ORANG Jepang bisa dibilang gila membaca. Kapan saja, di mana saja. Tak peduli berdempet-dempetan dalam gerbong, para penumpang kereta bawah tanah di Tokyo itu masih sempat membaca. Keruan saja, bisnis penerbitan di Jepang marak. Sehari terjual 72 juta koran, sepekan terbit 90 juta majalah, dan 1,4 miliar buku setahunnya. Padahal, warga Jepang cuma 123 juta. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 185 juta. Seharinya cuma beredar 4,5 juta koran, dan 2,2 juta majalah tiap pekan. Namun, pemandangan orang memegang buku atau komik terlipat di dalam gerbong boleh jadi akan segera hilang. Sebab, usaha penerbitan buku dan komik kini menghadapi pesaing baru, yakni buku dan komik elektronik. Raksasa elektronik Jepang Fujitsu dan NEC segera akan meluncurkan produk ''buku digital'' secara masal, awal Desember ini. Buku elektronik bikinan NEC, produsen komputer nomor tiga di dunia itu, punya nama panjang: Digital Book Player DB P-1. Menurut rencana, buku berbatere ini akan dijual dengan harga 29.800 yen (sekitar Rp 570 ribu). DB P-1 ini bentuknya mirip pesawat televisi, lebih pipih. Lebarnya 13 cm, panjang 17 cm, dan tebal 3 cm lebih kecil ketimbang kamus bahasa Inggris-Indonesia yang ada di toko-toko buku. Beratnya 500 gram, termasuk 4 batere alkanin bermasa kerja 4 jam. Layar buku bisa menampilkan satu halaman buku, berisi 200 kata, atau satu-dua gambar karikatur hitam-putih. Isi buku digital itu mudah diubah-ubah. Bosan baca novel, bisa diganti dengan komik, tulisan ilmiah, atau apalah. Untuk mengisinya, diperlukan disket. Saat ini NEC telah menyediakan disket dalam 30 judul. Tapi untuk memasukkan data disket ke dalam buku elektronik itu diperlukan perantara, dan NEC telah menyediakannya dengan FDU (floppy disk unit). FDU berbentuk boks berukuran 11,6 x 16,5 x 3 cm. Harganya 12.800 yen (Rp 240 ribu). Bila sebuah disket dimasukkan ke dalam FDU yang telah nyantol ke buku itu, lalu sebuah tombol dipencet. Dalam satu menit data sebanyak 1 Megabit (setara dengan isi tiga buku saku) akan terkopi. Tapi pemilik komputer pribadi jenis PC-9.800, buatan NEC, tak memerlukan FDU lagi. Disket tinggal dimasukkan ke disc drive di komputer, lalu hubungkan ke buku DB P-1 itu. Dua-tiga menit kemudian 1 Megabit data berpindah. Setelah terisi, buku itu bisa dibaca di gerbong, di taman, atau sambil tiduran di sofa. Namun, perusahaan lain, Fujitsu, rupanya tak mau membiarkan buku DB P-1 itu sendirian mejeng di toko-toko. Fujitsu meluncurkan pesaingnya, yakni ViewArt, yang ukurannya lebih ramping cuma 10 x 14,5 cm, dan tebalnya 1,5 cm. Beratnya 230 gram. Sementara buku buatan NEC harus diisi dengan floppy disc, ViewArt maunya dilayani dengan IC card. Walhasil, buku elektronik Fujitsu ini punya kapsitas memori 32 kali lebih besar, yaitu 32 Megabit. ViewArt akan diecerkan dengan harga 30.000 yen (Rp 600 ribu). Jatuhnya bisa lebih murah daripada buku digital buatan NEC, yang memerlukan FDU atau PC-9.800. Tapi persaingannya tak cuma pada harga. Baik NEC maupun Fujitsu telah memproduksi peranti lunak dengan pelbagai isi. Fujitsu merencanakan menerbitkan serial ensiklopedi elektronik untuk menandingi NEC yang telah meluncurkan program novel, buku manajemen, dan esai kebudayaan. Persaingan bakal lebih seru mengingat sekitar 100 perusahaan penerbitan di Jepang, antara lain raksasa Shinchosha, Kodansha, serta koran Asahi Shimbun dan Mainichi, akan menerbitkan pula peranti lunak bagi konsumsi buku elektronik itu. Kemasan (disket atau IC card) produk dari penerbit-penerbit itu akan mempengaruhi kekuatan ViewArt Fujitsu dan DB P-1 NEC di pasaran. Namun, persaingan sebetulnya tak cuma antara Fujitsu dan NEC. Tiga tahun lalu, Sony telah pula meluncurkan buku elektronik lewat produknya yang disebut Data Discman seri 1 (DD-1). Seperti halnya buatan NEC dan Fujitsu, buku elektronik dari Sony itu berbentuk TV pipih, berukuran 11 x 18,5 cm, dan tebalnya 4 cm. Selama tiga tahun, Sony memperbarui terus, sampai sekarang muncul generasi ke-8, yang disebut DD-8. Tapi serial DD itu tak banyak diminati konsumen Jepang. Ada yang bilang, ini gara-gara Sony memaksakan kapasitas memori yang terlalu besar, 200 Megabit, memuat satu kamus besar 2.500 halaman. Lantaran kapasitas yang besar itu, para pemasok perangkat lunaknya pun terpancing menyediakan isi yang berat- berat buku teks ilmu pengetahuan atau novel-novel klasik. Pembeli tidak tergoda. Lagi pula, Sony kurang memanjakan pembeli serial DD-nya dengan kemudahan-kemudahan mengoperasikanya seperti NEC dan Fujitsu. Munculnya buku elektronik itu akan mempengaruhi perdagangan buku. Untuk membeli ''buku'' baru, pemilik DD, ViewArt, atau DB P-1 tak perlu datang ke toko buku. Mereka tinggal menelepon agen, memesan judul, lalu menerima kiriman isi buku itu lewat telepon, langsung masuk komputer pribadi. Dari komputer, isi buku dengan mudah dapat dipindahkan ke buku elektronik. Bagi para penulis buku, prosesnya juga mudah. Mereka tinggal menulis di komputer. Kalau mau menjualnya, mereka tinggal memasok disketnya ke ''penerbit'' buku elektronik, atau diperbanyak sendiri dan diedarkan. Tak perlu mesin percetakan. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini