Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Geguritan' dari Tanah Jauh

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

isih ana retna peni ngumala
ing tyendhela kang sumeblak
ing guyu kang renyah…

(masih ada permata indah berkilauan/ di jendela yang lebar membuka/ di tawa yang renyah)

Tampaknya ini adalah "geguritan", tembang, atau puisi khas berbahasa Jawa. Sepintas, petikan geguritan Tetesing Bun Adi (Tetesan Embun Indah) karya Surianto ini tak banyak berbeda dengan karya penyair Jawa lainnya. Liris dan menghanyutkan. Namun, Jawa sebelah mana, ya? Mengapa ia menggunakan ejaan "tyendhela" untuk jendela? Penyair yang bernama asli Josef Ramin Hardjoprajitno ini datang dari jauh, tepatnya Suriname di Amerika Selatan. Ayah-ibunya berasal dari Pekalongan, yang dibawa Belanda tahun 1931 untuk menjadi kuli perkebunan. Sampai usianya yang 64 tahun, Surianto belum pernah menginjak tanah Jawa, yang diimpikannya. Pekan lalu, cita-citanya terwujud setelah ia diundang ke acara Festival Puisi Internasional di Teater Utan Kayu, akhir pekan silam. "Menurut cerita orang tua saya, tanah Jawa masih melarat. Ternyata di sini sudah banyak bangunan bagus. Saya senang sekali," kata Surianto kepada TEMPO.

Geguritan memang jadi "tiket" Surianto melongok negara leluhurnya. Sebelumnya, berkat geguritan pula ia sempat diundang pentas ke Belanda. Penyair yang belajar secara otodidak ini sebetulnya tergolong telat muncul. Antologi puisinya yang pertama, Aruming Melati (Keharuman Melati), baru terbit pada 1986. Maklum, baru saat itu ia mulai berkenalan dengan sastra Jawa. Sebelumnya, ia sibuk dengan karirnya sebagai pegawai negeri dan aktivis partai politik Percoyo Luhur. Surianto memulai kiprahnya lewat crita cekak alias cerita pendek. Sekalipun telat, Surianto termasuk paling produktif di Suriname. Tetesing Bun Adi, antologi puisi yang kedua, terbit tahun 1990. Tak lama lagi buku ketiga, Wis Mbalik Ombak (Ombak Telah Berbalik), siap diluncurkan.

Surianto menyentuh banyak persoalan dalam geguritannya, mulai pengalaman pribadi, hubungan antaretnis, hingga urusan politik. "Saya suka memberi tuntunan kepada rakyat, terutama orang Jawa, agar tidak melupakan kebudayaannya," kata Surianto. Penggunaan bahasa Jawa disebutnya sebagai penghormatan terhadap ayah-ibunya. Namun, agar pesannya sampai, ia juga membuat versi bahasa Belanda dalam buku-bukunya. Bapak empat anak ini percaya, geguritan yang mudah dimengerti bisa juga dipakai untuk menggalang massa.

Surianto saat ini praktis penyair yang kesepian. Dari 200 ribu etnis Jawa di Suriname, hanya ada empat penyair. Yang sebaya Surianto, Slamet Mudiwiryo, 65 tahun, sudah lama tak aktif. Dua penyair yang lebih muda, Sugiman Karyoprawiro (40 tahun) dan Vincent Karyodikromo (35 tahun), memilih menetap di Belanda. Yang membuat jalan Surianto makin sunyi, imbalan finansial untuk geguritan yang ditulisnya tak seberapa. Untuk hidup sehari-hari, bapak empat anak ini mengandalkan uang pensiunnya sebagai pegawai negeri. Jabatan terakhir pria yang pernah kuliah dua tahun di Jurusan Pemerintahan Universitas Anton de Kommt itu adalah Wakil Kepala Administrasi Personel Rumah Sakit Akademi Paramaribo.

Ikatan kakek delapan cucu ini dengan tanah leluhurnya juga terjalin lewat musik. Ia mengaku menggemari langgam-langgam lama yang dibawakan Waldjinah ataupun Mus Mulyadi. Ia dulu pernah bergabung dalam Orkes Keroncong Matahari sebagai pemain seruling. Surianto pernah belajar musik secara formal selama empat tahun di Academy of Music di New York, Amerika Serikat. Setelah lulus, ia menjadi guru di salah satu sekolah musik. Karena usia lanjut, Surianto mundur. Namun, ia masih memberikan kursus di rumahnya di kawasan pinggir Paramaribo. Selain itu, ia juga masih bergabung dengan Eddie Schneider Orchest sebagai pemain klarinet.

Dalam kunjungan ke Indonesia kali ini, Surianto berniat melakukan napak tilas sejarah orang tuanya. Selain itu, ia juga berhasrat mengunjungi museum, keraton, dan berburu buku Jawa kuno. Tentu akan menarik membaca karya penyair ini setelah ia menyusuri jejak leluhurnya.

Yusi A. Pareanom dan Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus