Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Hasta kosala kosali, hasta bumi

Arsitektur tradisional yang otentik bali tinggal satu persen. pembangunan kembali rumah yang hancur oleh gempa tahun 1976 dengan bahan siap-pasang tidak cocok dengan tradisi gotong royong bali.

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kalimantan Timur, ada gerakan menghapus rumah adat suku Dayak. Sponsornya, instansi pemerintah sendiri. Yang terjadi di pulau Bali, justru sebaliknya. Di sana, instansi PUTL yang bertugas memberi penerangan dalam pembangunan perumahan, Building Information Centre (BIC) Denpasar justru berusaha mempertahankan arsitektur tradisionil Bali. Khususnya berkat dorongan sang ketua, ir. Robby Sularto. Ia membonceng usaha besar-besaran membangun kembali 5 ribu rumah penduduk yang hancur digoncang gempa bumi pertengahan tahun lalu. Dilatarbelakangi oleh survei arsitektur tradisionil yang dilakukan oleh anggota IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia), BIC Bali menerbitkan buku stensilan bergambar berisi petunjuk-petunjuk membangun rumah Bali. Judulnya: Linuh, Gempa Bumi ring Bali, Pusat Informasi Teknik Pembangunan (BIC) Bali - Ditjen Cipta Karya - Departemen PUTL. Petunjuk-petunjuk bergambar tentang arsitektur tradisionil Bali yang tahan gempa itu, digali dari lontar Hasta Bumi dan Hasta Kosala Kosali, tapi disajikan secara sederhana dalam bahasa Indonesia oleh lang yang mengerti ilmu bangunan dan arsitektur modern. Dalam hikayat tradisionil Bali, bumi digambarkan sebagai seekor kura-kura raksasa (bedawang nala), yang setiap waktu dapat menggeliat atau gemetar: ilulah gempa bumi. Kepercayaan rakyat itu sengaja dikutip kembali dalam brosur bergambar BIC itu, supaya "kita selalu sadar, bahwa bumi kita memang terletak dalam daerah gempa yang setiap saat bisa bergoncang" Alam Atas Nah, bagaimana nenek moyang kita menghadapi kenyataan itu dalam membangun rumah mereka? Dengan menjaga keseimbangan dan elastisitas hubungan antara atap, badan bangunan, dan kaki bangunan yang diibaratkan seperti "kepala, badan, dan kaki". Atau kalau dikembalikan pada hirarki ruang dalam alam kepercayaan Bali: keseimbangan antara alam atas (utanza), alam tengah (madya) dan alam bawah (nista). Kalau keseimbangan itu dapat dijaga, maka bangunan itupun dapat bertahan dalam gempa. Paling-paling temboknya berantakan, tapi itu tak begitu penting. Atau seperti digambarkan dalam brosur BIC Bali itu, "tembok itu ibarat baju --gempa yang kuat boleh saja merobekkan baju, tapi bangunan hendaknya tetap berdiri melindungi penghuni". Bukan justru ambruk menimpa penghuninya. Ciri lain dari arsitektur tradisionil Bali adalah kepekaan terhadap lingkungan dan kepekaan proporsi. Manusia, dalam mitologi Bali, adalah buana alit (mikro-kosmos), sedang dunia tempat hidupnya, atau habitatnya kata ahliahli ekologi, adalah buana agung (makro-kosmos). Antara keduanya harus ada harmoni, yang diatur oleh kaidah tertentu. "Kiblat" arah menghadapnya rumah asli Bali adalah gunung - khususnya gunung Agung, yang digambarkan sebagai puncak alam atas (utama). Dan berbeda dengan rumah rakyat di Kalimantan yang berkiblat ke sungai atau rumah rakyat di pantai yang menghadap ke laut, air adalah gambaran alam bawah (nista). Sedang manusia harus hidup dalam harmoni di antara keduanya: itu lah alam tengah (madya). Kepekaan proporsi dalam membangun sebuah rumah Bali, menggambarkan wawasan pemilik rumah itu terhadap dirinya dan kedudukannya dalam masyarakat. Makanya tidak ada dua rumah dan pekarangan rumah Bali yang sama ukurannya. Ukuran dan proporsi rumah tidak saja ditentukan oleh ukuran dan bobot fisik penghuninya, tapi juga ukuran spirituilnya - misalnya kastanya - serta harapan dan cita-citanya. Begitu pula proporsi pekarangan rumah ditentukan oleh ukuran fisik kepala keluarga, kasta dan cita-citanya. Tidak Cocok Itu sebabnya bentuk-bentuk rumah yang standar dan dibangun secara massal dan siap-dipasang (pre-fabricatel), tidak cocok dengan sikap hidup orang Bali. Karena hubungan dengan rumah menjadi begitu intim dan pribadi, maka rumah dalam arsitektur tradisionil Bali juga dipandang sebagai jasad hidup. Dan memang sebagian besar bahan bakunya - khususnya kayu - berasal dari bahan organis. Makanya sebatang pohon yang akan ditebang untuk dijadikan tiang bangunan sebelumnya harus "diberhentikan statusnya sebagai pohon". Kemudian, setelah dijadikan tiang (saka) berdasarkan ukuran individuil dan status sosial si pemilik rumah, eks-pohon itu harus 'dihidupkan lagi dengan suatu upacara "pengurip". Dewasa ini, arsitektur tradisionil Bali berada dalam bahaya. Menurut pengamatan ir Ibby Sularto dan kawan-kawannya, bangunan yang didirikan sesuai dengan norma dan aturan lontar Hasta Bumi dan Hasta Kosala Kosali "arsitektur tradisionil yang otentik" kata mereka -- tinggal "di bawah 1% saja". Tapi dia tampaknya tidak setuju arsitektur tradisionil itu dipertahankan 100% ibarat benda museum saja. Dia lebih melihat perlunya pendekatan arsitektur tradisionil diterapkan secara sadar dalam pendirian bangunan masa kini. Meskipun itu tak dapat disebut 'arsitektur tradisionil yang otentik'. "Bila tidak ada tindakan khusus di bidang tersebut", tulis para otak BIC Bali dalam salah satu kertas kerjanya, bangunan yang didekati dengan prinsip-prinsip arsitektur tradisionil itu "akan punah dalam satu-dua generasi mendatang". Menanggapi usaha besar-besaran membangun kembali rumah yang dikocok gempa, Robby Sularto tampaknya tidak 100% puas akan peranan yang dapat dimainkan lembaganya. Yayasan Harapan Kita misalnya, telah membangun 1000 rumah jadi. Tinggal ditempati saja oleh calon pemiliknya. Lantas banyak juga rumah-rumah yang pembangunannya diserahkan pada Kepala Desa. Maka Kepala Desa dan aparatnya pun sibuk mencari tukang, mengontrol pekerjaan sampai selesai. Sementara penduduk yang terdaftar sebagai penghuni rumah itu, tinggal nonton saja. Cara kerja yang begitulah yang dikritik Robhy. "Memberikan bantuan rumah jadi yang tinggal ditempati saja", kata arsitek muda itu pada Putu Setia dari TEMPO, "mematikan tradisi gotong royong, yang begitu berakar bagi rakyat pedesaan setiap membangun rumah". Juga "membuat masyarakat bodoh dan melupakan keahlian nenek moyangnya dalam membangun rumah". Menurut dia, lebih baik instansi luar desa dan luar Bali itu mendrop bahan bangunan saja, sambil memberi bimbingan teknis saja teknik membangun rumah tahan gempa. Pengerjaannya diserahkan pada calon pemilik rumah sendiri. Tapi bagaimana kalau yang mau dibantu itu seorang janda, yang tak punya lelaki untuk membangun itu rumah? "Justru di situ letak hikmahnya", katanya dengan bersemangat. "Lingkungan sang janda akan tergerak hatinya untuk terjun bergotong-royong membangun rumah perempuan malang itu".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus