Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jejak Sang Guru di Kasongan

Berkat Sentuhan tangan Sapto Hoedojo, gerabah Kasongan tenar. Pesanan dari luar negeri mengalir deras, meski nasib perajin tak jelas.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerimis masih membalut dusun setelah semalaman hujan. Pagi itu, Ngadiyo sudah sibuk. Sambil terus menata keramik, dia berbicara. Gerabah berbentuk kepala Buddha, kuda seukuran ayam, dan guci setinggi anak baru gede ditata di dalam tobong atau tungku pembakar. ”Semua pesanan dari Eropa,” ucapnya.

Sebatang rokok lintingan terselip di sudut bibir ayah tiga anak itu. Kaki kurusnya terbalut celana pendek, dan tubuhnya yang ceking tertutup kaus lusuh. Kakek delapan cucu ini mengaku, dirinya bukan pengusaha, hanya seorang buruh. Tapi Ngadiyo memang terkenal di kalangan para perajin gerabah di Desa Kasongan. Apalagi bila menyebut nama Sapto Hoedojo.

Semua tahu, Ngadiyo pernah berhubungan akrab dengan seniman Sapto Hoedojo dan Ny. Suliantoro Sulaiman. Ngadiyo menganggap Sapto guru, dan Ny. Suliantoro ibu. Sapto mengajar desain, dan Ny. Suliantoro, secara tidak langsung, memasarkan. ”Rangkaian bunga Mayasari yang dibuat Bu Suliantoro selalu menggunakan produk Kasongan,” tutur Ngadiyo, 75 tahun.

Kini, Kasongan menjadi desa wisata. Persisnya di Jalan Bantul kilometer 6, di Pedukuhan Kajen, Kelurahan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Di jalan masuk desa itu, sebuah gapura sewarna tanah bakar berdiri tegak. Kios-kios tanda mata dan kerajinan berjajar di sepanjang jalan. Di seberang jembatan Sungai Bedhog, sebuah papan bertuliskan ”Selamat Datang, Sentra Industri Kerajinan Gerabah Kasongan”.

Uniknya, semua ruang pamer dan kios di sepanjang jalan Kasongan menggunakan nama pemiliknya. Ada nama Sihar, Karyo, Wagino, Ponidi, Ponimin, Pairan, Mrajak, Bejo, dan Jambul. Semua nama itu juga terpampang di setiap perempatan, lengkap dengan penunjuk arahnya. Rata-rata pemilik toko di sepanjang jalan Kasongan telah mengekspor dagangannya.

Menurut Kepala Dukuh Kajen, Nangsib, 39 tahun, kampung itu sudah menjadi kampung gerabah sejak dulu dan gerabah menjadi mata pencarian pokok penduduk turun-temurun. Sementara dulu hanya 40-an orang yang menjadi perajin gerabah, kini jumlahnya sudah mencapai 450 kepala keluarga di tiga dusun, yaitu Kasongan, Kajen, dan Sentanan.

Dulu masyarakat Kasongan membuat gerabah alat-alat dapur, kini lebih beragam. Mereka membuat vas bunga, guci, macam-macam patung binatang, juga berbagai patung keramik kontemporer. Mereka tidak hanya mengandalkan alat putar, tapi juga alat ukir, sebagaimana yang diajarkan Sapto. Mereka kini tak asing dengan sistem ukir tempel dan gores.

Karya Ngadiyo, yang menjadi ciri khas desain Sapto, diberi nama Mayangsari, yaitu keramik berbentuk perahu yang kedua ujungnya diberi hiasan kepala binatang. Perahu itu dinaiki pengantin. ”Sekarang sudah sulit dicari karena Pak Ngadiyo sendiri sudah tua, kalau bikin yang rumit-rumit sudah tidak sebagus dulu,” tutur Nangsib.

Buku Sapto Hoedojo dalam Liputan Media menyebut: Kasongan seolah tak terpisahkan dengan nama Sapto Hoedojo. Disebutkan pula, Sapto sempat kecewa dengan hasil kerjanya di Kasongan. Menurut Sapto, dia salah mengajarkan konsep sehingga para perajin tidak bisa lebih kreatif dari sekadar menjadi tukang tiru.

Meski demikian, Nangsib mengakui, kehadiran Sapto dan Ny. Suliantoro sangat berpengaruh terhadap perkembangan karya seni kerajinan Kasongan. Dan nama Kasongan semakin melejit ketika Gubernur DIY, waktu itu Sultan Hamengku Buwono IX (sebelum meninggal), berkesempatan mengunjungi desa itu bersama para tamunya dari luar negeri.

Hadirnya Sapto di dusun itu berawal dari kerinduannya pada kehidupan masyarakat di tanah air, sepulang Sapto dari Eropa. Sapto selalu ingin lebih dekat dengan masyarakat. Suatu hari pada tahun 1964, Sapto melihat penjual genteng dari Kasongan hendak pulang ke desanya. Entah mengapa, Sapto mengikutinya dan mengajaknya mengobrol. Sesampai di Kasongan, dia melihat orang-orang membuat genteng, gentong, anglo, tempayan, cobek.

Ada kemiskinan di sana, demikian pikir Sapto kala itu. Masyarakat Kasongan menjajakan gerabah, bersepeda keliling Kota Yogya. Hasilnya tak seberapa. Sebuah gentong besar dijual Rp 500, anglo hanya Rp 50. Padahal, di toko, harga barang itu menjadi empat kali lipat.

Sapto tergerak ingin membantu. Tapi, untuk memberi uang, dia belum mampu. Dia berpikir, kalau kerajinan gerabah itu dibuat dengan bentuk lebih artistik, pasti harganya mahal. Lalu ia ke Kasongan, mendatangi salah satu perajin. Dia belajar membentuk tanah liat, dibantu Ngadiyo. Sapto membuat celengan. Setelah celengan jadi, Sapto mengatakan, kalau membuat celengan seperti ini pasti harganya lebih mahal.

Sejak itu Ngadiyo tak lagi membuat gerabah tradisional, tetapi membuat berbagai patung celengan, bentuknya bermacam-macam. Benar juga, dalam waktu singkat gerabah Kasongan menjadi terkenal, celengan Ngadiyo laku keras. Melihat keberhasilan itu, semua perajin ikut-ikutan membuat celengan. Akibatnya, stok menumpuk dan pembeli jenuh. Celengan itu tidak laku.

Sapto kini menarik diri. Dia kecewa karena merasa salah didik. Lalu masyarakat bersama pemerintah mencoba bangkit, bertekad membuat desa wisata. Sapto berpesan, menjadikan Desa Kasongan sebagai desa gerabah dan wisata tidak sulit, asal jangan salah arah. Pesan kedua, kehidupan tradisional yang ada harus tetap dipelihara.

Suatu hari di tengah kekecewaannya, pada tahun 1979, seorang pendeta menemuinya. Pendeta itu bercerita, masyarakat Desa Tegowanuh, Temanggung, Jawa Tengah, juga membuat gerabah, penghasilannya hanya Rp 67 sehari. Sapto tergerak, tapi satu hal membuatnya berhati-hati. Dia tidak ingin pengalaman Kasongan terulang.

Sapto mengumpulkan 18 orang perajin Tegowanuh. Sapto memberi sedikit uang untuk membeli tanah liat, lalu meminta para perajin membuat gerabah yang bentuknya bagus dan diberi hiasan. Gerabah yang bagus akan dibeli. Seminggu kemudian, karya para perajin sudah jadi. Beberapa dibeli, lalu dibawa ke galerinya. Ternyata laku, dibeli turis Jepang dengan harga sepuluh kali lipat.

Kini karya perajin gerabah Kasongan telah mendunia. Namun, nasib perajin belum beranjak jauh. Hanya mereka yang mempunyai tempat strategis (pinggir jalan besar) yang ekonominya melaju pesat. Tapi Nangsib optimistis, pada masa mendatang pembeli pasti pintar. ”Sekarang sudah mulai ada turis asing yang lebih senang membeli di kampung. Harganya lebih murah,” ujarnya.

Nasib Ngadiyo masih seperti dulu. Jangan membayangkan Ngadiyo tinggal di rumah magrong-magrong (besar dan bagus) seperti toko-toko di pinggir jalan itu. Ngadiyo berteduh di bangunan bata, berlantai tanah, dan atapnya tak berplafon. Terasnya yang selebar dua meter itu penuh gerabah. Tiga orang karyawan bekerja di tempat itu. ”Patung kuda ini pesanan Prancis,” tutur Mujiran, anak ketiga Ngadiyo.

Ngadiyo adalah sosok orang Jawa yang nrimo. Dia pernah diajak Sapto memamerkan karyanya di Eropa dan Jepang, tapi tetap saja hal itu tidak mengubah gaya hidupnya. Namun, dia masih bekerja, meski usianya telah senja.

L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus