Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Naga Menggempur, Naga Menggoreng

Pelukis-pelukis Cina menyerbu pasar. Sebuah lukisan dari pameran perupa Cina, Ting Shao Kuang, di Hotel Hilton pekan lalu, menurut penyelenggaranya, laku sekitar Rp 15 miliar. Mencengangkan, sekaligus merefleksikan masih labilnya pasar seni rupa kita.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

First class services. Itulah moto empat restoran Cina waralaba di lantai dasar Hotel Hilton: Airman Planet, Nan Xiang Steamed Bun Restaurant, Shanghai Classical Restaurant, dan Shanghai Night yang baru berumur setahun itu. Pelayanan first class juga agaknya yang dilakukan jaringan restoran itu menjamu kedatangan Ting Shao Kuang, pelukis Cina.

Siang itu, tampak beberapa pengusaha kita makan bersama Shao Kuang. Kedatangannya bisa disebut mengawali serentetan pameran pelukis Cina lain yang bakal menggelar karyanya di Jakarta tahun ini. Pada 2005, mereka menyerbu Jakarta, antara lain Yu Xiaofu di Mercantile Club, Mao Tongqiang di galeri Canna, Yue Minjun di CP Galeri.

Shao Kuang, pelukis 66 tahun itu, meraih reputasi tinggi di dunia internasional. Ia dianggap mengawinkan tradisi Cina dan modernisme Barat. Sekilas melihat karya-karyanya, semua bergaya dekoratif. Di ruang Lobi Lagoon Tower—letaknya di depan empat restoran tersebut—dipajang 30 karya serigraf atau litografinya. Sementara di dalam restaurant ada 17 karya asli. Semua bertema perempuan.

Entah apa hubungan tema itu dengan masa kanak-kanaknya yang menyedihkan. Ayahnya aktivis Kuomintang. Ketika Mao menang, ayahnya lari ke Taiwan, meninggalkan Shao kecil di Beijing bersama neneknya. Menginjak dewasa, Shao berhasil kuliah Beijing Central Academy of Art. Ia tergila-gila pada Picasso, Matisse, Modigliani. Dia lalu mengembara, menetap di kuil Buddha di Gansu dan menyusuri gua-gua di sepanjang jalan sutra daerah Dun Huang untuk mempelajari lukisan kuno. Ia meramu gaya Picasso dan lukisan gua itu menjadi gaya sendiri. Pada 1980, ia hijrah ke Amerika.

Di malam pembukaan di Hotel Hilton itu karyanya langsung sold out. Sebuah lukisannya berjudul Goddess of Art—berukuran 60 x 102 sentimeter dengan gambar perempuan dan burung-burung—laku sekitar Rp 15 miliar. ”Pembelinya adalah seorang pengusaha di Jawa Tengah,” kata Devina Dewi, humas Citraseni Indonesia Bagus. Devina tak mau menyebut nama pengusaha itu. Memang mengejutkan. Empat tahun lalu di Hotel Borobudur, saat pameran Shao digelar, tidak ada karyanya yang terjual setinggi itu. ”Karya-karya Yu Mingjun yang di CP Galeri semua hanya sekitar 300–700 juta, tidak ada yang di atas satu miliar,” kata sumber CP Galeri sekadar membandingkan.

Citraseni Indonesia Bagus merupakan agen tunggal Ting Shao Kuang Fine Art Amerika. Dunia seni rupa sesungguhnya jarang mendengar keaktifan perusahaan ini dalam blantika pameran atau acara-acara seni kita. Ia adalah salah satu anak perusahaan milik pengusaha properti Jeny Muljono (Siaw ie). Jeny adalah perempuan asal Taiwan yang bersuamikan orang Indonesia. Ia pengagum dan kolektor karya-karya Ting Shao Kuang, dan menjadi dealer lukisan Shao sejak 1990.

”Harga lukisan Shao memang di pasar internasional saya lihat selalu naik,” kata pengamat seni rupa Agus Dermawan T. Dalam lelang-lelang internasional ia melihat lukisan-lukisan Shao selalu ”terus dikelola”. Meskipun tak menjadi primadona, lukisan Shao selalu menarik perhatian tersendiri. Sesungguhnya, menurut dia, kualitas karya Shao tidaklah begitu dahsyat. ”Para kolektor Amerika yang rindu seni-seni dekoratif yang membuat harganya tinggi.”

Harga lukisan Shao yang selalu naik inilah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mereka yang berinvestasi di dunia seni lukis. Agaknya Citraseni Indonesia Bagus termasuk yang memiliki insting dan spekulasi yang bagus. Sejak 1990 mereka membeli lukisan Shao dari Amerika satu demi satu. Semua lukisan Shao yang dipamerkan di Hilton sekarang sesungguhnya sudah disimpan di galeri milik Citraseni yang lokasinya di Jalan Lombok, Jakarta. Ada yang telah tersimpan selama 10, 12 , atau bahkan 15 tahun.

Tampaknya mereka tahu bahwa tahun demi tahun harga lukisan-lukisan Shao cenderung naik. Dewi menerangkan: sejak pertama kali dilempar ke pasar Amerika sekitar 1980, harga lukisan Shao telah naik 1.000 kali lipat. Artinya, mereka yang menyimpan, sabar menahan dan melepasnya pada momen yang tepat, tentu bisa menangguk keuntungan yang menggiurkan.

Menurut Dewi, harga serigraf atau litografi yang dipamerkan di Hilton sekarang berkisar US$ 5.000–10.000 (Rp 45–95 juta). Sedangkan yang orisinal berkisar US$ 150 ribu sampai US$ 1,5 juta (Rp 1,5–15 miliar). Goddess of Art pernah oleh Shao dilukis di dinding gedung Opera House Shanghai dengan ukuran 7,4 x 4,4 meter pada 1998. Boleh jadi inilah yang membuat harganya selangit. Tentunya, kala pihak Citraseni Bagus membeli, harganya tidak semoncer itu.

Goddess of Art, menurut Dewi, sudah laku sebelum pameran dibuka. Pembelinya telah lama mengejar-ngejar lukisan itu. Beberapa kali mereka mendekati pihak Citraseni untuk bisa mendapatkannya. Pihak Citraseni akhirnya melepaskan. Betulkah semengkilap itu? Siapa saja memang berhak bertanya. ”Bisa juga digoreng—artinya, harganya sebetulnya tak sebesar itu, tapi dalam pameran ditambah supaya menciptakan image,” kata pengamat seni rupa Agus Dermawan T.

l l l

Betul atau tidak harga setinggi itu, fenomena ini sendiri menampilkan potret bagaimana Jakarta bisa menjadi sasaran empuk permainan arus seni rupa Cina. Agus Darmawan melihat, semenjak reformasi ekonomi era Deng Xiaoping, seni rupa Cina dengan sadar dikelola sebagai industri. Seni rupa ”naga” (seperti juga industri filmnya) dipersiapkan merebut hati dunia secara estetika, juga secara finansial.

Puluhan ribu pelukis tangguh bisa dikatakan ”siap ekspor”. Yang datang ke Indonesia sesungguhnya masih sebagian kecil dari pelukis Cina. ”Itu saja kita sudah kewalahan,” katanya. Seni rupa Cina, menurut dia, tumbuh profesional dengan sistem manajer. Ada banyak akademi seni rupa di Cina. Setiap manajer membawa seniman lulusan akademi dan lalu secara aktif melakukan kontak dengan galeri-galeri di Amerika, Eropa dan Asia. Cukong-cukong seni di Hong Kong, misalnya, masih menganggap para perupa Cina eksil dan besar di Barat (seperti Shao) pun masih bagian dari aset seni Cina. ”Ke mana pun kamu pergi, kamu masih Cina,” dan diktum ini berlaku.

Agus yang pernah mengunjungi Art Fair di Cina melihat bagaimana kesiapan infrastruktur mereka. Setiap manajer memiliki stan-stan yang menawarkan puluhan pelukisnya. Setiap stan penuh dengan katalog, buku-buku, dan segala hal ihwal pelukisnya secara lengkap. Manajer-manajer itu memiliki sikap yang fleksibel terhadap hukum ekonomi. Mereka menawarkan kemudahan bekerja sama dengan siapa pun.

Betapapun demikian, yang dijual tetap bukan karya sembarangan. Mutu mereka bagus. Tatkala Agus berkunjung ke akademi-akademi di Cina, ia melihat semua buku seni rupa dunia diterjemahkan ke dalam bahasa Cina sehingga mahasiswa mudah mempelajarinya. Tiap akademi selalu menekankan keutamaan dalam hal keahlian. Di sana seolah ada sikap dasar bahwa realisme adalah basis untuk bisa bereksplorasi ke mana saja. Mahasiswa harus prima menguasai realisme. Ibaratnya, sebelum bisa menggambar kaki kuda dengan baik, mahasiswa tak boleh menggambar yang ”aneh-aneh”. Bahkan ada sebuah sekolah khusus realisme fotografis.

Masuk akal bila segala macam aliran berkembang di Cina kini. Di sana memang berkembang para perupa baru yang bergerak ke arah karya-karya instalasi atau multimedia. Namun, mereka yang bertahan di jalur lukisan konvensional dwimatra tidak kalah. Selalu ada kejutan-kejutan visual baru di dunia dwimatra. Dengan kemampuan dasar realisme itu, mereka bisa menghasilkan pembaruan tidak habis-habisnya. Biennale Beijing, menurut Agus Dermawan, mengkhususkan diri pada seni lukis dan patung-bukan karya multimedia.

”Sulit menentukan highlight, siapa yang terbaik di Cina,” kata Agus. Di samping hal di atas, di Cina ada standar kualitas. Dalam hal ini negara memiliki peran menjaga mutu karya. Di Cina, para perupa baru boleh berpameran apabila sudah lolos seleksi dan mendapat sertifikasi dari pemerintah. ”Semacam ISO,” katanya. Ini berbeda dengan Indonesia. ”Di sini orang kemarin kursus saja bisa berpameran.”

Agus melihat, dibanding manajer-manajer Eropa, manajer-manajer Cina cenderung lebih liberal. Di Eropa, misalnya, ada aturan main yang ketat yang mensyaratkan bila seorang pelukis berhubungan dengan sebuah galeri, ia harus berkomitmen dengan galeri tersebut. Namun, rata-rata manajer Cina, menurut Agus, tak mau pelukisnya tunduk di bawah satu galeri. Mereka lincah menembus ke mana saja.

Karakter demikian memang akan menjadi ”pendobrak” bagi pasar sebuah negara yang masih labil seperti Indonesia. Pasar Indonesia masih gampang diganggu. Pasar kita tidak punya standar yang jelas. Ini menjadi daya tarik bagi para manajer Cina, dan peluang untuk mendongkrak harga pelukis-pelukisnya. Di sini, misalnya, sebuah corak lukisan dari seorang perupa yang masih muda bisa ”secara ajaib” dihargai Rp 100 juta. Padahal, di Cina, yang demikian masih, katakanlah, Rp 10 juta. Maka, manajer Cina akan membawa para pelukisnya ke sini dengan memasang harga ”senormal” di sini.

Apalagi, menurut Agus, kolektor kita memiliki perangai jauh lebih agresif dibanding, katakanlah, kolektor Singapura. Banyak kolektor sejati di sini, tapi lebih banyak lagi mereka yang bermain semata-mata karena spekulasi bisnis. Banyak orang baru yang mencoba investasi lukisan Cina karena diiming-imingi gambaran bahwa lukisan Cina lebih mudah dikelola di pasar internasional.

Memang, kenyataannya demikian. Agus pernah mengunjungi satu kawasan pertanian di daerah Xian, Cina. Kawasan ini seperti kawasan Ubud Bali. Penuh kios lukisan. Di sini, para petani merangkap pelukis. Dulu, pada zaman Mao, kegiatan melukis para petani ini tidak dilarang. Gaya lukisan Xian, menurut Agus, persis Young Artist binaan Arie Smit di Bali. Harganya relatif murah. ”Ketika saya lihat di Singapura sudah naik 20 kali lipat,” katanya. Hal begitu bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Pasar seni rupa diam-diam akan beralih ke rombongan seni rupa Cina

l l l

”Ya, ini test drive,” kata Devina Dewi sambil duduk santai di lounge Airman Planet, Hotel Hilton. Ia optimistis lukisan Ting Shao Kuang akan bisa punya pasar lebih besar di Indonesia. ”Jujur, kami ini bukan ahli seni rupa, tapi kami tak menemui kesulitan untuk menjelaskan soal karya Shao ke konsumen.” Terbukti, menurut dia, karya Shao terjual baik pada kolektor lama maupun baru. Yang pemula biasanya membeli karya-karya serigrafi atau litografinya.

Hingga hari kelima pameran (pameran digelar 13–22 Januari) sudah ada 15 litografi yang telah dipesan dan uang muka tanda jadinya sudah dibayar. Sedangkan untuk lukisan orisinal sudah ada dua lukisan: Purple Dream dan Hot Wind of Africa yang telah diminati konsumen, juga telah dibayarkan uang mukanya; sementara karya berjudul Prayer masih dalam proses negosiasi dengan calon pembeli.

Sejak 1990-an hingga kini, pihak Citraseni telah menjual sekitar seratusan litografi Shao. Konsumennya juga mencakup kolektor dari luar. ”Dari Indonesia pembelinya banyak kalangan ibu-ibu pengusaha,” kata Dewi. Tema perempuan, menurut Dewi, mudah dicerna ibu-ibu. ”Boleh dibilang, orang bodoh pun—artinya, yang tak mengerti lukisan—akan bilang kalau lukisan Ting Shao itu bagus”.

Inilah yang membuat Citraseni tetap memilih untuk menjadi agen tunggal lukisan Ting Shao Kuang. Shao dari segi bisnis, menurut Citraseni, memiliki masa depan yang cukup cemerlang. ”Jujur, sampai kini Citraseni masih banyak menahan lukisan Ting Shao Kuang yang belum dikeluarkan pada pameran,” kata Dewi. Mereka akan dikeluarkan tatkala harga lukisan Shao makin melambung.

Terasa memang menguntungkan. Kerja sama Citraseni sendiri dengan pihak pengelola keempat restoran Shanghai bersifat bagi hasil. Pameran ini juga didukung sponsor BMW. Dewi tidak mau menyebutkan berapa persen pembagian di antara mereka. Pemilik restoran, menurut Dewi, adalah pengagum lukisan Shao. ”Kalau ini berhasil, restoran akan terus bekerja sama menyelenggarakan pameran serupa,” kata Dewi.

Inilah gejala baru bagi seni rupa kita. Ada yang menganggap fenomena ini membahayakan pasar kita karena ini hanya menjadikan kita kedai titipan barang. Ada yang menganggap masuknya pelukis-pelukis Cina adalah sah, sebagai konsekuensi global yang juga bisa memperluas wawasan kita. Alhasil, serbuan ini harus diterima sebagai sebuah tantangan.

Tak lama lagi, Februari nanti, serombongan pelukis Cina, Vietnam, dan Indonesia akan berpameran bersama di galeri baru di Jakarta bernama Vanessa. Bagaimana perbandingan harga mereka? Apakah harganya rasional, wajar? Sebab, naga bukan lagi ibarat dalam kisah silat, meski memiliki kemampuan tinggi, berwatak asketis, tak mau menonjolkan diri, jauh dari keduniawian (hidden dragon). Ini naga agresif yang cerdas dan berintuisi bisnis tinggi. Naga yang menggempur dan bisa ”menggoreng”….

Seno Joko Suyono dan Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus