DENGAN gitar Spanyol merek Dominggo buatan 1925, Atsumasa
lNakabayashi menggebrak Teater Besar TIM -- 11 Oktober ini.
Gitaris berusia 50 tahun ini pernah dipuji New York Times
sebagai orang yang menguasai gitar secara mutlak dan ahli.
"Kemampuan dalam menggubah lagu kuno koto membuat si Pendengar
lupa bahwa alat musik adalah suatu gitar belaka," tulis koran
tersebut.
Tetapi pemain gitar yang sehari sebelumnya muncul di Gelanggang
Remaja Jakarta Selatan ini, tidak mendapat kunjungan penonton
yang semestinya. Meskipun A Disque Magazine di Paris memuji
dengan menganjurkan agar piringan hitam orang ini dijual di
Eropa, toh penonton di TIM mungkin tak tahu. Kurang dari separuh
jumlah kursi. Itupun sebagian besar orang-orang Jepang sendiri
-termasuk Hidemichi Kira, Duta Besar Jepang.
6 Jam Sehari
Tenang, gitaris bertubuh jangkung ini mengawali kisahnya dengan
menampilkan Pictorial Suite Espanola for Guitar. Lagu
gubahannya sendiri ini terdiri dari bagian-bagian: Romance of
Andalusia, Grave of Toreador, March of Don Quixote, Two
Nocturnes dan Frencos of Altamira. Maka terdengarlah
seberondongan bunyi yang amat lembut. Iramanya memiliki tampang
Spanyol dengan daya pukau yang menghanyutkan. Ia juga
mendeburkan bagian-bagian keras, menyentak-nyentak, bergelora.
Seperti derap serdadu yang maju perang.
Setelah memadukan kelembutan dan kegarangan, dipersembahkan lagu
bernama Two minutes (Jean Philippe Rameau) Three Dances (Gaspar
Sanz). Penonton makin ditenggelamkan dalam suasana merayu-rayu.
Terbayang Jelas kepribadian yang lembut dan sederhana, tetapi
bisa garang tak terduga manakala diperlukan. Diyakinkan lagi
oleh Prelude Rokudan serta Variation of Sakura -- keduanya
gubahan Nakabayashi. Gitaris yang berlatih enam jam setiap hari
ini telah menyulap instrumennya menjadi alat musik koto.
Gitarnya gemerincing seakan bunyi tetesan air dari pancuran
bambu dalam sebuah kolam yang tenang. Tak ubahnya dengan koto
kecapi Jepang yang tersohor itu.
Nakabayashi tampil berkat jasa The Japan Foundation dan Kedutaan
Besar Jepang. Dalam rangka perjalanan melintasi Asia Tenggara,
ia sempat main di Bangkok, Kualalumpur, Medan, dan nanti segera
akan meneruskan ke Surabaya. Di Jepang ia tergabung dalam
Participation -- sebuah konser keliling beranggota 400 orang
artis. Ia juga anggota The Tokyo Philharmonica Orchestra.
Ia pun memiliki sebuah kursus gitar pribadi yang sempat
mengumpulkan 1000 orang murid sampai saat ini. Ia belajar piano
sejak berusia 5 tahun, dan menempuh pelajaran gitar mulai umur
12 tahun. Dan kini menjadi orang tua yang memuja Pablo de
Sarasate, pemain selo abad ke-l9. Mungkin yang paling
membanggakan dirinya adalah: ia ayah dari seorang putera berusia
14 tahun dan mewarisi kegemaran gitar. Serta juga ayah dari
seorang gadis pemain piano berusia 15 tahun. Sekian.
300 Lagu
Orang ini menarik nafas selama 15 menit selama masa jedah.
Setelah itu ia melanjutkan persembahannya dengan: Preludio no 5
and Lagrima (Francisco Tarrega), Aranjues II Movement (Joaquin
Rodrigo), Fantasia Zigeunerweisen (Pablo Sarasate), Estrelita
and Campanita (Manuel Ponce), Rumble of Caleta (Isaac Albeniz),
dan terakhir Dance of Molinero (Manuel de Falla).
Heran juga. Pertanyaan TEMPO: bagaimana kesannya menghadapi
penonton Jakarta. Ia jawab dengan pujian. "Sambutan penonton di
Indonesia baik sekali. Tahun depan saya akan kembali ke
Indonesia sambil menyiapkan lagu-lagu Indonesia gubahan saya
sendiri," ujarnya. Dengan 3 bulan setiap tahun keliling dunia,
tentunya ia tahu benar mana-mana penonton yang baik dan mana
yang hanya nonton untuk sekedar bergaya. Langkanya penonton
seperti bukan soal. Di samping harga karcis cukup tinggi (Rp 500
dan Rp 1000), tipisnya penonton mungkin disebabkan karena
kurangnya publikasi. Banyak malahan yang menyangka malam itu
akan mendengarkan konser gitar klasik.
Nakabayashi sudah menjelajahi Amerika, Peru, Perancis, Columbia,
dan tentu saja Spanyol. la telah menulis lebih 300 buah lagu
untuk gitar. Kenapa gandrung pada Spanyol malam itu, mungkin
disebabkan karena lamanya ia mendekam di bumi Gipsy itu. Ia
sempat selama 2« tahun berguru pada Jose Luis dan Narciso Yepe.
Sebagai kelanjutan dari yang didapatnya dari guru-gurunya
pertama di Jepang, Yasumasa Obara dan Funiyo Hayasako -- untuk
komposisi. Prestasinya yang pertama pada tahun 1955: hadiah
pertama untuk konkurs gitar seluruh Jepang - merupakan tonggak
yang terus mengantarkannya menjadi pemain gitar terkemuka,
setidak-tidaknya untuk bilangan Jepang dewasa ini. Kata orang,
pemain gitar ulung yang merangkap juga sebagai penggubah lagu
yang hebat, sulit diketemukan dewasa ini di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini