Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kahlo di Mata 23 Perupa Indonesia

Dua puluh tiga pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali menginterpretasikan sosok perupa Frida Kahlo di Galeri Nadi, Jakarta. Sekadar bermain dengan tafsir?

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


FRIDA KAHLO mengembuskan napasnya yang terakhir 13 Juli 1954 silam. Tetapi kini Galeri Nadi di Jakarta menyelenggarakan sebuah "peringatan" tentang perempuan jenius Meksiko yang meninggal pada usia 47 tahun itu. Syahdan, Desember silam, kurator Hendro Wiyanto menyebar undangan kepada 30 pelukis untuk berpartisipasi dalam acara ini. Dua puluh tiga orang menyanggupi. Maka, selama tiga bulan, 23 perupa itu menafsirkan Kahlo di atas kanvas.

Sampai kini sosok Kahlo masih juga menuai interpretasi tak berkesudahan. Para sejarawan seni masih bernafsu menemukan misteri yang tersembunyi dari faset gelap kehidupannya. Para kritikus dan pengamat tak kunjung selesai membedah sejarah penderitaan tubuhnya yang menanggung polio, rusak punggung, radang paru-paru, atau siksaan batin sang suami, Diego Riviera, sampai kecenderungan biseksualnya. Toh, masih ada teka-teki yang mengambang, misalnya kematian Leon Trotsky, yang dianggap melibatkan Kahlo.

Tapi Hendro tampak tak membatasi pada sebuah tema tertentu. Mereka bebas menerjemahkan Kahlo dari sudut dan jurusan mana pun. Ini menunjukkan bahwa Kahlo tak lagi menjadi milik khazanah eksklusif seni, tapi publik luas. Ia sudah menjadi ikon pop yang dianak-pinakkan dunia fashion, advertising, sampai industri pers, meski belum menjadi ikon kebudayaan laris seperti Che Guevara, Bob Marley, Jim Morrisson, yang merajalela di atas kaus T-shirt, stiker, atau poster yang dijual pedagang kaki lima jembatan Blok M.

Ternyata kebanyakan perupa mengolah sosok Frida yang paling popular, yaitu potret diri. Tak jadi soal jika penafsiran itu berbeda dengan visi asli Frida. Pada Frida, potret diri bukanlah bentuk aktualisasi idola atau maniak diri, melainkan sebuah terapi untuk bertahan hidup. Ia adalah pelarian diri dari rasa sakit tubuhnya. Pada September 1925, bus sekolah Frida ditabrak trem listrik, yang meremukkan tulang-tulang tubuhnya. Ia selamat. Tetapi di kemudian hari kita melihat karya-karyanya yang selalu melibatkan alat pembedahan aneh berseliweran di sekujur tubuh.

Kegemaran potret diri Frida itu secara lucu diparodikan Agus Suwage. Agus adalah juga pelukis yang getol mengolah foto dirinya. Pamerannya selalu penuh potret dirinya dengan berbagai gaya yang muskil. Kanvas selalu menjadi alter-egonya. Karyanya kali ini adalah Frida Kahlo's Lonely Heart Club Band. Dirinya yang bertelanjang dada, kerempeng, dengan rambut cepak, posisi kaku, menghadap ke muka dengan lagak serius, berkerut kening, dengan alis tebal-panjang saling menyambung yang mencerminkan sepasang alis mata milik Frida Kahlo. Di dada kirinya terpampang seonggok jantung berdarah yang dialiri selang infus putih, ikon kesakitan Kahlo. Judul lukisan itu tentu saja pelesetan dari Sergeant's Pepper Lonely Heart Club Band, sebuah album legendaris The Beatles.

Akan halnya Asmujo Irianto, Aminuddin "Ucok" Siregar, dan S. Teddy tampak mencoba-coba bermain dengan sisi maskulinitas Frida. Aminuddin Siregar memilih melukis kembali sosok Frida dalam lukisan Self Portrait with Monkey and Parrot (1942) dengan menambah berewok tebal pada pipi Frida. Sementara itu, Teddy menampilkan wajah Frida yang kelimis, berambut pendek, dan berkumis. Sebelum terjadi kecelakaan, para pengamat menemukan fakta bahwa di saat remaja, Frida sering berdandan mengenakan jas lengkap ayahnya, berambut pendek dengan sisiran mengkilap ke samping. Ia tampak seperti pria yang ganteng.

Astari Rasyid dan Regina Bimadona membayangkan dirinya sebagai kembaran Kahlo. Berdasarkan lukisan Two Fridas (1939), lukisan Frida kembar, mereka mengganti sebuah wajah Frida dengan wajah para pelukisnya. Simak The T-Time—karya Astari, yang langsung laku seharga Rp 40 juta—yang memperlihatkan Frida mengenakan baju dodot, baju kemben Jawa, sementara Astari mengenakan ihuana, gaun khas Frida. "Kami bertukar baju. Situasi Meksiko dan Indonesia kan kini sama," tutur Astari.

Namun, kegetiran yang mengalir dari lukisan karya Kahlo rata-rata tak menggumpal pada penafsiran 23 perupa ini. Tentu saja lukisan-lukisan itu laku keras. Lukisan kartun Heri Dono berjudul The Domination of Diego Riviera atau Healing through the Politician Spirit, yang menggambarkan Kahlo di kursi roda membawa bendera bergambar Marx, Stalin, Trotsky, laku seharga Rp 50 juta. Lukisan Dede Eri Supria yang sederhana berupa wajah realis Kahlo di tengah serpihan kawat, duri, dan daun-daun kering pun "sold" seharga Rp 50 juta. Tampaknya penderitaan Kahlo laku dijual.

Seno Joko Suyono dan Arif Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus