KETIKA Tembok Besar Cina berdiri, sang pendiri, Kaisar Shih Huangti, memaklumkan perang kepada Suara Rakyat alias Min Ko. Sebab, telah beredar syair-syair yang ditulis Min Ko, menjeritkan ''Kaisar menghisap darah kaum miskin'' dan ''setiap orang ingin meludahi muka Kaisar''. Maka, di sebuah perayaan, seorang pemuda miskin yang (mem-)bisu ditangkap. Yakinlah sang kaisar bahwa ialah Minko, karena ''kebisuan adalah alat perlawanan.'' Di pengadilan, pemuda itu dipaksa mengaku. Dan ia tak bisa karena benar-benar bisu. Tapi yang tampil dalam karya penulis Swiss Max Frisch (1911- 1991), yang diadaptasi oleh STB, bukanlah drama sejarah, melainkan ejekan dan kritik terhadap penulisan sejarah. Drama ini memang sangat intelektual tapi sebenarnya tak kering. Di ruang pengadilan hadir ''tamu'' sang kaisar: tokoh sejarah seperti Napoleon, Brutus, Kaisar Meiji Tenno, Jose Rizal, maupun tokoh rekaan Romeo dan Yulia. Lalu seorang tamu istimewa, seorang cendekiawan abad ke-20 bernama Kiwari. Dalam naskah yang digarap dengan semangat dan metode Brecht, seperti Tembok Besar, kehadiran Kiwari amat sentral. Ia sebenarnya orang luar, seakan wakil penonton yang ikut meruyak ke pentas, tapi selalu keluar setiap kali adegan mencapai klimaks, untuk berkata kepada kita bahwa pentas bukanlah kenyataan, bahwa ''tokoh-tokoh hanya muncul dalam kesadaran kita''. Dengan demikian, kita tak lebur ke dalam emosi di panggung, tapi berjaga-jaga dengan nalar. Para prajurit, petinggi kerajaan, dan anggota keluarga Huangti, serta rakyat jelata Cina hilir-mudik di panggung prosenium yang ditata rinci itu. Ada Tembok Cina di latar belakang. Lentera-lentera merah berjajar di sisi kiri dan kanan, menjorok sampai ke ruang penonton. Di pojok kiri depan terdapat rumpun bambu dan sebuah jembatan kayu. Dan kostum semua tokoh pun digarap secara cantik, realistis. Tapi, kecantikan artistik yang diniatkan untuk memberikan kesan grandeur itu rasanya menjadi beban bagi para pemain untuk berlaku spontan. Padahal, kecerdasan dalam naskah Brechtis baru bisa dikorek dan dihamburkan dengan kespontanan, bukan ''akting hafalan''. Maka, kehadiran Kiwari (Wawan Sofwan), sebagai manusia abad nuklir dan rekayasa genetika, hanya ditandai dengan kostumnya (jas, pantalon, dan dasi) yang agak berlebihan. Sebagai penghubung antara penonton dan peristiwa di panggung, ia terasa menghafal kata-kata. Dan ketika ia harus terjun bertindak dalam pengadilan, ia tak meyakinkan. Yang agak lumayan adalah Sis Triaji, pemeran Shih Huangti. Pada saat-saat awal, ia amat meyakinkan. Misalnya ketika ia baru muncul untuk membanggakan Tembok Besar dan melebihkan kebahagiaan dirinya dengan berkata, ''Empat puluh ribu umbul- umbul memenuhi jalan-jalan Kota Nanking.'' Tapi energi Sis pelan-pelan menyurut, padahal lakon menuntut sebaliknya. Maka, Tembok Besar batal menjadi ''pencerahan'' bagi penonton. Pentas 140 menit ini terasa lambat dan bertele-tele. Apalagi pilihan musik juga sewenang-wenang (misalnya lagu-tema film Love Story mengiringi keluarnya Romeo dan Yulia betapa menggelikan!) Parodi terhadap sejarah itu tak muncul, dan ''estetika politik'' Frisch cuma menjadi latar masalah yang samar-samar. Anakronisme cuma menjadi keanehan, dan bukan alat penalaran terhadap kenyataan mutakhir. Jika saja terjemahan dan adaptasi Tembok Besar lebih rendah hati untuk menggunakan bahasa yang agak kasar dan liar, kalimat-kalimat yang pendek, penampilan para aktor semacam Sis dan Wawan bakal lebih tajam. Yang kita perlukan, juga penyutradaraan terhadap bahasa. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini