Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sumitro:

Wawancara tempo dengan prif sumitro djojohadikusumo setelah dialog di kampus ui tentang latar belakang dialog dengan mahasiswa, harapan serta kesannya terhadap reaksi mahasiswa. (pdk)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH dialog dengan mahasiswa di kampus UI, Prof. Sumitro Sabtu lalu memenuhi permintaan wawancara dengan G.Y. Adicondro dari TEMPO. Dibawah ini hasilnya: TEMPO: Ada mahasiswa yang berpendapat, 'dialog' ini hanya diadakan untuk meredakan suhu ketegangan antara mahasiswa dengan pemerintah, menjelang kedatangan Fukuda. Maksudnya supaya tidak terulang lagi suasana seperti 'Malari' 1974. Tapi menurut bapak apa latar belakang safari tujuh menteri keliling kampus itu? Sumitro: Sebenarnya, ide dialog antara pemerintah dengan mahasiswa itu datangnya dari saya. Namun dalam konteks dan untuk tujuan yang lain. Ceritanya begini. Selasa, 28 Juni y.l., ketika saya pamitan dengan Presiden sebelum berangkat ke Paris dan Jenewa, saya sudah mengusulkan supaya hasil-hasil riset PJP (Proyeksi Jangka Panjang, sampai tahun 1985), dimasyarakatkan ke daerah-daerah. Khususnya ke kalangan Muspida, Universitas, dan DPRD. Sekaligus untuk memancing feedback, sebab setiap kali saya ceramah di daerah-daerah, selalu saja timbul keluhan tentang kurangnya kepastian hukum, tingkah laku aparatur yang semena-mena, dan ketidakberesan proyek Inpres. Prioritas pertama, saya usulkan dunia universitas. Khususnya universitasuniversitas di luar Jakarta. Kemudian soal timingnya, saya usukan sebelum MPR bersidang bulan Oktober. Malah kalau bisa sebelum bulan puasa. Juga menteri-menteri yang mau saya ajak serta, sudah saya usulkan waktu itu. Antara lain Subroto dalam soal BUUD, Sumarlin karena banyak soal aparatur negara. Sadli dalam minyak dan LNG. Kaskopkamtib Sudomo, memang tidak saya usulkan, sebab saya anggap dialog dengan universitas itu tidak menyangkut sekuriti secara langsung. Kemudian,30 Juni saya ke Eropa. Dua minggu saja di sana, pulangnya anak-anak saya sudah ramai bicara soal pungli dan tarif bis kota. Lantas ada konperensi Pacific Sciences di Bali. 18 Juli, saya disuruh terbang satu pesawat dengan Presiden ke Bali, dan dalam pesawat Pak Harto bilang setuju dengan ide saya itu. Hari Jumat sepulangnya dari Bali, saya dipanggil Presiden via ADC, dan 23 Juli, kami yang diberi tugas ini dipanggil semua di Bina Graha. Disuruh siap-siap dan segera mulai dialog dengan mahasiswa. T: Lantas apa tindak lanjut dialog itu ? S: Apa yang dibicarakan di sini akan saya bawa ke tingkat pengambilan keputusan, sebab suara mahasiswa itu menyatakan perasaan yang hidup dalam masyarakat. Hasilnya baik untuk penyempurnaan PJP, sebagai bahan untuk pembicaraan CBHN dalam sidang MPR Oktober nanti, maupun untuk segera diambil keputusan oleh Dewan Stabilisasi Ekonomi atau Politik. Lebih dari itu, tak dapat sayajanjikan. T: Banyak mahasiswa yang belum puas dengan dialog Kamis lalu itu. Malah ada yang khawatir, ketidakpuasan itu akan terus meningkat dalam dialog nantinya di Yogya, di Bandung, maupun di Surabaya. Jadi kalau diharapkan efeknya meredakan ketegangan di kalangan mahasiswa, hasilnya bisa sebaliknya. Kalau Jenderal Sumitro keliling kampus berakhir dengan 'Malari', kini Prof. Sumitro kelding kampus berakhir dengan apa? S: Harapan saya, jangan ada akumulasi dan eskalasi ketidakpuasan itu. Sebab konteks dan tujuan 'safari' ini sekarang kan lain? T: Ada malah yang menilai, dialo ini tak lebih dari 'pengadilan terbuka' terhadap para teknokrat. Isinya tak lebih dari pernyataan hdak percaya lagi terhadap beleid para menteri. S: Orang bebas menilai. Tapi buat saya, di dalam atau di luar kabinet sama saja. Masalah pengangguran, sumber daya dan sebagainya akan tetap saya garap, dalam posisi apapun. T: Bagaimana kesan Prof. Sumitro sendiri terhadap pertanyaan atau reaksi mahasiswa? Konyol? Kritis? Dan pertanyaan mana yang paling berkesan ? S: Saya memang sudah mengharapkan pertanyaan yang kritis dari forum ini. Pertanyaan yang konyol maupun yang kritis, tentu ada saja. Bahkan dalam dialog dengan para sarjana pun tidak semuanya kritis, ada juga yang konyol. Saya terkesan oleh pertanyaan beberapa mahasiswa dari daerah, tentang situasi pendidikan di luar Jawa. Saya bisa menghayati keresahan mereka, karena ini menyangkut nasib mereka yang tidak mau pindah sekolah ke Jawa. Memang bukan itu pemecahannya. Tapi kirimlah dosen yang bermutu ke universitas di luar Jawa. Ada juga penanya yang jujur. Di sekedar datang untuk menyatakan isi hatinya, dengan catatan: tak usah dijawab. Saya menghargai logika dan saya menghargai kejujuran. Sebab saya memang mengharapkan logika dan kejujuran dalam dunia universitas. Saying masih banyak penanya yang omongnya ngaco saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus