Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tradisi Tua yang Redup

Desa Rungkang, di sebelah timur Pulau Lombok, adalah potret sedih sebuah tradisi yang tergerus zaman. Di sana hanya tersisa delapan perempuan tua yang masih menguasai teknik paddle—pukul—dalam pembuatan gerabah. Dulu desa ini sempat menjadi kawasan rujukan perajin gerabah di luar Lombok untuk menimba ilmu. Rungkang juga memiliki seribu perajin. Gerabah Lombok memang memiliki kisah panjang. Tradisi ini dibawa oleh pendatang dari Jawa, yang bermigrasi pada abad ke-5 Masehi. Pada masa awalnya, gerabah Lombok lahir untuk memenuhi kegiatan ritual suku Sasak.

Ia sempat menjadi mutiara, pada era 1970-an, lewat proyek pemberdayaan perajin gerabah Indonesia-Selandia Baru. Hasilnya, gerabah Lombok berhasil menembus pasar mancanegara. Tapi dunia berubah, para perajin memilih jalan hidup lain: menjadi TKW di negeri tetangga.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia duduk bersimpuh di bibir pintu rumahnya. Sekilas, kita bisa melihat tangannya yang keriput dan sinar matanya yang menyimpan cerita panjang—mungkin lebih tepat disebut kesaksian. Nenek Nursim—lengkapnya Inaq Papuk Nursim—suka bertutur.

Nursim lahir di Desa Rungkang Loyok, Kecamatan Sikur, Lombok Timur, 75 tahun lalu, dan hingga kini tidak pernah beringsut jauh dari situ. Kini, di hadapannya, setumpuk tanah liat berwarna kehitaman, tanah liat yang akan disulap menjadi pendaig, wadah penampung air, dengan garis tengah 30 sentimeter.

Nursim pekerja keras. Ia membuat gerabah tanpa meja putar, tanpa throwing wheel. Cara ”primitif”, menurut istilah sebagian orang. Tangan kirinya memegang batu kali berbentuk bulat. Sebilah kayu di tangan kanannya. Potongan kayu itu akan dipukul-pukulkannya pada lempeng tanah liat yang menempel di batu. Gerabah buatan Nursim, seperti gerabah Lombok lainnya, berdinding tipis tapi kuat.

Nursim meneruskan tradisi membuat gerabah—mande istilah lokalnya—dengan teknik paddle atau memukul. Ia bercerita tentang sebuah kurun waktu, zaman keemasan, ketika Desa Rungkang, 45 kilometer sebelah timur Kota Mataram, menjadi salah satu sentra penghasil gerabah yang cukup hebat pada 1970-an. Amaq Rusni, 80 tahun, masih rekan segenerasi Nursim, juga ingat situasi waktu itu: banyak orang yang datang ke Rungkang khusus untuk belajar teknik membikin gerabah.

”Dari Plered (pusat pembuatan keramik di Jawa Barat—Red) datang dan belajar mande pada saya,” katanya. Rusni masih menyimpan sesuatu yang bisa mengingatkannya akan periode menyenangkan itu: sebuah meja putar, kenang-kenangan dari seorang muridnya yang berasal dari Plered. Rungkang kaya akan perajin gerabah hebat. Rusni, misalnya, dikenal mahir membuat wadah penyimpan air buat wudu, selao (tempayan), kemberasan (tempat menyimpan beras), pemangkaq (penggorengan); sedangkan Nursim ahli membuat pendaig.

Gerabah Rungkang karya yang tak tersentuh estetika lelaki. Tugas kaum lelaki hanya menjajakan gerabah keliling kampung atau bekerja di ladang. Sedangkan Nursim, Rusni, dan rekan-rekannya meneruskan tradisi yang diturunkan dari ibunya, dan sang ibu mewarisi kemampuan itu dari neneknya. Rusni dan Nursim adalah generasi keempat perajin gerabah.

Era 1970-an, keadaan ekonomi warga Rungkang di atas angin. Rusni mencatat situasi di desanya saat itu: banyak perajin yang pergi haji lantaran gerabah. Tapi dunia lalu berubah. Sekarang para perajin gerabah menghadapi dunia yang surut: harga gerabah berukuran kecil hanya Rp 2.000, ukuran besar Rp 10.000. Waktu itu hampir semua warga desa berprofesi sebagai perajin gerabah. Sekarang, hanya delapan dari 700 kepala keluarga yang setia pada tradisi itu.

Wajah Desa Rungkang kini muram. Sebagian besar rumah yang tumbuh di kawasan ini berdiri semipermanen dengan dinding gedek. Sri Sustini, Ketua Yayasan Perajin Lombok, punya gambaran suram. ”Dalam lima tahun ke depan, tradisi gerabah Rungkang terancam punah,” katanya.

Para perajin tak mampu membangun pasar, tak sanggup mengembangkan desain dan kualitas produknya. Apalagi banyak pengumpul barang kerajinan—termasuk tengkulak tentunya—yang sengaja menekan harga jual gerabah di sejumlah desa produsen gerabah. Sekarang tak ada lagi yang pergi haji lantaran gerabah.

l l l

Adalah Dewi Anjani yang pertama mengajarkan cara membuat gerabah kepada masyarakat Lombok. Alkisah, Lombok dihuni sepasang manusia Inaq Beleq dan Amaq Beleq. Keduanya adalah penghuni pertama Pulau Lombok yang sedang kebingungan menanak beras dari panen pertama. Dalam bingung, mereka bersimpuh dalam seribu tabik, dan mulai berdoa.

Dewi Anjani mendengar doanya. Sejurus kemudian, ia mengutus Manuk Bre untuk mengajari mereka mengolah tanah gunung menjadi pemangkaq (periuk) agar mereka dapat hidup dan menikmati hasil panen. Dari sinilah tradisi gerabah lahir.

Maka, tak mengherankan jika hampir seluruh perabot gerabah Lombok awalnya tercipta untuk keperluan ritual agama. Hal ini dapat ditelusuri dari sejumlah temuan arkeologis di Lombok. Salah satunya dari situs Gunung Piring, Lombok Tengah. Pada 1976, dari sebuah ekskavasi, ditemukan sejumlah peralatan prosesi pemakaman yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 Masehi. Alat itu di antaranya sebuah kendi dan wadah gerabah yang diletakkan sebagai barang bawaan si mati. Mereka percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Kendi dan wadah gerabah itu untuk menemani si mati agar tidak kehausan dan kelaparan saat menuju dunia kekal.

Hingga kini, perabot gerabah masih menjadi pilihan buat kegiatan keagamaan atau upacara tradisional. Misalnya dalam upacara Gawe Mata Aiq, upacara memulai musim tanam padi. Di Lombok Timur, upacara ini didahului dengan membawa sejumlah makanan dan minuman dalam berbagai wadah gerabah, seperti pendaig (wadah air) dan kendi.

Menurut tradisi suku Sasak, pembuatan gerabah juga memiliki musim dan waktu khusus. Misalnya pembuatan kemberasan (tempat penyimpan beras) harus dilakukan pada bulan Maulid atau bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad.

Pembuatan kemberasan juga harus dilakukan oleh wanita hamil. Sebelum memulai pekerjaannya, si pembuat harus terlebih dahulu menyiapkan persyaratan seperti segenggam gabah, secarik kain tenun, koin Cina kuno, dan sirih yang semuanya dimasukkan dalam keranjang. Semuanya dimaksudkan agar kemberasan yang dibuat dapat memberikan kesejahteraan bagi si pengguna.

Ornamen dekoratif yang menghias kemberasan juga memiliki arti khusus. Misalnya simbol bulatan kecil, bulan sabit, atau anak tangga yang diukir mengelilingi wadah. Bulatan kecil melambangkan wanita hamil, hiasan tangga kerap dihubungkan dengan jalan menuju lumbung padi. ”Hingga kini, dekorasi pada sejumlah gerabah Lombok masih memiliki arti religius,” kata perajin gerabah Warsinah, warga Panujak, Lombok Tengah.

Gerabah di Lombok juga kerap mempunyai kekuatan magis penolak bala. Salah satu yang paling populer adalah lampu wayang atau dila wayang—berbentuk bulat dengan tempat minyak berada di tengah—yang dipercaya dapat dipakai menolak segala bentuk kejahatan jika dinyalakan di depan rumah.

Bagi masyarakat Lombok, pergelaran cerita wayang Sasak atau lebih dikenal sebagai wayang menak adalah kegiatan sakral. Biasanya pergelarannya dilakukan berhubungan dengan acara adat desa. Cerita wayang itu menyerap dari sejumlah kisah seputar penyebaran agama Islam, di samping kehidupan agung Nabi Muhammad. Cerita wayang menak terdiri dari 100 kisah yang ditulis di daun lontar dan diturunkan oleh keluarga dalang lewat tradisi lisan. ”Hingga kini banyak lampu wayang jenis ini yang dibuat massal untuk aksesori,” Warsinah menjelaskan.

Dari tradisi ritual inilah kemudian lahir pelbagai perabot rumah tangga yang merupakan perkembangan bentuk dari sejumlah bejana ritual. Menurut Jean McKinnon dalam bukunya, Vessels of Life, Lombok Earthenware (1996), ketersediaan bahan baku yang melimpah dan kemampuan masyarakat Lombok mengadopsi bejana ritual untuk keperluan keseharian membuat tradisi ini terus eksis.

Dari sinilah kemudian lahir puluhan jenis bejana yang kini masih dijumpai di dapur masyarakat suku Sasak. Sebut saja, misalnya, jangkih (kompor tanah liat), gubung (wadah untuk menyimpan nira), dan pepelesan (tempat kue).

Soal asal-muasal tradisi pembuatan gerabah di Lombok, banyak pihak mengaitkan dengan tradisi gerabah di Pulau Jawa. Selain tergambar dari sejumlah panel relief di Candi Borobudur, sejarah juga mencatat pada abad ke-5 hingga ke-6 terjadi gelombang migrasi dari Jawa ke Bali dan terus ke Lombok. Hal ini disebabkan runtuhnya Kerajaan Daha dan Kalingga.

Dari penelitian Rulof Goris, dikatakan bahwa alat transportasi laut yang dipakai menyeberang oleh para migran dari dan ke Lombok disebut ”sak-sak” (rakit bambu). Kemungkinan nama Sasak—suku tradisional di Lombok—berasal dari kata sak-sak.

Hubungan antara Jawa, Bali, dan Lombok semakin kuat dengan ditemukannya sebuah nekara (tong perunggu) berangka tahun 1077 Masehi di Desa Pujungan, Tabanan, Bali. Nekara itu bertuliskan huruf kuadrat berbunyi ”Sasak Dana Prihan Srih Jaya Nira”, yang artinya bahwa benda ini adalah pemberian dari orang-orang Sasak.

Selanjutnya sejarah mencatat, sekitar abad ke-14, Kerajaan Majapahit di bawah rajanya, Hayam Wuruk, sempat singgah di Lombok, sebagaimana tertulis dalam kitab Negarakertagama. Adanya pertunjukan wayang lelendong (wayang kulit) dan wayang wong (orang), perangkat gamelan berupa gendang, kemong, gong di Lombok—seperti dikenal di Jawa dan Bali—membuktikan hubungan erat tiga pulau tersebut. Tak pelak, tradisi gerabah turut tersebar lewat persentuhan budaya tersebut.

l l l

Mata Ridwan, 38 tahun, berkilat menyaksikan gerabah karyanya selesai. Ia mengorek tumpukan arang jerami dengan tongkat. Asap membuat matanya perih, tapi Ridwan tak terpengaruh. Ia terus menyibak, mencari karyanya: gerabah yang dibuat dengan teknik sablon, teknik monoprin. Teknik sablon pada keramik dengan menggunakan karbon fotokopi. Ini motif yang bakal mendekorasi gerabahnya di fotokopi. Tapi, sebelum proses fotokopi selesai, mesin fotokopi dimatikan. Kertas bermotif yang basah dengan tinta ini ditempel pada gerabah, kemudian diwarnai.

Inilah salah satu terobosan yang dilakukan oleh Jhan Stanley, 34 tahun, perupa gerabah lulusan Universitas Sunderland, Inggris. Sejak November tahun lalu, Stanley berada di Desa Panujak, Praya Barat, Lombok Tengah. Di sana ia membuat workshop kilat seputar teknik dan desain gerabah mutakhir. ”Program ini merangsang perajin agar kreatif dalam membuat desain,” tutur Stanley.

Stanley, di bawah payung British Council dan Tim Kelompok Keahlian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, memang berusaha mengangkat kembali pamor gerabah Lombok yang sempat berkilat pada era 90-an. Dengan merangsang sejumlah perajin tradisional menggunakan desain kontemporer, diharapkan mereka dapat menularkan ilmu barunya ke sesama perajin gerabah. ”Intinya, mirip sistem multilevel marketing,” kata Asmujo Irianto, Ketua Tim Kelompok Keahlian Seni Rupa ITB.

Menurut Asmujo, kerajinan gerabahnya memiliki karakter kuat. Namun, sejumlah desa penghasil gerabah mulai ambruk. ”Ada kesan desain gerabah Lombok sudah jenuh di pasaran, yang mengakibatkan harganya terus melorot,” Asmujo menjelaskan.

Diharapkan, dengan desain baru ini, gerabah Lombok akan kembali bernilai sekaligus meningkatkan penghasilan perajinnya. Seperti dalam kisah Kampung Kasongan (lihat Jejak Sang Guru di Kasongan). Kerajinan gerabah di desa yang terletak di selatan Yogyakarta itu berhasil menembus pasar mancanegara, sekaligus menaikkan pamor desa dan masyarakatnya yang kini dikenal sebagai desa wisata potensial.

Sebenarnya, yang dilakukan Tim ITB dan British Council mirip apa yang dilakukan oleh New Zealand-Lombok Crafts Project pada 1988. Masuknya proyek ini langsung merangsang kreativitas perajin gerabah.

Proyek Indonesia-Selandia Baru ini berhasil menambah wawasan dan teknik para perajin soal gerabah. Mulai dari cara mengolah bahan baku, desain baru, sampai pengetahuan manajemen penjualan dan penjagaan kualitas gerabah.

Salah satu yang tersisa dan menjadi ciri khas gerabah Lombok hasil proyek ini adalah teknik penyemprotan air asam yang menghasilkan rona cokelat loreng pada gerabah Lombok. Bahkan, lewat program ini, perajin berhasil melakukan inovasi perwajahan gerabah Lombok dengan teknik anyaman rotan yang menjadi pemanis. ”Ceret maling, yang terkenal dari Lombok, adalah salah satu kisah sukses proyek ini,” tutur Sri Sustini, Ketua Yayasan Pengembang Perajin Lombok.

Cahyo Junaedy (Lombok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus