PARA pengusaha real estate boleh berterima kasih pada
penyalur-penyalur film kamera Jepang yang ikut melariskan
rumah-rumah mewah mereka. Awal tahun ini rumah mewah berharga
puluhan juta sudah terangkat pula ke puncak daftar hadiah kupon
pembeli fihn Sakura. Begitulah siasat Nirwana Photo yang
mencoba menghadapi saingannya -- Fuji Film -- dengan iklan kupon
berhadiah menarik sambil mengadakan variasi produksi. Misalnya
dengan mengeluarkan kartu bergambar ukuran super Sakura, yang
konon 60% lebih besar ukuran kartupos biasa.
Tanpa mengeluarkan kartupos gajah, Fuji Film yang diageni oleh
PT Modern Photo Film berusaha mengimbangi Sakura dalam perang
tandingnya dengan kupon berhadiah pula. Hadiah-hadiah yang
dipertandingkan itu memang sudah menanjali kursnya semenjak
penyalur kamera dan film Fuji itu membuka laboratorium film
berwarnanya 4 tahun silam (Nirwana Photo sudah mendahuluinya
tahun 1970: itulah lab foto berwarna pertama di Indonesia).
Mula-mula Sakura menawarkan hadiah Vespa sedang Fuji menawarkan
hadiah mobil Datsun. Belum cukup mahal harga "piala"
pertandingan itu, rumah-rumah mewah yang sedang lesu pun
kebagian tempat.
Masyarakat awam yang pada mulanya belum begitu faham soal
kwalitas berbagai merek film berwarna terombang-ambing di
antara kedua merek itu. Pokoknya asal foto hasil afdruknya
berwarna menyala dan harganya murah, ditambah kemungkinan
menggondol skuter mobil atau rumah mewah plus sederetan hadiah
yang lebih murah. Berjubel mereka ke toko-toko yang dikenal
lewat iklan di bioskop, koran & majalah. Apalagi saat itu sudah
mulai dijual pula aneka kamera otomatis mulai dari yang ukuran
standar sampai yang bisa dimasukkan ke saku.
Kompromi
Perusahaan-perusahaan kecil yang mencuci & mengafdruk film
berwarna dengan peralatan sederhana dengan sendirinya merasa
gemetar. Kalau yang besar seperti Modern Photo dengan mesin
modernnya mampu mencetak 1000 kali film per jam, maka yang
kecil-kecil hanya menggunakan alat pembesar biasa. Dan koreksi
warna dikerjakan dengan tekun oleh pekerja lab sendiri. Karena
pekerjaan lebih lambat dan membutuhkan lebih banyak karyawan,
tarif yang dipasang perusahaan-perusahaan kecil itu jadi tinggi.
Untunglah yang membeli masih cukup banyak sehingga bisa terus
menghidupkan mereka. Sebab satu-satunya keuntungan adalah
mereka tidak perlu menyisihkan laba untuk menutupi investasi
laboratorium mahal seperti milik Nirwana yang konon menelan Rp
250 juta.
Besarnya biaya investasi itu barangkali merupakan satu soal
mengapa Sakura dan Fuji su1it untuk banting harga. Saat ini
kartupos super buatan Sakura ditawarkan seharga Rp 125 per
lembar. Sedang Fuji masih tetap saja mencetak foto berwarna
dalam ukuran kartupos biasa dengan harga Rp 125 juga. Padahal
semula persaingan itu dimulai dengan harga Rp 100 untuk kartupos
Fuji maupun Sakura. dan berlaku seragam di seluruh Jakarta. Tapi
akibat hadiah-hadiah yang justru menambah ongkos produksi (biaya
hadiah-hadiah Nirwana kabarnya Rp 25 juta), terpaksa harga
penjualan dinaikkan. Maka kompromilah kedua raksasa itu. Mereka
pasang harga yang seragam: Rp 125/lembar bagi ukuran biasa
ataupun super.
Destruktif
Yang paling merasa dirugikan akibat "perang" Fuji & Sakura itu
adalah pengusaha-pengusaha menengah. Mengapa? "Langganan kami
tersedot karena tertarik pada hadiah-hadiah Fuji & Sakura", ujar
Kiki dari Djakarta Photo di jalan Sabang. Terpaksa sejak Januari
lalu perusahaannya menurunkan harga kartuposnya dari Rp 100
menjadi Rp 80/lembar. Penurunan harga itu dimaksudkan untuk
menaikkan kembali omset penjualannya yang sudah turun 30 antara
1974/1975. Hasilnya sudah kelihatan. Kini produksi Djakarta
Photo sudah naik menjadi 11 ribu lembar/hari dibandingkan dengan
8 ribu lembar kartupos tahun 1974.
Lalu, kalau para raksasa terus menggalakkan promosinya
bagaimana nasib golongan menengah itu? Kata Kiki: kalau kita
banting harga lagi hingga Rp 70 per lembar, kami sudah tidak
untung lagi". Makanya Majalah Foto Indonesia terbitan Bandung
menyebut persaingan ini "destruktif". Pada akhirnya, konsumen
jualah yang menentukan. Tapi kalau yang menengah-menengah itu
mampu mempertahankan mutunya tidak lebih jelek dari pada kedua
raksasa yang punya lab modern itu, kebanyakan penggemar foto
akan tetap mencari yang lebih murah.
Bak kata seorang pemotret pada TEMPO: Toh kita ini beli filmnya
untuk beli film, titik. Bukan buat mengadu untung untuk mendayat
skuter, mobil atau rumah mewah". Memang bagi para penggemar
foto tentu tak akan terkecoh oleh bunyi iklan mereka. Tapi bagi
orang banyak bisa dimengerti kalau daya tarik yang menggiurkan
dari Sakura dan Fuji itulah yang jadi pilihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini