Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kalau "polisi" kurang kerja

Karya: slavomir mrozeck sutradara: amak baldjun resensi oleh: putu wijaya. (ter)

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA karena sayalah Angkatan Kepolisian tetap berdiri. Kalau tidak karena saya, maka menganggurlah semua hakim dan jaksa. Penjara-penjara akan kosong dan mungkin sekarang sudah jadi taman kanak-kanak", kata seorang tahanan dalam drama Polisi karangan Slavomir Mrozeck. Drama ini dimainkan Teater Kecil di Teater Arena TIM -- 30 s/d 3 Juni yang lalu. Dengan bantuan penata artistik Roejito, penampilan malam itu mengambil nafas lenong. Arena ditumpuki level yang berbalut kain hitam. Di sudut-sudut, menjulang bambu yang dihubungkan dengan tali-tali. Di belahan belakang, terlihat korden plastik, tempat para pemain keluar-masuk. Sementara para awak pentas berjajar di belakang selama pertunjukan berlangsung. Ha-Ha-Ha Pada awal pertunjukan gendang dipukul dan pembawa acara memberi kecap apa yang akan ditontonkan. Suasana yang mau digumul jelas adalah suasana kerakyatan, di mana pertunjukan berfungsi sebagai hiburan yang intim. Para pemain, memang sejak sebelum gong berbunyi 3 kali, sudah duduk-duduk di bangku panjang dan meja-dua jenis barang yang menjadi perabot malam itu. Kemudian mereka mulai bergoyang-goyang. Meskipun masih tampak kaku karena kepingin benar lugu, salam buka ini sudah sempat memberi kesan. Bahwa penonton tidak usah sungkan-sungkan membuka mulutnya lebar-lebar. "Babak pertama! Ha-ha-ha-ha!" kata seorang pemain meniru gaya lenong. Sebentar kemudian cerita mulai. Seorang kepala polisi (Hadi Purnomo) sedang ngobrol dengan tahanan terakhir yang telah mendekam 10 tahun (Dorman Borisman). Tahanan yang "diharapkan untuk tetap teguh pada pemberontakannya sebagai orang yang revolusioner melawan Raja dan Baginda Wali" itu ternyata sudah berubah. Dia mau menandatangani pernyataan setia kepada Pemerintah - yang pernah selama 10 tahun ditolaknya. Ini bahaya. Berarti tidak akan ada lagi kerjaan polisi. Sebab semua rakyat telah patuh dan setia. Problim kocak inilah yang membuat sandiwara jadi unik dan segar. Meskipun dialognya panjang-panjang -- kadangkala bikin penat -- ditambah dengan tempo permainan yang kadangkala ikut seret, toh penampilan Teater Kecil dengan sutradara Amak Baldjun & Arifin C. Noer ini boleh dicatat. Dalam pertunjukan inilah kita merasakan kekenesan dan kegenitan yang biasanya merupakan kekuatan Teater Kecil, bervariasi dengan humor-humor spontan. Bloking, meskipun kelihatan benar ditakar, diperhitungkan, dengan kata lain "dibikin" sehingga merupakan komposisi-komposisi yang manis, ada semacam kemerdekaan jiwa di belakangnya. Para pemain kadangkala menganggap kursi dan meja sebagai kursi dan meja, tetapi kadangkala mereka menganggap semaunya - untuk kepentingan cerita. Maka naiklah mereka ke meja. Atau duduk di lantai panggung. Semaunya. Kebebasan ini menyebabkan mereka tidak hanya membuat bentuk penampilan seperti lenong - tetapi juga, yang paling penting, mereka -- sutradara terutama -- telah sempat menyabet jiwa teater rakyat pribumi. Apalagi Borisman bermain dengan bagus. Tetap Sopan Ini penting sekali. Bila Rendra dengan Bengkel Teater telah mencoba mengangkat busana Jawa, tempo pertunjukan yang Jawa, cara berbicara yang Jawa - sehingga menghasilkan pertunjukan yang secara bentuk adalah milik teater tradisionil Jawa - Teater Kecil kali ini melejit lebih jauh. Bukan sekedar bentuk yang digali. Apalagi bentuk-bentuk itu telah macet, sehingga bisa bikin teater menjadi seperti bangsawan tua, yang memuja masa lalu dan bermimpi tentang kejayaan yang telah runtuh. Teater Kecil kali ini serasa melata, merambat dalam akar-akar teater rakyat, sehingga ia akrab tanpa menyuruh orang menipu diri sebelumnya. Penonton tahu bahwa mereka bukan berhadapan dengan orang yang ingin meniru lenong. Mereka melihat sebuah teater masa kini yang berusaha memainkan sebuah lakon yang sedang banyak dibicarakan di mancanegara - tetapi tanpa kehilangan jiwa dan semangat yang ada pada setiap teater pribumi. Yakni: kebebasan, keakraban dan kesederhanaan. Para pemain yang berbadan tambun-tambun itu menunjukkan penguasaan teknik yang baik. Mereka bekerja sama dengan kompak, sehingga kendatipun beberapa orang penonton mengeluh karena penat -- atau malas berfikir karena terbiasa disuapi dalam pementasan-pementasan grup lain - pertunjukan ini utuh. Memang, rancangan tali di antara bambu yang bermula dipasang oleh Roedjito tepat di garis pandangan mata-untuk mendapatkan efek pedih dalam diri penonton - tak sepenuhnya dilaksanakan. Benar, cerita yang membawa banyak peluang untuk menyindir keadaan sekarang ini tidak terlalu blak-blakan dimuntahkan. Tetapi Teater Kecil sempat menyentuh-nyentuh keadaan sosial masa ini dengan cara yang tidak kenes. Dan terutama sekali: dengan humor yang gesit tapi tetap sopan. Mrozeck memang tajam, tetapi lucu. Bayangkan saja. Tatkala tahanan terakhir dilepaskan, seorang polisi lain yang bertugas melakukan provokasi (Abduh Mursyid) sempat dibujuk supaya ditangkap - sebab harus ada yang ditangkap, bukan? Polisi ini dibikin supaya mau meneriakkan "Babi Ngepet!" untuk Raja. Sehingga bisa diseret ke dalam penjara -- untuk menyelamatkan Kepolisian dari pengangguran. Dalam penjara ia kemudian merenung, dan mulai melihat adanya kepincangan-kepincangan. Tatkala ia dihadapkan kepada Jenderal (Kasim Rahmat) untuk mengadakan pengakuan, terjadi kejutan-kejutan. Ajudan Jenderal ternyata bekas tahanan dahulu (Dorman Borisman yang tadi). Orang ini penuh akal. Dia bikin adegan supaya Jenderal dilempar granat oleh sang tahanan yang sedang diinterogasi. Mau. Pelemparan dilaksanakan. Kepala Polisi (Hadi Purnomo) lantas mempersalahkan Domlan. Tapi Dorman pun bisa membuat cerita, sehingga Kepala Polisi itu bisa diseret. Sementara itu tiba-tiba muncullah Jenderal, masih segar bugar, sebab sempat ngumpet di dalam kakus tatkala granat meledak. Lalu terjadilah tuduh-menuduh. Bahkan Jenderal juga diusahakan diseret ke penjara dengan alasan "menyediakan tubuhnya untuk menjadi sasaran granat". Artinya: dengan membuat-buat tuduhan palsu, campuran fitnah dan permainan, pihak penguasa sekarang sudah punya kerjaan lagi -- meskipun akhirnya saling tangkap-menangkap satu sama lain. Demikian pertunjukan berakhir. Ada sesuatu yang segar dibawa pulang penonton - baik oleh naskah, penggarapan maupun permainan. Ini memang tidak setajam karya-karya Arifin sendiri. Karena ini memang bukan gebrakan bulat Arifin C Noer -- hanya pertunjukan rutin biasa. Yang penting adalah penampilan yang lancar dan bersih. Walaupun di malam pertama ada juga yang merekam dialog dari awal sampai akhir. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus