Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jepang berwajah spanyol

Atsumasa nakabayashi mengadakan pertunjukan di teater besar tim. gitaris jepang merangkap sebagai pengubah lagu. iramanya memiliki gaya spanyol. telah menulis 300 lagu untuk gitar.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN gitar Spanyol merek Dominggo buatan 1925, Atsumasa lNakabayashi menggebrak Teater Besar TIM -- 11 Oktober ini. Gitaris berusia 50 tahun ini pernah dipuji New York Times sebagai orang yang menguasai gitar secara mutlak dan ahli. "Kemampuan dalam menggubah lagu kuno koto membuat si Pendengar lupa bahwa alat musik adalah suatu gitar belaka," tulis koran tersebut. Tetapi pemain gitar yang sehari sebelumnya muncul di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan ini, tidak mendapat kunjungan penonton yang semestinya. Meskipun A Disque Magazine di Paris memuji dengan menganjurkan agar piringan hitam orang ini dijual di Eropa, toh penonton di TIM mungkin tak tahu. Kurang dari separuh jumlah kursi. Itupun sebagian besar orang-orang Jepang sendiri -termasuk Hidemichi Kira, Duta Besar Jepang. 6 Jam Sehari Tenang, gitaris bertubuh jangkung ini mengawali kisahnya dengan menampilkan Pictorial Suite Espanola for Guitar. Lagu gubahannya sendiri ini terdiri dari bagian-bagian: Romance of Andalusia, Grave of Toreador, March of Don Quixote, Two Nocturnes dan Frencos of Altamira. Maka terdengarlah seberondongan bunyi yang amat lembut. Iramanya memiliki tampang Spanyol dengan daya pukau yang menghanyutkan. Ia juga mendeburkan bagian-bagian keras, menyentak-nyentak, bergelora. Seperti derap serdadu yang maju perang. Setelah memadukan kelembutan dan kegarangan, dipersembahkan lagu bernama Two minutes (Jean Philippe Rameau) Three Dances (Gaspar Sanz). Penonton makin ditenggelamkan dalam suasana merayu-rayu. Terbayang Jelas kepribadian yang lembut dan sederhana, tetapi bisa garang tak terduga manakala diperlukan. Diyakinkan lagi oleh Prelude Rokudan serta Variation of Sakura -- keduanya gubahan Nakabayashi. Gitaris yang berlatih enam jam setiap hari ini telah menyulap instrumennya menjadi alat musik koto. Gitarnya gemerincing seakan bunyi tetesan air dari pancuran bambu dalam sebuah kolam yang tenang. Tak ubahnya dengan koto kecapi Jepang yang tersohor itu. Nakabayashi tampil berkat jasa The Japan Foundation dan Kedutaan Besar Jepang. Dalam rangka perjalanan melintasi Asia Tenggara, ia sempat main di Bangkok, Kualalumpur, Medan, dan nanti segera akan meneruskan ke Surabaya. Di Jepang ia tergabung dalam Participation -- sebuah konser keliling beranggota 400 orang artis. Ia juga anggota The Tokyo Philharmonica Orchestra. Ia pun memiliki sebuah kursus gitar pribadi yang sempat mengumpulkan 1000 orang murid sampai saat ini. Ia belajar piano sejak berusia 5 tahun, dan menempuh pelajaran gitar mulai umur 12 tahun. Dan kini menjadi orang tua yang memuja Pablo de Sarasate, pemain selo abad ke-l9. Mungkin yang paling membanggakan dirinya adalah: ia ayah dari seorang putera berusia 14 tahun dan mewarisi kegemaran gitar. Serta juga ayah dari seorang gadis pemain piano berusia 15 tahun. Sekian. 300 Lagu Orang ini menarik nafas selama 15 menit selama masa jedah. Setelah itu ia melanjutkan persembahannya dengan: Preludio no 5 and Lagrima (Francisco Tarrega), Aranjues II Movement (Joaquin Rodrigo), Fantasia Zigeunerweisen (Pablo Sarasate), Estrelita and Campanita (Manuel Ponce), Rumble of Caleta (Isaac Albeniz), dan terakhir Dance of Molinero (Manuel de Falla). Heran juga. Pertanyaan TEMPO: bagaimana kesannya menghadapi penonton Jakarta. Ia jawab dengan pujian. "Sambutan penonton di Indonesia baik sekali. Tahun depan saya akan kembali ke Indonesia sambil menyiapkan lagu-lagu Indonesia gubahan saya sendiri," ujarnya. Dengan 3 bulan setiap tahun keliling dunia, tentunya ia tahu benar mana-mana penonton yang baik dan mana yang hanya nonton untuk sekedar bergaya. Langkanya penonton seperti bukan soal. Di samping harga karcis cukup tinggi (Rp 500 dan Rp 1000), tipisnya penonton mungkin disebabkan karena kurangnya publikasi. Banyak malahan yang menyangka malam itu akan mendengarkan konser gitar klasik. Nakabayashi sudah menjelajahi Amerika, Peru, Perancis, Columbia, dan tentu saja Spanyol. la telah menulis lebih 300 buah lagu untuk gitar. Kenapa gandrung pada Spanyol malam itu, mungkin disebabkan karena lamanya ia mendekam di bumi Gipsy itu. Ia sempat selama 2« tahun berguru pada Jose Luis dan Narciso Yepe. Sebagai kelanjutan dari yang didapatnya dari guru-gurunya pertama di Jepang, Yasumasa Obara dan Funiyo Hayasako -- untuk komposisi. Prestasinya yang pertama pada tahun 1955: hadiah pertama untuk konkurs gitar seluruh Jepang - merupakan tonggak yang terus mengantarkannya menjadi pemain gitar terkemuka, setidak-tidaknya untuk bilangan Jepang dewasa ini. Kata orang, pemain gitar ulung yang merangkap juga sebagai penggubah lagu yang hebat, sulit diketemukan dewasa ini di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus