Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengharap "Piala"- Super

Berlomba merebut hati konsumen, penyalur film sakura dan fuji tak segan mengadakan iklan kupon berhadiah besar. dari sepeda motor dan mobil, kini ditawarkan dengan hadiah rumah mewah. (eb)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengusaha real estate boleh berterima kasih pada penyalur-penyalur film kamera Jepang yang ikut melariskan rumah-rumah mewah mereka. Awal tahun ini rumah mewah berharga puluhan juta sudah terangkat pula ke puncak daftar hadiah kupon pembeli fihn Sakura. Begitulah siasat Nirwana Photo yang mencoba menghadapi saingannya -- Fuji Film -- dengan iklan kupon berhadiah menarik sambil mengadakan variasi produksi. Misalnya dengan mengeluarkan kartu bergambar ukuran super Sakura, yang konon 60% lebih besar ukuran kartupos biasa. Tanpa mengeluarkan kartupos gajah, Fuji Film yang diageni oleh PT Modern Photo Film berusaha mengimbangi Sakura dalam perang tandingnya dengan kupon berhadiah pula. Hadiah-hadiah yang dipertandingkan itu memang sudah menanjali kursnya semenjak penyalur kamera dan film Fuji itu membuka laboratorium film berwarnanya 4 tahun silam (Nirwana Photo sudah mendahuluinya tahun 1970: itulah lab foto berwarna pertama di Indonesia). Mula-mula Sakura menawarkan hadiah Vespa sedang Fuji menawarkan hadiah mobil Datsun. Belum cukup mahal harga "piala" pertandingan itu, rumah-rumah mewah yang sedang lesu pun kebagian tempat. Masyarakat awam yang pada mulanya belum begitu faham soal kwalitas berbagai merek film berwarna terombang-ambing di antara kedua merek itu. Pokoknya asal foto hasil afdruknya berwarna menyala dan harganya murah, ditambah kemungkinan menggondol skuter mobil atau rumah mewah plus sederetan hadiah yang lebih murah. Berjubel mereka ke toko-toko yang dikenal lewat iklan di bioskop, koran & majalah. Apalagi saat itu sudah mulai dijual pula aneka kamera otomatis mulai dari yang ukuran standar sampai yang bisa dimasukkan ke saku. Kompromi Perusahaan-perusahaan kecil yang mencuci & mengafdruk film berwarna dengan peralatan sederhana dengan sendirinya merasa gemetar. Kalau yang besar seperti Modern Photo dengan mesin modernnya mampu mencetak 1000 kali film per jam, maka yang kecil-kecil hanya menggunakan alat pembesar biasa. Dan koreksi warna dikerjakan dengan tekun oleh pekerja lab sendiri. Karena pekerjaan lebih lambat dan membutuhkan lebih banyak karyawan, tarif yang dipasang perusahaan-perusahaan kecil itu jadi tinggi. Untunglah yang membeli masih cukup banyak sehingga bisa terus menghidupkan mereka. Sebab satu-satunya keuntungan adalah mereka tidak perlu menyisihkan laba untuk menutupi investasi laboratorium mahal seperti milik Nirwana yang konon menelan Rp 250 juta. Besarnya biaya investasi itu barangkali merupakan satu soal mengapa Sakura dan Fuji su1it untuk banting harga. Saat ini kartupos super buatan Sakura ditawarkan seharga Rp 125 per lembar. Sedang Fuji masih tetap saja mencetak foto berwarna dalam ukuran kartupos biasa dengan harga Rp 125 juga. Padahal semula persaingan itu dimulai dengan harga Rp 100 untuk kartupos Fuji maupun Sakura. dan berlaku seragam di seluruh Jakarta. Tapi akibat hadiah-hadiah yang justru menambah ongkos produksi (biaya hadiah-hadiah Nirwana kabarnya Rp 25 juta), terpaksa harga penjualan dinaikkan. Maka kompromilah kedua raksasa itu. Mereka pasang harga yang seragam: Rp 125/lembar bagi ukuran biasa ataupun super. Destruktif Yang paling merasa dirugikan akibat "perang" Fuji & Sakura itu adalah pengusaha-pengusaha menengah. Mengapa? "Langganan kami tersedot karena tertarik pada hadiah-hadiah Fuji & Sakura", ujar Kiki dari Djakarta Photo di jalan Sabang. Terpaksa sejak Januari lalu perusahaannya menurunkan harga kartuposnya dari Rp 100 menjadi Rp 80/lembar. Penurunan harga itu dimaksudkan untuk menaikkan kembali omset penjualannya yang sudah turun 30 antara 1974/1975. Hasilnya sudah kelihatan. Kini produksi Djakarta Photo sudah naik menjadi 11 ribu lembar/hari dibandingkan dengan 8 ribu lembar kartupos tahun 1974. Lalu, kalau para raksasa terus menggalakkan promosinya bagaimana nasib golongan menengah itu? Kata Kiki: kalau kita banting harga lagi hingga Rp 70 per lembar, kami sudah tidak untung lagi". Makanya Majalah Foto Indonesia terbitan Bandung menyebut persaingan ini "destruktif". Pada akhirnya, konsumen jualah yang menentukan. Tapi kalau yang menengah-menengah itu mampu mempertahankan mutunya tidak lebih jelek dari pada kedua raksasa yang punya lab modern itu, kebanyakan penggemar foto akan tetap mencari yang lebih murah. Bak kata seorang pemotret pada TEMPO: Toh kita ini beli filmnya untuk beli film, titik. Bukan buat mengadu untung untuk mendayat skuter, mobil atau rumah mewah". Memang bagi para penggemar foto tentu tak akan terkecoh oleh bunyi iklan mereka. Tapi bagi orang banyak bisa dimengerti kalau daya tarik yang menggiurkan dari Sakura dan Fuji itulah yang jadi pilihan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus