DI Kalimantan Timur, ada gerakan menghapus rumah adat suku
Dayak. Sponsornya, instansi pemerintah sendiri. Yang terjadi di
pulau Bali, justru sebaliknya. Di sana, instansi PUTL yang
bertugas memberi penerangan dalam pembangunan perumahan,
Building Information Centre (BIC) Denpasar justru berusaha
mempertahankan arsitektur tradisionil Bali. Khususnya berkat
dorongan sang ketua, ir. Robby Sularto. Ia membonceng usaha
besar-besaran membangun kembali 5 ribu rumah penduduk yang
hancur digoncang gempa bumi pertengahan tahun lalu.
Dilatarbelakangi oleh survei arsitektur tradisionil yang
dilakukan oleh anggota IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia), BIC
Bali menerbitkan buku stensilan bergambar berisi
petunjuk-petunjuk membangun rumah Bali. Judulnya: Linuh, Gempa
Bumi ring Bali, Pusat Informasi Teknik Pembangunan (BIC) Bali -
Ditjen Cipta Karya - Departemen PUTL. Petunjuk-petunjuk
bergambar tentang arsitektur tradisionil Bali yang tahan gempa
itu, digali dari lontar Hasta Bumi dan Hasta Kosala Kosali, tapi
disajikan secara sederhana dalam bahasa Indonesia oleh lang yang
mengerti ilmu bangunan dan arsitektur modern.
Dalam hikayat tradisionil Bali, bumi digambarkan sebagai seekor
kura-kura raksasa (bedawang nala), yang setiap waktu dapat
menggeliat atau gemetar: ilulah gempa bumi. Kepercayaan rakyat
itu sengaja dikutip kembali dalam brosur bergambar BIC itu,
supaya "kita selalu sadar, bahwa bumi kita memang terletak dalam
daerah gempa yang setiap saat bisa bergoncang"
Alam Atas
Nah, bagaimana nenek moyang kita menghadapi kenyataan itu dalam
membangun rumah mereka? Dengan menjaga keseimbangan dan
elastisitas hubungan antara atap, badan bangunan, dan kaki
bangunan yang diibaratkan seperti "kepala, badan, dan kaki".
Atau kalau dikembalikan pada hirarki ruang dalam alam
kepercayaan Bali: keseimbangan antara alam atas (utanza), alam
tengah (madya) dan alam bawah (nista). Kalau keseimbangan itu
dapat dijaga, maka bangunan itupun dapat bertahan dalam gempa.
Paling-paling temboknya berantakan, tapi itu tak begitu penting.
Atau seperti digambarkan dalam brosur BIC Bali itu, "tembok itu
ibarat baju --gempa yang kuat boleh saja merobekkan baju, tapi
bangunan hendaknya tetap berdiri melindungi penghuni". Bukan
justru ambruk menimpa penghuninya.
Ciri lain dari arsitektur tradisionil Bali adalah kepekaan
terhadap lingkungan dan kepekaan proporsi. Manusia, dalam
mitologi Bali, adalah buana alit (mikro-kosmos), sedang dunia
tempat hidupnya, atau habitatnya kata ahliahli ekologi, adalah
buana agung (makro-kosmos). Antara keduanya harus ada harmoni,
yang diatur oleh kaidah tertentu. "Kiblat" arah menghadapnya
rumah asli Bali adalah gunung - khususnya gunung Agung, yang
digambarkan sebagai puncak alam atas (utama). Dan berbeda dengan
rumah rakyat di Kalimantan yang berkiblat ke sungai atau rumah
rakyat di pantai yang menghadap ke laut, air adalah gambaran
alam bawah (nista). Sedang manusia harus hidup dalam harmoni di
antara keduanya: itu lah alam tengah (madya).
Kepekaan proporsi dalam membangun sebuah rumah Bali,
menggambarkan wawasan pemilik rumah itu terhadap dirinya dan
kedudukannya dalam masyarakat. Makanya tidak ada dua rumah dan
pekarangan rumah Bali yang sama ukurannya. Ukuran dan proporsi
rumah tidak saja ditentukan oleh ukuran dan bobot fisik
penghuninya, tapi juga ukuran spirituilnya - misalnya kastanya -
serta harapan dan cita-citanya. Begitu pula proporsi pekarangan
rumah ditentukan oleh ukuran fisik kepala keluarga, kasta dan
cita-citanya.
Tidak Cocok
Itu sebabnya bentuk-bentuk rumah yang standar dan dibangun
secara massal dan siap-dipasang (pre-fabricatel), tidak cocok
dengan sikap hidup orang Bali. Karena hubungan dengan rumah
menjadi begitu intim dan pribadi, maka rumah dalam arsitektur
tradisionil Bali juga dipandang sebagai jasad hidup. Dan memang
sebagian besar bahan bakunya - khususnya kayu - berasal dari
bahan organis. Makanya sebatang pohon yang akan ditebang untuk
dijadikan tiang bangunan sebelumnya harus "diberhentikan
statusnya sebagai pohon". Kemudian, setelah dijadikan tiang
(saka) berdasarkan ukuran individuil dan status sosial si
pemilik rumah, eks-pohon itu harus 'dihidupkan lagi dengan suatu
upacara "pengurip".
Dewasa ini, arsitektur tradisionil Bali berada dalam bahaya.
Menurut pengamatan ir Ibby Sularto dan kawan-kawannya, bangunan
yang didirikan sesuai dengan norma dan aturan lontar Hasta Bumi
dan Hasta Kosala Kosali "arsitektur tradisionil yang otentik"
kata mereka -- tinggal "di bawah 1% saja".
Tapi dia tampaknya tidak setuju arsitektur tradisionil itu
dipertahankan 100% ibarat benda museum saja. Dia lebih melihat
perlunya pendekatan arsitektur tradisionil diterapkan secara
sadar dalam pendirian bangunan masa kini. Meskipun itu tak dapat
disebut 'arsitektur tradisionil yang otentik'. "Bila tidak ada
tindakan khusus di bidang tersebut", tulis para otak BIC Bali
dalam salah satu kertas kerjanya, bangunan yang didekati dengan
prinsip-prinsip arsitektur tradisionil itu "akan punah dalam
satu-dua generasi mendatang".
Menanggapi usaha besar-besaran membangun kembali rumah yang
dikocok gempa, Robby Sularto tampaknya tidak 100% puas akan
peranan yang dapat dimainkan lembaganya. Yayasan Harapan Kita
misalnya, telah membangun 1000 rumah jadi. Tinggal ditempati
saja oleh calon pemiliknya. Lantas banyak juga rumah-rumah yang
pembangunannya diserahkan pada Kepala Desa. Maka Kepala Desa dan
aparatnya pun sibuk mencari tukang, mengontrol pekerjaan sampai
selesai. Sementara penduduk yang terdaftar sebagai penghuni
rumah itu, tinggal nonton saja.
Cara kerja yang begitulah yang dikritik Robhy. "Memberikan
bantuan rumah jadi yang tinggal ditempati saja", kata arsitek
muda itu pada Putu Setia dari TEMPO, "mematikan tradisi gotong
royong, yang begitu berakar bagi rakyat pedesaan setiap
membangun rumah". Juga "membuat masyarakat bodoh dan melupakan
keahlian nenek moyangnya dalam membangun rumah". Menurut dia,
lebih baik instansi luar desa dan luar Bali itu mendrop bahan
bangunan saja, sambil memberi bimbingan teknis saja teknik
membangun rumah tahan gempa. Pengerjaannya diserahkan pada calon
pemilik rumah sendiri.
Tapi bagaimana kalau yang mau dibantu itu seorang janda, yang
tak punya lelaki untuk membangun itu rumah? "Justru di situ
letak hikmahnya", katanya dengan bersemangat. "Lingkungan sang
janda akan tergerak hatinya untuk terjun bergotong-royong
membangun rumah perempuan malang itu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini