Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dungpak, dungpak, dungpak, dungpak, begitu ramai gamelan ditabuh. Sang Mayor mau datang! Dan orangorang desa pun ramai menarinari mengelilingi pohon.
Ada tokoh yang katanya terhormat yang akan datang ke desa mereka. Ia berpangkat mayor, seorang komandan dari anak desa itu. Semua sepakat ia mesti disambut dengan hebat, meski belum kenal. Mereka mesti berbaikbaik agar ia memperlakukan anak desa mereka dengan baik, dan mengeluarkannya dari medan perang.
Tapi belum datang saja si Mayor sudah mengatur. Bila dia datang, tak boleh melenguh keraskeras, tak boleh buang air sembarangan, dan tak boleh menatap ke atas kepalanya, mengingat ia bertubuh pendek. Mayor membuat seisi desa heboh, apalagi keluarga Tot yang menjadi tumpangan. Kita melihat Mariska dan Agiska Tot, istri dan anak perempuan, mondarmandir melayani hingga menemaninya melipat doos malammalam.
Tapi bintang utamanya adalah Lajos Tot, sang kepala keluarga. Selama tiga jam kita melihatnya menelan ego, laku dodok, hingga menjadi gila dalam pentas terbaru Teater Gandrik, Keluarga Tot, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, dua pekan lalu. Asalnya dari sebuah lakon lawas, dirilis pada 29 November 1969. Penulisnya, Istvan Orkeny, menulisnya dengan setting alam bergemeresik salju dan embusan daundaun kering pohon mati ala musim dingin di Hungaria.
Di tangan Gandrik, gemeresik salju atau angin sedingin es itu, kala Eropa miskin papa pascaPerang Dunia II, sungguh tak bersisa. Kegetiran Orkeny dalam tokoh Mayor yang diktator, yang menikmati kekuasaan absolut, cermin dari Janos Kadar, sekretaris pertama Partai Buruh Hungaria yang menjadi Perdana Menteri Hungaria selama 32 tahun—persis dengan kekuasaan Orde Baru—hilang. Yang tinggal adalah lakon ketoprak sampakan yang bertabur ”asem tenaaan”, ”asuuu...”. Semacam proses menjawakan isi pesan yang sangat kental, baik dari kultur, setting, maupun setiap bentuk dialog dan ekspresi. Bagi mereka yang lelah dengan kehidupan urban, lakon ini memberi rihat gojekan Jawa yang sahutmenyahut, penuh improvisasi, dan kontekstual. Misalnya sentilansentilan berbau pemilu seperti rontoknya perolehan suara pohon ”Beringin” dan calon legislator yang hilang akal. Kekuatan peran para pemain pun mesti dipuji karena terasa sangat kuat, sampai ke figurfigur tak bernama para tetangga. Tapi lalu timbul pertanyaan: di mana Hungarianya?
Dalam pengantar, pemimpin produksi Butet Kartaredjasa memaparkan sejumlah masalah dalam seni pertunjukan: dari ketiadaan dukungan pemerintah, sulitnya mencari donor, hingga terpaksa mentraktir penonton dengan tiket murah. Dan ia menghubungkannya dengan kenyataan yang dialami Lajos Tot dan keluarga, ”Ketika masyarakat dipaksa menerima kebenaran, meski ia tak menyukai,” katanya.
Mengutip Faruk H.T., yang dikutip penulis lakon Agus Noor, kekuatan Gandrik adalah mengolah kisahkisah keseharian yang remehtemeh. Nah, dengan mengangkat Keluarga Tot, tantangan bagi Heru Kesawa Murti—pemimpin Gandrik sejak tahun lalu, menggantikan Butet—adalah bagaimana bersama awak Gandrik menyajikan realisme Eropa dalam tradisi keremehtemehan itu, yang oleh Agus disebut sebagai realisme Gandrik.
Lajos Tot (diperankan oleh aktor pendiri, Susilo Nugroho) kemudian merumuskan jawabannya dengan cara sangat jenial, khas Gandrik. Sambil duduk mabukmabukan dengan sang Mayor, ia mengemplang kepala komandan anaknya itu:
Kok kita jadi orang Hungaria? Enggak pantas. Lain kali cari naskah lain saja. Asuuu….
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo