ANAK-ANAK umur dua saunpai enam tahun itu tengah asyik bermain.
Tiba-tiba ibu guru memberi isyarat tepukan tangan. "Every body
sit down on the chair", katanya. Dan murid-murid Children Play
Group 'Impian Bunda' - entah karena gerak tangan sang guru atau
mungkin juga mengerti ucapan Inggeris - segera duduk.
Agaknya bahasa Inggeris, di Play Group (PG) atau Kelompok
Bermain, yang akhir-akhir ini tumbuh semakin banyak di Jakarta,
telah masuk sebagai pelajaran. Sehingga hampir semua iklan
tentang PG yang sering muncul di koran-koran, tak lupa menyebut
hal itu. Children Play Group 'Impian Bunda' misalnya, dalam
iklannya menulis: "Sambil bermain putera-puteri tuan dibimbing
oleh guru-guru berpengalaman dan diberi pelajaran bahasa
Inggeris". Sementara PG yang bernama 'The Sister' selain
menyebut memiliki alat peraga paling lengkap dan acara makan
bersama, serta panggung gembira sebulan sekali, juga menyatakan
memberi pengenalan bahasa Inggeris.
Tidak Dipaksakan
Kecenderungan ber-Inggeris-Inggeris itu nampaknya bagi para
pengasuh PG bukan sekedar mode. "Tujuannya hanya mengasah otak
mereka", ujar Nunung Kartono, pimpinan PG 'Daughter'. "Lagi pula
bentuknya hanya semacam hafalan yang diberikan sambil lalu".
Alasan nyonya tamatan SGTK dan SGA Sema rang itu sejalan dengan
fikiran Nyonya Maria dari PG 'Impian Bunda' tadi.
Kata Maria: bahasa Inggeris yang diberikan bukan yang
sulit-sulit. Mereka hanya diajar misalnya mengenal nama-nama
warna dan benda serta sedikit percakapan. "Pelajaran ini tidak
dipaksakan".
Maksudnya, pelajaran hanya ditambah bila murid sudah dapat
menghafal apa yang sudah diberikan.
Sekalipun begitu, sebuah PG yang bernama 'Kartini' ternyata
tidak mengajarkan bahasa Inggeris. "Di sini bukan sekolah
belajar bahasa Inggeris", ujar Nyonya Georgette Haskin (45),
pimpinan PG 'Kartini'. PG yang dipimpin warganegara Amerika itu,
di antara 81 orang muridnya 59 orang merupakan anak-anak asing.
Kepada mereka memang digunakan pengantar bahasa Inggeris. Tapi
untuk anak-anak Indonesia tetap dipakai bahasa Indonesia.
Bahkan sebaliknya kepada anak-anak asing Nyonya Haskin memberi
pelajaran bahasa Indonesia dengan adat dan kebudayaannya.
"Anak-anak asing itu tinggal di Indonesia. Wajar kan kalau
mereka diberi pengetahuan tentang Indonesia?" Diakuinya, ada
juga beberapa murid Indonesia yang kalau pagi mengucapkan: Good
morning Mrs Haskin. Tapi selalu dijawab dengan: "Selamat pagi,
Nak".
Menjadi Orang Indonesia
Namun tak jarang justru orangtua yang minta anaknya diberi
pelajaran bahasa Inggeris. Biasanya nyonya tamatan Los Angelos
City College ini, dan sudah berpengalaman mengajar PG selama 20
tahun, menolak. "Untuk belajar bahasa Inggeris masukkan saja
mereka ke English School. Bukan ke Play Group", katanya.
Ia berpendapat, pelajaran bahasa Inggeris yang diberikan kepada
anak seusia itu hanya akan menjadikan mereka bingung. "Kita
bukan ingin menjadikan mereka orang Barat. Orang Indonesia harus
dijadikan orang Indonesia. Pemberian pelajaran bahasa Inggeris
kepada mereka hanya akan membuat bahasa Inggerisnya tidak beres
dan bahasa Indonesianya tidak mantap".
Diakui, mengajar bahasa pada usia awal akan jauh lebih berhasil
dibanding pada usia lanjut (di atas umur 12). "Tapi masalahnya
bukan hanya mengajar bahasa. Di situ tersangkut juga aspek-aspek
pendidikan yang lain", ujar drs Harimurti Kridolaksono, ahli
linguistik FSUI. Maksudnya, bahasa erat hubungannya dengan
kultur. Sehingga Harimurti mencemaskan anak-anak yang masuk "PC
Inggeris" itu akan melakukan orientasi kulturil ke luar.
Misalnya Inggeris atau Amerika, dan bukan Indonesia.
"Ambil saja contoh good morning dalam bahasa Inggeris. Konsepnya
berbeda dengan konsep waknl dalam bahasa Indonesia", ucap Nyonya
Nasti Reksodiputro, Ketua Seksi Inggeris FSUI, membenarkan.
Menurut Nasti, bahasa merupakan cermin kebudayaan dan cara
berfikir seseorang. "Bahasa adalah filsafat suatu bangsa. Karena
itu menyuruh anak memahami bahasa asing di PG hanya akan
menyulitkan si anak, yang sebenarnya tidak perlu".
Anak Kesepian
Baik Harimurti maupun Nasti juga meragukan kemampuan guru-guru
PG dalam memberikan pelajaran bahasa asing itu. "Kalau guru
mengajarnya salah, untuk merubah si anak di kemudian hari akan
sulit", ujar Harimurti. Nasti sendiri punya bukti bahwa
pelajaran bahasa Inggeris di PG memang sering tidak benar.
Misalnya dalam mengajarkan pengucapan. "Untung saya ini guru
bahasa Inggeris, sehingga kesalahan yang diperoleh anak saya di
PG bisa dibetulkan", ujar Nasti.
Maksud PG sebenarnya adalah untuk memberi lingkungan kepada anak
- lebih-lebih mereka yang kenyataannya mengalami kesunyian di
rumah, seperti kata Nunung Karnoto. Sekalipun ada gejala bahwa
yang masuk PG umumnya anak kaum gedongan. Karena kaum itulah
yang biasanya memiliki sedikit anak, lalu anak itu boleh
dibilang tak pernah bermain dengan anak-anak kampung, ditambah
lagi kedua orangtuanya sibuk. Nah, "mereka akan mendapat teman
di PG", ujar Nunung Karnoto.
Kalau tujuannya antara lain untuk itu, masih perlukah pelajaran
bahasa Inggeris? "Nampaknya perlu juga kami fikirkan lagi.
Apakah pelajaran bahasa itu perlu diteruskan atau dihapus saja",
kata Nunung. Ya, mana yang baik sajalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini