Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bila Anda Mengisap Rokok, ...

Srihartati, buruh penggilingan rokok di perusahaan rokok jarum, kudus. dalam 1 hari menggiling 7000-9000 batang rokok, bekerja dari jam 6.00 pagi-17.00 sore penghasilan cukup untuk makan dan beli baju.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA anda mengisap rokok, ingatlah sejenak siapa yang telah menggilingnya. Mungkin ia bernama Srihartati, salah satu dari ribuan buruh yang menghuni barak-barak penggilingan di Kudus. Di sanalah pusat rokok Jarum, Nojorono, Jambu Bol, Sukun. Tak kurang dari 25 bangunan barak bercokol di kawasan itu. 9 barak di antaranya milik rokok Jarum. Perusahaan ini mengaku mempunyai 15 ribu buruh. Dan beberapa orang di antaranya barangkali telah benar-benar dengan tak mereka sadari, bekerja untuk anda. Bila anda mengisap rokok ingatlah Srihartati -- 16 tahun -- yang menggiling antara 7000 sampai 9000 batang rokok setiap hari. Tubuhnya ceking, kuning. Ia memakai baju jambon dengan belahan dada. Di atasnya terjurai kalung emas dengan liontin yang bertuliskan Love. Ia tersenyum kalau anda menanyakan apa arti tulisan itu. Tapi akan kelihatan bahwa ia sedikit tersinggung karena dianggap tidak tahu apa Love. Gadis Jawa ini memang mengaku tak pernah pacaran. Tapi dialah yang paling bersih di seIuruh barak. Tukang Mbatil Untuk rata-rata penggiling rokok, prestasi Sri cukup mengagumkan. Bayangkan: buruh lelaki umumnya hanya mampu menggarap 4000 batang. Ia kerja terus-menerus dari jam 6 pagi sampai pukul 5 sore. Bersimpuh di depan sebuah alat kecil? tangannya terus menerus mengatur tembakau dan memutar silinder penggulung kertas. Kadangkala dalam satu bulan tidak pernah absen satu hari pun. Ini jangan sampai terdengar oleh Ditjen Tenaga Kerja. Ia lembur terus atas kemauan sendiri. Lalu kenapa gadis remaja ini begitu ngebet menyedot duit? "Yah untuk beli baju, untuk ditabung dan untuk beli kalung ini," ujar Sri kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Di daerah Kudus yang terletak di kaki Gunung Muria ada pabrik tekstil, percetakan yang terbilang besar, selain pabrik rokok. Sekedar mencari nafkah memang tidak sulit, asal sudi dengan penghasilan ciut. Para petani di pinggiran serta tenaga-tenaga kerja di kecamatan sekitar kota memang telah menyerahkan masa depan mereka ke pabrik-pabrik ini, walaupun orang-orang kota yang lebih berpendidikan mendambakan pendapatan yang lebih baik. Dengan angka barangkali akan lebih jelas betapa pas-pasannva hidup mereka. Setiap seribu rokok gilingan, buruh berhak menerima Rp 100. Di atas jumlah 3000 batang upah dinaikkan menjadi Rp 150 untuk setiap ribu hasil gilingan. Jadi kalau Sri misalkan sedang baik keadaan lututnya waktu bersimpuh kerja, dari 8000 batang rokok yang ia kerjakan akan direnggutnya Rp 1.050 setiap hari. Jumlah itu lumayan -- meskipun hampir sama dengan yang diperoleh pengemis di perempatan jalan di Jakarta setiap hari, walau biaya hidup di Jakarta lebih tinggi dari di Kudus. Tapi jangan lupa, dari jumlah tersebut 40% harus diserahkan kepada tukang mbatd. Itu orang yang juga diam satu barak, dengan tugas memotong rokok yang sudah digiling. Jadi yang diterima Sri Rp 630. Ini masih dipotong biaya makan Rp 75 pada saat istirahat. Pada penghuni barak lainnya, seperti Sumadi yang bertanggung jawab atas 3 perut anaknya, penghasilan jauh lebih minim. Ia hanya bisa mencapai 4000 batang setiap hari. "Jadi paling banter cuma tiga ratus perak," ujarnya. Lelaki berusia 35 tahun ini seakan telah menyia-nyiakan otot-ototnya dengan berdesakan dalam barak yang dihuni oleh 375 buruh -- 50 orang di antaranya lelaki. "Habis mau apa lagi, memang segitu kemampuan saya. Makin tua kan makin menurun kekuatan saya," ujarnya minta pengertian. Kegembiraan Kecil Kalau hanya untuk mengisi perut, Sumadi barangkali masih boleh dikatakan cukup gagah sebagai kepala keluarga. Tetapi bicara tentang pendidikan anak-anaknya, jumlah yang didapatkannya mau tak mau akan membuat ia terbengong. Barangkali riwayat pendidikamlya yang hanya lulus SD, masih akan diteruskan oleh anak-anaknya. Juga riwayat bagaimana ia terpaksa kemudian menjadi buruh mbatil sebelum diterima sebagai tukang giling. "Kalau ingat waktu pertama kali mbatil, hasil saya cuma bisa buat beli beras sekilo." Tapi ini memang pilihan satu-satunya - paling tidak menurut pengakuannya sendiri. "Mau kerja di mana?" Ia juga pernah menanyakan pertanyaan itu. Jawabannya tidak pernah muncul. "Maunya kerja dengan gaji besar, tapi di mana? Saya 'kan tidak sekolah tinggi." Srihartati juga tidak sekolah tinggi. Ia tercabut dari bangku sekolah tatkala ayahnya meninggal. Ia menangis karena hatinya masih lekat di antara kawan sebangku. Kini setelah mampu mengumpulkan uang, ia kadangkala merindukan kembali meneruskan menuntut ilmu, biasa. Kembali dolanall seperti anakanak yang lain, malam hari main di bawah rembulan. Tetapi tetap tak terlaksana. Duit tabungannya begitu saja ludas hbis hari raya. Kemana lagi. Raib seperti dijilati kucing untuk berdarmawisata ke Kopeng bersama buruh-buruh rokok yang lain. "Memang habis, tapi saya seneng karena bisa piknik," helah Sri. Meskipun ragu untuk mengatakan adakah ia senang pada pekerjaannya, Sri juga tak ingin menyembunyikan beberapa kegembiraan kecil. Di dalam barak yang panas, tumpat oleh bau tembakau, cengkeh, saus tembakau serta keringat para pekerja, tahun kemarin misalnya ada pembagian seragam kuning. Di sana juga ada seorang dokter. Sementara sejak tahun ini, pemilik barak mulai merasa perlu menghibur karyawannya yang telah beku oleh tembakau dengan menempatkan sebuah tape recorder. Maka penuhlah barak itu dengan suara-suara Koes Plus atau Oma Irama. "Saya senang tip, saya suka diam melaras-laras suara tip itu. Apalagi kalau Waljinah yang nembang." Menurut pengakuan pihak majikan, ada ide untuk memberi keahlian lain kepada para buruh. Sri misalnya di samping mendengar suara Oma Irama dengan gratis juga diberi hak untuk sekolah modiste. Kalau mau. "Ini untuk membekali suatu kepandaian bagi buruh supaya kelak tidak terlantar, kalau pabrik ini terjadi apa-apa," kata seorang pengawas dalam barak. Pengawas ini menggelengkan kepalanya, tatkala ditanya lagi tidakkah hal tersebut merugikan pelusahaan. Buruh kontan lari sesudah memperoleh keahlian baru. "Itu risiko kami dan tentunya sudah diperhitungkan pula," kata pengawas itu dengan kalemnya. Tentu saja seorang buruh keluar, 100 orang akan mendaftar. "Sekolah Sedang Libur" Apalagi untuk menjadi penghuni barak tak ada persyaratan apa-apa. Siapa yang ingin bekerja tak usah menulis surat lamaran. Tapi harus mulai sebagai buruh mbatil yang berpenghasilan Rp 200 satu hari. Sri juga mengalami periode itu meskipun ia melewatkannya dengan cepat sekali. Dari pembatu seorang buruh bisa naik menjadi tukang giling. Dan kalau masih bemasib mujur pangkatnya masih bisa ngetop lagi sampai jadi mandor. Banyak di antara penghuni barak ternyata masih anak-anak -- masih belasan tahun. Kalau anda bertanya kenapa hal ini sampai terjadi, jawabnya biasanya: "Sekolah sedang libur, jadi daripada cuma main tidak karuan, lebih baik ditampung di sini. Dapat uang, dapat pengalaman." Salah seorang pengawas malahan menganggap hal tersebut sesuatu yang terpuji. "Di rumah mereka di sana -- sekitar 5 Km dari pabrik -- banyak yang menyedihkan. Orangtua tidak mampu. Anak-anak ini pengin beli es saja tidak bisa, kasihan kan !" Maka Sri pun dengan sepedanya pulang balik setiap hari. Di tempat di mana Sumadi yang doyan Waljinah itu menemukan pula bininya di antara wanita-wanita penghuni barak, barangkali satu ketika Sri akan menghapus lamunannya untuk sekolah lagi - kalau ia dihmar oleh penghuni barak yang dia sukai. Lalu tetap jadi penggiling rokok sampai rnati Ke tempat-tempat seperti inilah -- yang jumlahnya takkan pernah mencukupi dibanding angkatan tenaga kerja - bondongan penduduk dan terutama kaum wanita mengalir dari pelosok-pelosok. Mereka itu menjadi "orang-orang kota" -- dan syukur kalau bisa ditolong oleh penghasilan yang rendah -- setelah di dusun mereka hampir tak bisa lagi menumbuk padi lantaran datangnya huler dan mesin-mesin modern, tak bisa lagi membuat pecah-belah dari tanah liat lantaran datangnya barang plastik, tak bisa lagi bikin sandal dan sepatu kulit lantaran saingan pabrik, tak bisa lagi jual dawet atau legen kelapa lantaran serangan minuman botol. Dinegeri di mana undang-undang perlindungan buruh tak begitu jelas mereka ini sekarang "bekerja untuk pembangunan"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus