Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bait-Bait dari Kaum Minoritas

Untuk pertama kali, Teater Utan Kayu menyelenggarakan Festival Puisi Internasional. Bekerja sama dengan Festival Winternachten di Belanda, festival ini menyajikan tema dilema bahasa penyair minoritas.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


TUBUHNYA terdiri dari gelombang irama. Lentur dan lincah, tubuh sang penyair seolah mengeluarkan ketukan dan derap kata dengan musikal. Diiringi tabuhan gendang Jalu Pratidina untuk mengiringi pembacaan puisinya pun, intonasi dan artikulasi kalimat-kalimatnya sangat ritmik.

Ia mengajak penonton bertepuk, meningkapi rentetan kata-kata yang diucapkannya. Penonton, meski sama sekali tak paham bahasa Papriamentu, ikut bergoyang bersamanya karena memang ekspresinya begitu spontan, wajar, kuat, dan enak didengar. Penampilan Gibi (Gilbert) Bacilio, penyair dari Curacao itu, menjadi bintang yang memukau dalam festival ini. Festival pembacaan puisi atau cerita pendek di mana pun sering menjadi sebuah ajang "adu" pentas. Lazimnya di negara-negara yang akrab dengan pembacaan puisi, penyair dengan gaya panggung atraktif macam Rendra atau seperti yang dilakukan Gibi Bacilio pasti akan mendapat perhatian penuh dari penonton ketimbang penyair yang—sedahsyat apa pun puisinya—membacakan dengan bersahaja. Namun, tentu saja festival ini bukan hanya untuk hura-hura di panggung, tetapi merupakan satu bagian dari "perayaan sastra". Seperti diutarakan Goenawan Mohamad di dalam kata pengantar, pertemuan sastrawan dari berbagai negara itu untuk "mengenal lebih jauh penulis lain dari dunia 'selatan' pascakolonial, dan untuk membuka pandangan kita yang cenderug melihat ke dalam".

Dan Gibi datang dengan sebuah aroma Karibia yang asing, baru, dan eksotis. Curacao adalah koloni Belanda nun jauh di Karibia sana. Negara yang belum merdeka itu merupakan satu di antara lima kepulauan jajahan Belanda yang lain, yakni Aruba, Bonaire, Saint Martin, Saba, Statia, yang keseluruhannya disebut Netherlands Antilles. Gibi memilih menggunakan bahasa Papriamentu, bahasa lokal asli Curacao, karena ia menganggap bahasa Belanda adalah bahasa kolonial. "Saya adalah penyair protes," kata Gibi. Persoalan perbenturan bahasa antara bahasa ibu dan bahasa dominan menjadi menarik karena rata-rata penyair asing yang hadir dalam acara ini adalah minoritas di negaranya masing-masing.

Di negaranya, Gibi mengaku sering pergi ke pasar atau ke jalan untuk membacakan puisinya dengan iringan tumba, perkusi lokal, sembari membacakan sajak-sajak bertema politik. Gerakan politik Curacao untuk merdeka telah dua kali gagal. Kini, mayoritas masyarakat Curacao lebih pasif dan berpendapat bahwa merdeka malah lebih buruk. "Kebanyakan puisi saya melawan elite lokal politik, yang kami sebut bomba. Bomba adalah istilah untuk seseorang yang menjilat tuannya di zaman perbudakan. Puisi saya menunjukkan kehidupan kami sekarang ini seperti bomba," tutur Gibi, yang pernah belajar filsafat dan teologi di Kolombia dan Belanda ini. Sementara bagi Gibi bahasa Belanda bersifat kolonial, bagi penyair India C.P. Surendran, bahasa Inggris bukanlah bahasa kolonial.

Para sastrawan India seperti Salman Rushdie dikenal luas karena mengangkat bahasa Hindu-English. Surendran, yang tampil tenang malam itu, kepada TEMPO menyebut bahasa gado-gado seperti itu dirasakannya malah komikal. "Saya tak suka komedi. Lebih baik menggunakan bahasa Inggris yang jelas dan tepat," tuturnya.

Surendran, yang sehari-hari bekerja sebagai Wakil Pemimpun Redaksi Bombay Times, merasa bahwa eksperimen silang bahasa tak menjadi kebutuhannya. Ia sama sekali tak berniat menggunakan bahasa Malayakan, bahasa ibunya di daerah Kerala, Selatan India. Lelaki beragama Hindu itu juga tak berambisi menyuruk, menggali tradisi kehinduannya.

Agaknya para penyair bekas jajahan Belanda lebih reaktif. Tengok penyair Loit Sols dari Afrika Selatan, yang membawakan puisinya dengan gitar. "Menurut saya, bahasa Afrika asli telah dihancurkan oleh rezim apartheid. Saya ingat, ketika sekolah, saya diajar bahasa lain yang kedengarannya seperti gumam dan ketat seperti suara militer. Sebenarnya saat itu saya tidak tahu apakah itu bahasa Afrika atau Boere," kata lelaki keturunan Khoisan, salah satu suku asli di Afrika Selatan itu.

Penyair Suriname keturunan Jawa, Surianto, tampil santun menggunakan bahasa Jawa, laiknya "geguritan". Meski puisinya tak bernada protes, sesungguhnya karyanya merupakan cermin suatu politik identitas. Lelaki 64 tahun ini adalah aktivis Partai Percoyo Luhur, partai politik keturunan Jawa di Suriname. Surianto bahkan duduk sebagai anggota parlemen daerah. Ia sering membacakan geguritan untuk menggalang massa beretnis Jawa, yang berjumlah 20 persen dari penduduk Suriname (sekitar 200 ribu jiwa). "Saya aktif ikut kampanye dalam pemilihan umum, membuat geguritan yang disiarkan di radio agar rakyat percaya pada Percoyo Luhur," katanya.

Tapi, tak semua penyair migran di Belanda memandang bahasa Belanda dengan cemas. Contohnya Mustafa Stitou, penyair Belanda keturunan Maroko. Pemuda 27 tahun ini menulis dalam bahasa Belanda. "Sebagai orang Belanda bukan warga asli, tak ada diskriminasi untuk berkarya," katanya. Sejak bayi, Stitou dibawa orang tuanya bermigrasi ke Belanda, dan kini mulai mempelajari sedikit bahasa Arab dan Islam untuk menemukan latar belakang kulturnya. "Apakah saya muslim? Itu pertanyaan sulit. Itu masalah yang harus saya hadapi seumur hidup saya. Saya harus menemukan apa itu Islam," katanya jujur.

Dari tlatah Asia Tenggara, datang Eddin Khoo dari Malaysia. Biografi penyair ini menarik karena mewakili sosok minoritas di Malaysia. Namanya diambil dari istilah Islam ad-din, yang artinya jalan lurus, tapi ia lahir dari ayah Cina dan ibu India. Di komunitas Cina dan India pun keluarga Eddin tergolong minoritas karena ayahnya Cina peranakan, sementara ibunya lahir sebagai orang Tamil Sri Lanka, bukan Tamil India. Sejak masa kanak-kanak, dengan latar belakang yang begitu kaya, lidah Eddin amat fleksibel berpindah dari kalimat India, Melayu, dan Inggris.

Kemampuan bahasa yang kaya itu tentu saja menjadi modal bagi penjelajahan puisinya. Tapi Eddin mengaku ia tidak terpaku dengan idiom-idiom dari khazanahnya sendiri. Karena itu, di Teater Utan Kayu, ia justru membacakan puisi yang judulnya berangkat dari kisah Alkitab, "Aku Lazarus…," demikian ia membacakan.

Festival ini, menurut anggota tim penyelenggara, Sitok Srengenge, rencananya akan diadakan dua tahun sekali, "Tergantung dananya," katanya kepada TEMPO. Tahun ini Gibi, Stitou, Surianto, Loit Sols dapat hadir atas kerja sama dengan Festival Winternachten di Amsterdam, sebuah festival tahunan yang menjadi ajang pertemuan para penyair dari negara yang pernah memiliki hubungan dengan Belanda. Sedangkan penyair dari India, Austria, Italia, dan Jepang yang datang adalah berkat jasa kedutaan masing-masing. Di tahun 2003 nanti, seperti diinginkan para anggota tim penyelenggara—antara lain Ayu Utami, Sitok Srengenge, Tony Prabowo—pesertanya pasti akan lebih beragam.

Seno Joko Suyono, Arif Kuswardono, dan Purwani Dyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus