Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kira-kira di situ, Sokrates mati minum racun."
Penjaga itu menunjuk ke arah sebuah blok puing-puing di bawah pohon zaitun yang ranggas. Kami berjalan menuju tempat bersejarah itu. Di papan kecil itu tertulis petunjuk untuk turis: people council hall. "Ya, Sokrates diadili di majelis tinggi rakyat," kata Romo Mudji Sutrisno, doktor filsafat yang mendampingi rombongan.
Di puncak bukit Akropolis, terlihatlah seluruh hamparan Athena. Setelah menyaksikannya dari atas, kami menuju bekas pusat Kota Athena ketika Sokrates, Plato, masih hidup. Suasana Agora sunyi. Turis mana mau keluyuran di udara jekut begini. Agora kurang-lebih seluas lima hektare. Di siang yang dingin itu, kami menyusuri reruntuhan-reruntuhan, membayangkan keramaian Agora enam abad sebelum Masehi. Gagasan demokrasi, yang kini mendunia itu, berasal dari sana. Dari areal kecil itu juga, ide demokrasi sesungguhnya problematik.
Akropolis dan Agora adalah simpul kembar jaringan politik Yunani kuno. Akropolis adalah "high city", tempat tinggal para dewa, dan Agora adalah tempat pertemuan manusia, pusat komersial dan intelektual. Pada zaman Sokrates, warga Athena di Agora sering mendengar pidato di majelis tinggi rakyat, sidang-sidang pengadilan, melatih kemampuan retorika di mimbar-mimbar, berolah tubuh ke gimnasium. Majelis tinggi rakyat konon bisa dihadiri 6.000 orang. Dari Agora, warga Athena mendaki ke atas menuju Parthenon atau Erechtheion atau kuil-kuil lain untuk memohon kepada dewa pujaannya. Mereka menganut politeisme yang tak terbatas, tanpa bantuan agamawan, dogma, atau kitab suci.
Parthenon dibangun 447 sebelum Masehi pada zaman Athena dipimpin Perikles. Ia menginstruksikan arsitek Kallikrates dan Iktinos membuat desain kuil yang megah dengan tiang-tiang bergaya doric, sementara patung-patungnya dibuat oleh Pheidias. Di Agora, Perikles membuat banyak tempat pertemuan umum untuk ceramah, dan odeia, tempat konser. Ia memberikan perlindungan kepada intelektual dan dramawan seperti Anaxagoras dan Sophokles.
Sekarang pemerintah Yunani tengah melakukan restorasi untuk menyelamatkan kemegahan Akropolis. Kerangka-kerangka besi, penyangga pilar-pilar, dan derek yang menaikkan batu-batu raksasa menjadi pemandangan bila Anda menapak Akropolis. Saat Athena dikuasai Konstantinopel, Parthenon dijadikan gereja. Ketika Turki masuk, Parthenon diubah menjadi masjid. Bahkan, oleh Turki, Parthenon sempat "diperkosa" menjadi gudang bubuk mesiu, yang kemudian meledak, memporak-porandakan sisi dalamnya.
Syahdan, pemugaran Candi Borobudur mengalami konservasi yang kompleks di tahun 1980-an. Sebab, untuk mengklopkan satu batu dengan batu yang lain, fasilitas komputer untuk identifikasi tak memuaskan, dan kemudian tim pemugar ditolong dengan cara tradisional, mengandalkan kepekaan para penduduk tua desa dalam mengenali batu-batu.
Akan halnya di Agora, hanya beberapa bangunan yang berdiri utuh. Odeon of Agrippa, bekas concert hall di tengah kota, tinggal lingkaran batu-batu setinggi lutut. Bangunan yang telah dapat dikonservasi secara utuh adalah Stoa of Attalos, tempat dahulu pendidikan-pendidikan dilakukan. Kini bangunan itu menjadi museum. Sayang, untuk persiapan Olimpiade tahun depan, museum ini ditutup. Buku petunjuk turis mencatat koleksi museum adalah barang sehari-hari yang digunakan warga kuno Athena, mulai perkakas, lampu minyak, sampai sandal. Meski mayoritas artifak berupa reruntuhan, maket Agora yang lengkap membuat imajinasi bisa berkelana dengan mudah.
Nun di masa lalu, para orator ulung-disebut kaum sofis-di Stoa menyihir warga. Mereka adalah para profesional seni cuap-cuap. Cakap bicara saat itu adalah parameter tingginya pendidikan seseorang. Para pemuda rela membayar menyaksikan para ahli pidato mendemonstrasikan kemampuan retorika. Sebaliknya, para sofis memberi patokan harga untuk orasi-orasi mereka.
Sokrates jijik dengan perilaku sofis. Sokrates tidak pernah menjadi guru profesional. Ia menolak bayaran. Ia menampik kepiawaiannya berdebat dijual sebagai jasa dalam pengadilan. Ia menuding keterampilan silat lidah kaum sofis sekadar retorika, bukan bertolak dari argumentasi dan penalaran. Ia berkeliling Agora menemui orang dari pelbagai profesi, mengilik-ngilik dengan pertanyaan menukik, menguji pemahaman mereka. Metodenya disebut maieutika-pembidanan-karena bak bidan. Ia memaksa orang kembali berpikir tentang hal-hal yang lazim mereka yakini.
Sokrates, misalnya, mengkritisi dewa-dewa yang disembah di Akropolis. Ia mengecam demokrasi dan menunjukkan bahwa wakil-wakil rakyat di parlemen ternyata banyak dipilih melalui lotre. Sejenak berdiri diam di Agora, kita dapat membayangkan, mungkin di salah satu sudut itu Sokrates melakukan pekerjaan "bidannya" sebagaimana dialog-dialog yang di- kumpulkan oleh Plato, yang sampai pada kita dalam terjemahan bahasa Indonesia tahun 1970-an.
"Ah, itu tidak sulit, Sokrates, seorang laki-laki yang siap menghadapi musuh, tidak melarikan diri, dialah seorang pemberani." Kata seorang pemuda bernama Laches, ketika Sokrates bertanya mengapa keberanian bagi Laches adalah identik dengan ketetapan hati.
"Tapi keteguhan hati dapat berasal dari kebodohan. Bukankah itu berbahaya?" tanya Sokrates.
"Oh, tentu,"
"Lalu, apakah sesuatu yang bodoh itu kamu sebut baik?" demikian cecar Sokrates
"Tidak, Sokrates, tidak."
Sokrates suka mengusut terus, sampai memusingkan. Itulah sebabnya banyak warga Athena menganggap Sokrates seseorang yang berbahaya. Ia dicap sebagai penghasut. Tak jauh dari Agora, bila Anda menyusuri sisi selatan Akropolis, Anda akan sampai ke bekas teater Dionysius. Kini teaternya tidak bisa lagi digunakan. Pada zamannya, setiap awal April mereka menyelenggarakan Festival Dionysian, memperingati Dionysius, dewa anggur dan ekstase. Tragedi, satire, dan komedi dipentaskan dan ditaksir para arkeolog mampu me- ngumpulkan sampai 17.000 warga negara, mayoritas orang dewasa yang memiliki hak suara. Festival itu dipersiapkan selama lebih dari enam bulan-didanai choregos, orang kaya yang berperan sebagai maecenas.
Festival diawali berbagai karnaval dan kontes-kontes merayakan impuls instinktif manusia. Sebuah patung phalus raksasa akan diarak dari Agora sampai teater diiringi para pemuda yang mabuk berat-berpakaian kostum binatang dan bertopeng. Ritual politik pun dilakukan. Sebelum pertunjukan, didahului parade ephebes-orang-orang muda yang para ayah mereka terbunuh dalam pertempuran membela Athena. Para anak yatim ini dipelihara, dan pendidikannya dibiayai oleh negara. Mereka dibariskan dalam kostum pakaian tempur lengkap, sebagai tanda sumpah untuk setia kepada negara sampai mati sebagaimana ayah-ayah mereka.
Beberapa analisis menduga, banyak warga Athena terpengaruh saat Aristophanes mementas-kan drama berjudul Clouds. Ini sebuah komedi yang menampilkan karakter Sokrates secara karikatural. Menghadirkan sosok Sokrates sebagai orang tua yang tingkah lakunya aneh, yang eksentrik, luntang-lantung, dengan pemikiran yang mem- bingungkan.
Oleh beberapa warga Athena, akhirnya Sokrates diadukan melakukan kegiatan subversif: melakukan penyembahan dewa-dewa selain yang dikenal di Akropolis, dan melakukan tindakan yang menyesatkan kaum muda. Sokrates diseret ke pengadilan. Pada tahun 399 SM, Sokrates mati di tangan pe-nguasa-rezim demokratis yang disebut kelompok 30. Ironisnya, sebelumnya beberapa anggotanya sering berdialog dengan Sokrates. Di depan ka-mi, di bouleterion-bangunan dewan rakyat dalam bahasa Yunani, yang kini tinggal remah-remah batu-itulah Sokrates diadili, yang kemudian menjadi skandal terbesar dalam demokrasi Athena. Di situlah Sokrates kemudian dipercaya membacakan pleidoi Apologia, pidato pembelaan yang mengilhami siapa pun sampai kini tentang makna sebuah konsistensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo