Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setyaningsih
Esais
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaran buku-buku bacaan yang lahir karena wahyu mesin cetak memaktubkan rupa bocah-bocah sebagai tokoh keaksaraan. Mereka hidup demi menentukan nasib keaksaraan yang menjadi patokan kemajuan pendidikan di tanah jajahan. Bentara Budaya Yogyakarta, misalnya, pernah menerbitkan Kitab Si Taloe, Gambar Watjan Botjah 1909-1961 (2008) yang digarap oleh Sindhunata dan Hermanu. Ada juga ketokohan Siti karo Slamet (Mas Samoed Sastrowardojo, 1930) yang sayang binatang. Ali yang sedang memunguti jambu digambar dengan realis oleh C. Jetses dalam buku Rumah dan Halaman (Moh. Sjafei, 1950). Kuncung dan Bawuk dirupakan Sayuti Karim untuk buku Tataran (I.R. Wignyadisastra, 1961).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tanah Sunda, ada Rusdi dan Misnem yang menjadi buku bacaan bocah-bocah sekolah Sunda pada masa kolonial. Hawe Setiawan lewat buku Bocah Sunda di Mata Belanda, Interpretasi atas Ilustrasi Buku Roesdi djeung Misnem (2019), yang semula hadir sebagai tesis di Program Studi Seni Rupa di ITB, memperkirakan buku itu terbit pertama kali pada 1911 di Den Haag. Empat jilid Roesdi djeung Misnem: Boekoe Batjaan pikeun Moerid² di Sakola Soenda digarap atas kolaborasi pengarang Belanda, A.C. Deenik; dan pengarang Sunda, R. Djajadiredja, serta digambar oleh salah seorang ilustrator Belanda yang sangat menentukan rupa tanah jajahan dan para manusianya, W.K. de Bruin. Buku bacaan begitu masih terkenang hingga 1980-an, terutama oleh mereka yang mengalami (pendidikan) pada masa kolonial.
Dalam perpaduan dua penulis berbeda ras dan ilustrator yang juga menggarap bacaan berbahasa Jawa dan Madura, Hawe melacak jejak kolonialisme. Di pengantar ditulis, "Hal inilah antara lain yang memungkinkan saya untuk tidak hanya memperhatikan aspek-aspek literasi yang bersifat verbal, melainkan juga memperhatikan aspek-aspek literasi yang bersifat visual." W.K. de Bruin, yang bahkan belum pernah tiba secara ragawi di Hindia Belanda, sanggup menggambarkan lanskap alam dan sosial kerakyatan (bocah) pada zamannya. Lebih penting, ia juga menentukan bagaimana pribumi dilihat dan dirupakan.
Djauhar Arifin dalam Himpunan Ceramah: Penataran Penulis, Penterjemah, dan Ilustrator (1975) membabarkan diskriminasi rasial juga diciptakan lewat ilustrasi. Pribumi sering diposisikan sebagai jongos atau babu, kaki tanpa alas kaki, tidak berbaju, dan berkesan sangat inferior. Para pribumi lebih dirupakan dalam pekerjaan mereka yang rendah dan penampilan jauh dari modern. Dua ilustrator Belanda yang banyak menggarap buku-buku bagi pendidikan di tanah jajahan, C. Jetses dan W.K. de Bruin, terlihat paling bertanggung jawab untuk masalah kolonialisme visual ini. Awal abad ke-20, ilustrator bumiputra sudah memikirkan bahwa ilustrasi menentukan mental kebangsaan.
Hawe menetapkan empat kriteria dalam pemilihan sampel, yakni penampilan Rusdi dan Misnem, peristiwa keseharian, lingkungan sosial dan fisik, serta adat atau kebiasaan masyarakat Sunda setempat. Rusdi dan Misnem memiliki otoritas tubuh bermain-bergerak yang sama, tapi tentu dalam ruang sosial berbeda. Mereka mewakili keseharian bocah pribumi yang cenderung energik, ngeyel, mau tahu, boleh nakal, usil, sangat sering di luar bingkai romantisme keluarga layaknya bocah-bocah kalangan elite Belanda. Rusdi dan Misnem suka makan enak pada hari Lebaran. Ada saat-saat merayakan panen di sawah, dikunjungi kakek-nenek, bermain di kebun, atau dihukum guru.
Ada satu ilustrasi yang diblok warna hitam seperti bayangan. Rusdi berjalan menenteng senapan mainan dan Misnem berjalan memayungi diri sambil menggandeng boneka di tangan kiri. Selain kehidupan sehari-hari, ada kehidupan lain yang terbayangkan atau hanya sanggup diimpikan. Senapan dan boneka lumrah dimiliki bocah-bocah Belanda, mewakili apa yang jauh dari kepribumian Rusdi dan Misnem. Secara terselubung, kedua mainan juga menunjukkan superioritas Barat sebagai sang pembawa kemodernan. Dari hal kecil inilah, keinginan menjadi setara dengan kaum kulit putih digambarkan dengan lugu yang justru menguatkan dilema yang kelak banyak ditanggung para pribumi yang telanjur meneguk pendidikan ala Barat.
Penggambaran kebiasaan sanggup memantik sentimen rasialitas. Citra visual Rusdi memang sering sejalan dengan deskripsi teks. Namun, Hawe melihat penanda kecil, seperti kebiasaan Rusdi memegang tongkat dan pisang. Hal ini tak diterima sesederhana bahwa Rusdi suka bermain di kebun dan makan pisang atau pisang terlalu akrab bagi rakyat serta mudah tumbuh. Hawe menulis, "Terlepas dari maksud pembuat gambar, citraan pisang yang dilekatkan pada visualisasi anak jajahan dapat menimbulkan kesan penistaan. Pisang memang disukai oleh manusia, tetapi pisang juga disukai oleh kera. Visualisasi kera tidak jarang disertai dengan visualisasi makanan kegemarannya. Dengan demikian, timbul pertanyaan, tidakkah orang Eropa dahulu kala cenderung melihat anak jajahan di tanah Asia seperti kera?" (hal. 78).
Alasan Hawe tentu saja memiliki landasan historis yang kuat. Monyet sering menjadi bahasa umpatan keji bagi kaum pribumi. Secara tak langsung, monyet atau kera juga merujuk pada teori evolusi yang bahkan sempat menciptakan mitos keterlambatan intelektual pribumi dari orang Eropa. Kebodohan itu bersifat genetis. Diskriminasi pendidikan, pembatasan peran politik, atau elitisme bahasa ditampik sebagai penyebab segala kebodohan dan ketidakberadaban di negeri jajahan.
Terlepas dari kolonialisme visual yang secara politis memang harus terjadi, Rusdi dan Misnem pernah menjadi bacaan kecil yang menentukan keaksaraan di tanah Sunda. Kemajuan cetak yang menakjubkan, penggarapan ilustrasi serius, dan cerita yang mewakili kerakyatan bocah pada masanya mengawetkan buku dalam kajian serius. Bacaan-bacaan lawas selalu bisa menciptakan visualitas tokoh yang begitu kuat secara teks dan visual. Hawe telah memilih penelitian kecil tapi penting dan akhirnya membawa kita harus memikirkan nasib bacaan masa kini yang melimpah tapi begitu cepat berlalu.
Bocah Sunda di Mata Belanda, Interpretasi atas Ilustrasi Buku Roesdi djeung Misnem
Penulis : Hawe Setiawan
Penerbit : Layung
Cetak : Pertama, 2019
Tebal : xvi+184 halaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo