Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah adegan, tiga bersaudara perempuan itu berdiri berdempetan. Si sulung berada di tengah, dua adiknya di kanan dan kiri. Si bungsu iseng meniupkan balon merah jambu dekat telinga kakak tertua. Balon spontan ditepisnya. ”Sialan!” Mimik sang kakak marah. Tapi dengan wajah jenaka sambil menggoyangkan jari telunjuk, saudara tengah berkata, ”Kesiaaann....” Lalu dibalas, ”Bloon.”
Pipi ketiganya lantas saling menempel. Mata sempat melotot, seperti sedang berantem. Tapi perkelahian tak terjadi, malahan sebuah dialog: ”Tunggu sebentar, kamu pilih siapa?” kata si sulung. Dibalas adik paling kecil dengan suara lantang: ”Prabowo.” Alis berkerut, kakak tertua bertanya: ”Tony Prabowo?” Lalu diledek anak tengah: ”Aduh, capek deh....” Kemudian mereka berbalasan: ”Kembali ke laptop, sekali lagi kembali ke laptop, sekali lagi kembali ke laptop.”
Bum! Musik garapan Junichi Matsumoto meledakledak. Ketiga saudari itu kembali menari dengan atraksi yang memukau penonton di Teater Salihara, Jakarta, dua pekan lalu. Hiroshi Keiko, sutradara asal Jepang, menyuguhkan pertunjukan selama satu jam bertajuk Three Sisters, karya Anton Pavlovich Chekhov, penulis dan dramawan kelahiran Taganrog, Rusia. Karya yang dipentaskan pertama kali pada 1901 di Moscow Art Theatre ini menceritakan keruntuhan kelas aristokrat di Rusia dan pencarian makna hidup di dunia modern.
Hiroshi mengadaptasi karya Chekov melalui kelompok tari teater kontemporer Pappa Tarahumara, yang dipimpinnya sejak 1982. Dia menggambarkan suasana perkampungan Jepang pada 1960. Pada era itu, Jepang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Dan tiga saudari yang diperankan penari Mao Arata (sulung), Sachiko Shirai (tengah), dan Makie Sekiguchi (bungsu) berusaha bertahan di tengah perubahan zaman dan gaya hidup. Mereka membayangkan Tokyo, tapi tak bisa karena banyaknya tekanan. Naskah asli Chekov menceritakan tiga bersaudara yang belasan tahun tinggal di desa, mengejar mimpi hidup di Moskow.
Hiroshi menunjukkan suasana bergulat melawan kebosanan menghadapi likaliku dan identitas keperempuanan itu dengan batas selotip putih berbentuk persegi di panggung. Ketiga penari yang berganti kostum dua kali tak boleh bergerak di luar garis. Mereka lincah melompat, menendang, bersalto, berlarian, berdiri di atas kursi, dan sesekali duduk, serta bernyanyi atau bersiul. Koreografinya dinamis.
Tarian dipadukan drama: mengisap rokok, membaca buku, meniup balon, memeluk boneka, atau berjalan seraya menenteng tas. Sejumlah properti ikut mewarnai panggung: kursi kayu, perkakas rumah, aksesori rias, dan mikrofon. Atraksi canda, mempertontonkan otot, sampai gerakan jorok dan desahan suara sensual terselip di sanasini. Rok, kemeja, dan stocking dilepas di panggung.
Satu adegan saat penari mengenakan korset hitam—pakaian dalam gaun malam—menunjukkan kekompakan. Jemari penari bermain padu dengan bola lampu. Meliukliukkan badan bersama lampu putih terang. Lantas memutar kabel lampu di tangan kanan untuk membentuk lingkaran. Panggung gelap menjadi istimewa karena pantulan cahaya.
Pappa terdiri atas 13 seniman, dikenal sebagai kelompok pertunjukan ”bongkarpasangmultiseni” kontemporer. Mereka telah tampil di 650 pertunjukan, termasuk di festival besar seperti Dance Umbrella (1991), Berliner Festwochen (1993), Venice Biennale (2002), dan Festival International Cervantino (2003). Pertunjukan di Salihara merupakan yang kedua kalinya di Indonesia, sebelumnya Love Letter di Taman Ismail Marzuki (2001).
Menurut Hiroshi, pertunjukan Three Sisters sudah digelar di 20 negara, sejak 2005. Dari Tokyo sampai Montreal (Kanada); Sao Paulo dan Rio de Janeiro (Brasil); New York, Seattle, dan Philadelphia (Amerika Serikat); Santiago (Cile); Singapura; Manila (Filipina); Kuala Lumpur (Malaysia); Budapest (Hungaria); Warsawa dan Poznan (Polandia); Omsk (Rusia); New Delhi dan Mumbai (India).
Di setiap negara, pertunjukan menampilkan dialog berbahasa setempat. ”Sebagai komunikasi untuk penonton,” kata Hiroshi. Karena Indonesia sedang dalam masa pemilu, Prabowo yang berniat mencalonkan diri menjadi presiden dipelesetkan dengan Tony Prabowo, komposer.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo