TENTU saja semuanya hanya terjadi dalam sebuah sandiwara
(dagelan, meurut Rendra sendiri ketika memb uka tontonannya).
Tepatnya di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki tiga malam
berturut-turut - 27,28 dan 29 Juli -- di hadapan penonton yang
melimpah ruah. Termasuk Bekas Gubernur H. Ali Sadikin.
Pada panggung Teater Terbuka terdapat panggung lain yang -
menurut jalan cerita - disediakan untuk merayakan peringatan
Hari Proklamasi 17 Agustus. Dimulai dengan nyanyian-nyanyian
dari 'Kelompok Musik Kampungan' (grup dari anak-anak Bengkel
Teater) pimpinan Bram Makahekum.
Segerombolan orang kampung yang merayakan Hari Proklamasi mulai
berbicara ke sana ke mari, dan akhirnya arah pembicaraan memang
ke sana: kritik, kritik, protes. Oleh Bram, beberapa orang
ditanya: seandainya mereka jadi penjabat, tentara, atau
penguasa, apa yang akan mereka lakukan. Dan satu sindiran yang
tidak asing lagi terdengar: "Seandainya saya jadi tentara saya
akan berdagang dengan kekerasan." Demikian satu contoh.
Tapi itu hanya sampingan saja dari Sekd Inti sandiwara ini
dimulai ketika seorang hostes bernama Elsye ditanya ingin jadi
apa. Jawabnya: ingin jadi sutradara, dan kalau jadi sutradara ia
akan membenci sutradara-sutradara yang lain. Kalau teaternya
tidak dimengerti "masyarakat," ia akan mengatakan seninya
tingkat tinggi. Kalau ada seni tinggi yang lain yang ramai
dikunjungi penonton, ia akan curiga bahwa sutradaranya
menggunakan guna-guna.
Maka dalam perayaan itu diberikanlah kesempatan kepada Elsye
untuk menyutradarai pembuatan film berjudul Sekda Film ini
menceritakan kehidupan seorang Sekretaris Daerah.
Dan muncullah Rendra sebagai Sekda. Dan tergambarlah di panggung
Teater Terbuka kehidupan seorang Sekda menurut Rendra. Sekda
Rendra adalah Sekda yang sekolah anak-anaknya tidak beres, Sekda
yang dalam rumah tangganya dikomando isterinya, Sekda yang
dengan ringan hati memberi upeti berujud seorang Ratu Kebaya
(Hermin Centhini) kepada gubernurnya, Sekda yang suka menjawab
dengan "beres" segala masalah yang dihadapi rakyat dan
daerahnya.
Untuk sandiwara yang penuh katakata protes - yang harus
dikatakan bahwa sebagian besar vulgar -- penonton dengan setia
duduk menunggu. Kalau dalam pementasan Egmontnya yang
bertele-tele sebagian penonton meninggalkan Teater Terbuka
sebelum usai, juga untuk sebagian pementasan lain yang berasal
dari naskah asing yang bagus (yang tidak dikunjungi penonton
sampai meluap) agaknya bisa disimpulkan bahwa penonton Rendra
memang bukan ingin menikmati 'seni' atau apa namanya. Mereka
ingin mendengar kritik kepada penguasa dan sebagainya secara
terbuka, tanpa usah takut. Mereka ingin mencocokkan apakah
uneg-uneg mereka selama ini juga menjadi uneguneg warga
masyarakat yang lain.
Dan jawabnya, memang ya. Setiap protes dan kritik dilontarkan
dari panggung, tepuk tangan gemuruh.
Rendra pasti tahu hal itu. Dalam pementasan ini misalnya,
samasekali tak kelihatan semangatnya untuk 'berseni' atau
melakukan sesuatu yang patut dicatat (dengan catatan bahwa grup
musik Bram itu bagus). Rendra ingin memuaskan penonton, atau
ingin tetap laku, atau ingin dekat dengan "aspirasi rakyat yang
harus disuarakan."
Hanya, untuk itu tempat Rendra tak usah hanya di TIM -- yang
bagaimana pun dibangun terutama untuk seni lebih dulu.
Katakanlah bahwa teater Rendra sudah benar-benar bisa dikatakan
sebagai salah-satu bentuk teater atau hiburan kerakyatan (dari
jenis yang lebih mementingkan jumlah publik dibanding mutu).
Maka kiranya sudah saatnya diperlukan sponsor baginya untuk
mendapat tempat seperti misalnya Srimulat di THR Surabaya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini