Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kalau rendra jadi sekda

Pementasan sandiwara sekda oleh rendra di teater terbuka tim. penonton melimpah. tak begitu bernilai seni, ingin memuaskan penonton, tetap laku dekat dengan aspirasi rakyat, penuh dengan protes. (ter)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTU saja semuanya hanya terjadi dalam sebuah sandiwara (dagelan, meurut Rendra sendiri ketika memb uka tontonannya). Tepatnya di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki tiga malam berturut-turut - 27,28 dan 29 Juli -- di hadapan penonton yang melimpah ruah. Termasuk Bekas Gubernur H. Ali Sadikin. Pada panggung Teater Terbuka terdapat panggung lain yang - menurut jalan cerita - disediakan untuk merayakan peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus. Dimulai dengan nyanyian-nyanyian dari 'Kelompok Musik Kampungan' (grup dari anak-anak Bengkel Teater) pimpinan Bram Makahekum. Segerombolan orang kampung yang merayakan Hari Proklamasi mulai berbicara ke sana ke mari, dan akhirnya arah pembicaraan memang ke sana: kritik, kritik, protes. Oleh Bram, beberapa orang ditanya: seandainya mereka jadi penjabat, tentara, atau penguasa, apa yang akan mereka lakukan. Dan satu sindiran yang tidak asing lagi terdengar: "Seandainya saya jadi tentara saya akan berdagang dengan kekerasan." Demikian satu contoh. Tapi itu hanya sampingan saja dari Sekd Inti sandiwara ini dimulai ketika seorang hostes bernama Elsye ditanya ingin jadi apa. Jawabnya: ingin jadi sutradara, dan kalau jadi sutradara ia akan membenci sutradara-sutradara yang lain. Kalau teaternya tidak dimengerti "masyarakat," ia akan mengatakan seninya tingkat tinggi. Kalau ada seni tinggi yang lain yang ramai dikunjungi penonton, ia akan curiga bahwa sutradaranya menggunakan guna-guna. Maka dalam perayaan itu diberikanlah kesempatan kepada Elsye untuk menyutradarai pembuatan film berjudul Sekda Film ini menceritakan kehidupan seorang Sekretaris Daerah. Dan muncullah Rendra sebagai Sekda. Dan tergambarlah di panggung Teater Terbuka kehidupan seorang Sekda menurut Rendra. Sekda Rendra adalah Sekda yang sekolah anak-anaknya tidak beres, Sekda yang dalam rumah tangganya dikomando isterinya, Sekda yang dengan ringan hati memberi upeti berujud seorang Ratu Kebaya (Hermin Centhini) kepada gubernurnya, Sekda yang suka menjawab dengan "beres" segala masalah yang dihadapi rakyat dan daerahnya. Untuk sandiwara yang penuh katakata protes - yang harus dikatakan bahwa sebagian besar vulgar -- penonton dengan setia duduk menunggu. Kalau dalam pementasan Egmontnya yang bertele-tele sebagian penonton meninggalkan Teater Terbuka sebelum usai, juga untuk sebagian pementasan lain yang berasal dari naskah asing yang bagus (yang tidak dikunjungi penonton sampai meluap) agaknya bisa disimpulkan bahwa penonton Rendra memang bukan ingin menikmati 'seni' atau apa namanya. Mereka ingin mendengar kritik kepada penguasa dan sebagainya secara terbuka, tanpa usah takut. Mereka ingin mencocokkan apakah uneg-uneg mereka selama ini juga menjadi uneguneg warga masyarakat yang lain. Dan jawabnya, memang ya. Setiap protes dan kritik dilontarkan dari panggung, tepuk tangan gemuruh. Rendra pasti tahu hal itu. Dalam pementasan ini misalnya, samasekali tak kelihatan semangatnya untuk 'berseni' atau melakukan sesuatu yang patut dicatat (dengan catatan bahwa grup musik Bram itu bagus). Rendra ingin memuaskan penonton, atau ingin tetap laku, atau ingin dekat dengan "aspirasi rakyat yang harus disuarakan." Hanya, untuk itu tempat Rendra tak usah hanya di TIM -- yang bagaimana pun dibangun terutama untuk seni lebih dulu. Katakanlah bahwa teater Rendra sudah benar-benar bisa dikatakan sebagai salah-satu bentuk teater atau hiburan kerakyatan (dari jenis yang lebih mementingkan jumlah publik dibanding mutu). Maka kiranya sudah saatnya diperlukan sponsor baginya untuk mendapat tempat seperti misalnya Srimulat di THR Surabaya. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus