang hampir setiap hari mengalami penindasan dari kolonialisme dan juga mengalami tindakan sewenang-wenang dari negara-negara kuat. Seperti yang terjadi di Irak, yang telah dihancurkan dan menyebabkan ratusan penduduk sipil yang tidak berdosa menderita. Mereka masih terus mengalami dampak dari invasi tersebut. Karena itu, menurut saya, Indonesia dan Mesir harus melakukan banyak hal. Tapi harus juga ada keinginan kuat dunia internasional untuk menciptakan perdamaian yang adil dan menyeluruh dan tanpa terkecuali, agar kita hidup damai sesama umat manusia.

Di Jakarta, ada pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Al-Quds, Palestina, 6-7 Maret. Apa harapan Anda?

Saya mendukung OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) dan Liga Arab melakukan upaya maksimal untuk melindungi Al-Quds dan Masjid Al-Aqsa. Juga perlu melakukan intervensi agar ada perdamaian di antara negara-negara Islam. Agar perseteruan itu bisa dihentikan. Kita juga berharap dan berdoa agar Allah SWT memberikan kekuatan kepada organisasi ini untuk memberikan pelayanan kepada Islam dan umat Islam.

Dalam konteks membela Palestina, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, sedangkan Mesir punya. Bagaimana tanggapan Anda?

Mesir adalah negara yang terdepan dalam membela Palestina. Hanya orang Mesir di antara bangsa lain yang mengirim putra-putrinya dalam pertempuran membela Palestina. Padahal sebetulnya ini bukan kewajiban Mesir saja. Al-Quds dan Baitul Maqdis adalah masjid yang memiliki kedudukan penting bagi umat Islam. Itu adalah kiblat pertama umat Islam, dan itu masjid suci ketiga bagi umat Islam. Juga sebagai tempat Isra Mikraj. Setiap negara Islam, Arab sebagai tetangga, dan negara lain harus berupaya semaksimal mungkin menyelamatkan Baitul Maqdis dari rencana-rencana Israel.

Ketika berjuang membela Palestina, Anda sempat dituding anti-semit. Benarkah tudingan itu?

Pasti ucapan saya dipelintir untuk kepentingan tertentu.

Anda kerap menyebut Sunni dan Syiah adalah saudara. Seperti apa seharusnya penyelesaiannya?

Pertanyaan ini perlu jawaban yang panjang. Secara umum, Sunni dan Syiah dipersatukan dengan Islam. Sama-sama percaya kepada Allah SWT, kepada Rasul dan Al-Quran. Pandangannya berbeda tentang kepemimpinan. Mereka, para penganut Syiah, percaya bahwa persoalan imamah kepemimpinan merupakan pokok dari ajaran agama. Ali merupakan imam pengganti setelah Rasulullah. Sedangkan ahlussunnah percaya imamah itu persoalan cabang, bukan persoalan pokok agama. Persoalan khilafah, kepemimpinan setelah Rasulullah, itu persoalan pilihan rasional di kalangan umat Islam. Karena itu, ada Khulafaur Rasyidin; Umar, Usman, kemudian Ali.

Bagaimana mengatasi konflik Sunni-Syiah yang juga potensial di Indonesia?

Ini bukan krisis baru, tapi sudah ada sejak dulu. Sekarang ini, supaya krisis hilang, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama harus dihentikan perilaku saling mengkafirkan. Ini dari kalangan ahlussunnah: Syiah harus menghentikan cacian dan hinaan terhadap sahabat. Juga harus dihentikan intervensi Syiah terhadap Sunni. Ini ucapan yang sering saya sampaikan pada Ramadan lalu, mungkin 30 episode dalam siaran televisi.

Fenomena lain yang sedang berkembang di Indonesia adalah keberadaan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Bagaimana pandangan Anda?

Mengenai persoalan LGBT, posisi Islam, Kristen, Yahudi adalah sama, bahwa itu adalah penyakit moral yang membahayakan manusia dan harus dilawan. Itu harus diselesaikan di rumah sakit. Itu adalah penyakit sosial. Saya yakin penyakit ini yang akan menyebabkan kehancuran, yang pernah menyebabkan kehancuran umat Nabi Luth zaman dulu.

Persoalannya, perkataan ulama seperti itu kerap dijadikan alasan kelompok fundamentalis untuk melakukan kekerasan terhadap kaum LGBT....

Tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan! Kemaksiatan, kemungkaran, tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Tapi dengan cara lembut, melalui nasihat dan pendampingan.

Syekh Ath-Thayyeb
Tempat dan tanggal lahir: Mesir, 16 Januari 1946 Pendidikan: Sarjana filosofi dan teologi Islam, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1969) | Master filosofi dan teologi Islam, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1971) | Doktor filosofi dan teologi Islam, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1977) Jabatan: Ketua Majelis Hukama Al-Muslimin (2014-sekarang) | Ulama Besar Al-Azhar (19 Maret 2003-sekarang) | Rektor Universitas Al-Azhar (28 September 2003-sekarang) | Mufti Republik Mesir (10 Maret 2002-27 September 2003) | Dekan Fakultas Usul Al-Din, Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan (1999-2000) | Dekan Fakultas Studi Arab dan Islam, Aswan, Mesir (1995-1999) | Dekan Fakultas Studi Arab dan Islam, Qina, Mesir (1990-1991) | Profesor teologi dan filosofi Universitas Al-Azhar, Kairo (1988-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus