BILA anda mengisap rokok, ingatlah sejenak siapa yang telah
menggilingnya. Mungkin ia bernama Srihartati, salah satu dari
ribuan buruh yang menghuni barak-barak penggilingan di Kudus. Di
sanalah pusat rokok Jarum, Nojorono, Jambu Bol, Sukun. Tak
kurang dari 25 bangunan barak bercokol di kawasan itu. 9 barak
di antaranya milik rokok Jarum. Perusahaan ini mengaku
mempunyai 15 ribu buruh. Dan beberapa orang di antaranya
barangkali telah benar-benar dengan tak mereka sadari, bekerja
untuk anda.
Bila anda mengisap rokok ingatlah Srihartati -- 16 tahun -- yang
menggiling antara 7000 sampai 9000 batang rokok setiap hari.
Tubuhnya ceking, kuning. Ia memakai baju jambon dengan belahan
dada. Di atasnya terjurai kalung emas dengan liontin yang
bertuliskan Love. Ia tersenyum kalau anda menanyakan apa arti
tulisan itu. Tapi akan kelihatan bahwa ia sedikit tersinggung
karena dianggap tidak tahu apa Love. Gadis Jawa ini memang
mengaku tak pernah pacaran. Tapi dialah yang paling bersih di
seIuruh barak.
Tukang Mbatil
Untuk rata-rata penggiling rokok, prestasi Sri cukup
mengagumkan. Bayangkan: buruh lelaki umumnya hanya mampu
menggarap 4000 batang. Ia kerja terus-menerus dari jam 6 pagi
sampai pukul 5 sore. Bersimpuh di depan sebuah alat kecil?
tangannya terus menerus mengatur tembakau dan memutar silinder
penggulung kertas. Kadangkala dalam satu bulan tidak pernah
absen satu hari pun. Ini jangan sampai terdengar oleh Ditjen
Tenaga Kerja. Ia lembur terus atas kemauan sendiri. Lalu kenapa
gadis remaja ini begitu ngebet menyedot duit? "Yah untuk beli
baju, untuk ditabung dan untuk beli kalung ini," ujar Sri kepada
Widi Yarmanto dari TEMPO.
Di daerah Kudus yang terletak di kaki Gunung Muria ada pabrik
tekstil, percetakan yang terbilang besar, selain pabrik rokok.
Sekedar mencari nafkah memang tidak sulit, asal sudi dengan
penghasilan ciut. Para petani di pinggiran serta tenaga-tenaga
kerja di kecamatan sekitar kota memang telah menyerahkan masa
depan mereka ke pabrik-pabrik ini, walaupun orang-orang kota
yang lebih berpendidikan mendambakan pendapatan yang lebih baik.
Dengan angka barangkali akan lebih jelas betapa pas-pasannva
hidup mereka. Setiap seribu rokok gilingan, buruh berhak
menerima Rp 100. Di atas jumlah 3000 batang upah dinaikkan
menjadi Rp 150 untuk setiap ribu hasil gilingan. Jadi kalau Sri
misalkan sedang baik keadaan lututnya waktu bersimpuh kerja,
dari 8000 batang rokok yang ia kerjakan akan direnggutnya Rp
1.050 setiap hari.
Jumlah itu lumayan -- meskipun hampir sama dengan yang diperoleh
pengemis di perempatan jalan di Jakarta setiap hari, walau biaya
hidup di Jakarta lebih tinggi dari di Kudus. Tapi jangan lupa,
dari jumlah tersebut 40% harus diserahkan kepada tukang mbatd.
Itu orang yang juga diam satu barak, dengan tugas memotong rokok
yang sudah digiling. Jadi yang diterima Sri Rp 630. Ini masih
dipotong biaya makan Rp 75 pada saat istirahat.
Pada penghuni barak lainnya, seperti Sumadi yang bertanggung
jawab atas 3 perut anaknya, penghasilan jauh lebih minim. Ia
hanya bisa mencapai 4000 batang setiap hari. "Jadi paling banter
cuma tiga ratus perak," ujarnya. Lelaki berusia 35 tahun ini
seakan telah menyia-nyiakan otot-ototnya dengan berdesakan dalam
barak yang dihuni oleh 375 buruh -- 50 orang di antaranya
lelaki. "Habis mau apa lagi, memang segitu kemampuan saya.
Makin tua kan makin menurun kekuatan saya," ujarnya minta
pengertian.
Kegembiraan Kecil
Kalau hanya untuk mengisi perut, Sumadi barangkali masih boleh
dikatakan cukup gagah sebagai kepala keluarga. Tetapi bicara
tentang pendidikan anak-anaknya, jumlah yang didapatkannya mau
tak mau akan membuat ia terbengong. Barangkali riwayat
pendidikamlya yang hanya lulus SD, masih akan diteruskan oleh
anak-anaknya.
Juga riwayat bagaimana ia terpaksa kemudian menjadi buruh mbatil
sebelum diterima sebagai tukang giling. "Kalau ingat waktu
pertama kali mbatil, hasil saya cuma bisa buat beli beras
sekilo." Tapi ini memang pilihan satu-satunya - paling tidak
menurut pengakuannya sendiri. "Mau kerja di mana?" Ia juga
pernah menanyakan pertanyaan itu. Jawabannya tidak pernah
muncul. "Maunya kerja dengan gaji besar, tapi di mana? Saya 'kan
tidak sekolah tinggi."
Srihartati juga tidak sekolah tinggi. Ia tercabut dari bangku
sekolah tatkala ayahnya meninggal. Ia menangis karena hatinya
masih lekat di antara kawan sebangku. Kini setelah mampu
mengumpulkan uang, ia kadangkala merindukan kembali meneruskan
menuntut ilmu, biasa. Kembali dolanall seperti anakanak yang
lain, malam hari main di bawah rembulan. Tetapi tetap tak
terlaksana. Duit tabungannya begitu saja ludas hbis hari raya.
Kemana lagi. Raib seperti dijilati kucing untuk berdarmawisata
ke Kopeng bersama buruh-buruh rokok yang lain. "Memang habis,
tapi saya seneng karena bisa piknik," helah Sri.
Meskipun ragu untuk mengatakan adakah ia senang pada
pekerjaannya, Sri juga tak ingin menyembunyikan beberapa
kegembiraan kecil. Di dalam barak yang panas, tumpat oleh bau
tembakau, cengkeh, saus tembakau serta keringat para pekerja,
tahun kemarin misalnya ada pembagian seragam kuning. Di sana
juga ada seorang dokter. Sementara sejak tahun ini, pemilik
barak mulai merasa perlu menghibur karyawannya yang telah beku
oleh tembakau dengan menempatkan sebuah tape recorder. Maka
penuhlah barak itu dengan suara-suara Koes Plus atau Oma Irama.
"Saya senang tip, saya suka diam melaras-laras suara tip itu.
Apalagi kalau Waljinah yang nembang."
Menurut pengakuan pihak majikan, ada ide untuk memberi keahlian
lain kepada para buruh. Sri misalnya di samping mendengar suara
Oma Irama dengan gratis juga diberi hak untuk sekolah modiste.
Kalau mau. "Ini untuk membekali suatu kepandaian bagi buruh
supaya kelak tidak terlantar, kalau pabrik ini terjadi apa-apa,"
kata seorang pengawas dalam barak. Pengawas ini menggelengkan
kepalanya, tatkala ditanya lagi tidakkah hal tersebut merugikan
pelusahaan. Buruh kontan lari sesudah memperoleh keahlian baru.
"Itu risiko kami dan tentunya sudah diperhitungkan pula," kata
pengawas itu dengan kalemnya. Tentu saja seorang buruh keluar,
100 orang akan mendaftar. "Sekolah Sedang Libur" Apalagi untuk
menjadi penghuni barak tak ada persyaratan apa-apa. Siapa yang
ingin bekerja tak usah menulis surat lamaran. Tapi harus mulai
sebagai buruh mbatil yang berpenghasilan Rp 200 satu hari. Sri
juga mengalami periode itu meskipun ia melewatkannya dengan
cepat sekali. Dari pembatu seorang buruh bisa naik menjadi
tukang giling. Dan kalau masih bemasib mujur pangkatnya masih
bisa ngetop lagi sampai jadi mandor.
Banyak di antara penghuni barak ternyata masih anak-anak --
masih belasan tahun. Kalau anda bertanya kenapa hal ini sampai
terjadi, jawabnya biasanya: "Sekolah sedang libur, jadi daripada
cuma main tidak karuan, lebih baik ditampung di sini. Dapat
uang, dapat pengalaman." Salah seorang pengawas malahan
menganggap hal tersebut sesuatu yang terpuji. "Di rumah mereka
di sana -- sekitar 5 Km dari pabrik -- banyak yang menyedihkan.
Orangtua tidak mampu. Anak-anak ini pengin beli es saja tidak
bisa, kasihan kan !"
Maka Sri pun dengan sepedanya pulang balik setiap hari. Di
tempat di mana Sumadi yang doyan Waljinah itu menemukan pula
bininya di antara wanita-wanita penghuni barak, barangkali satu
ketika Sri akan menghapus lamunannya untuk sekolah lagi - kalau
ia dihmar oleh penghuni barak yang dia sukai. Lalu tetap jadi
penggiling rokok sampai rnati Ke tempat-tempat seperti inilah --
yang jumlahnya takkan pernah mencukupi dibanding angkatan tenaga
kerja - bondongan penduduk dan terutama kaum wanita mengalir
dari pelosok-pelosok.
Mereka itu menjadi "orang-orang kota" -- dan syukur kalau bisa
ditolong oleh penghasilan yang rendah -- setelah di dusun mereka
hampir tak bisa lagi menumbuk padi lantaran datangnya huler dan
mesin-mesin modern, tak bisa lagi membuat pecah-belah dari tanah
liat lantaran datangnya barang plastik, tak bisa lagi bikin
sandal dan sepatu kulit lantaran saingan pabrik, tak bisa lagi
jual dawet atau legen kelapa lantaran serangan minuman botol.
Dinegeri di mana undang-undang perlindungan buruh tak begitu
jelas mereka ini sekarang "bekerja untuk pembangunan"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini