SETELAH dialog dengan mahasiswa di kampus UI, Prof. Sumitro
Sabtu lalu memenuhi permintaan wawancara dengan G.Y. Adicondro
dari TEMPO. Dibawah ini hasilnya:
TEMPO: Ada mahasiswa yang berpendapat, 'dialog' ini hanya
diadakan untuk meredakan suhu ketegangan antara mahasiswa dengan
pemerintah, menjelang kedatangan Fukuda. Maksudnya supaya tidak
terulang lagi suasana seperti 'Malari' 1974. Tapi menurut bapak
apa latar belakang safari tujuh menteri keliling kampus itu?
Sumitro: Sebenarnya, ide dialog antara pemerintah dengan
mahasiswa itu datangnya dari saya. Namun dalam konteks dan untuk
tujuan yang lain. Ceritanya begini.
Selasa, 28 Juni y.l., ketika saya pamitan dengan Presiden
sebelum berangkat ke Paris dan Jenewa, saya sudah mengusulkan
supaya hasil-hasil riset PJP (Proyeksi Jangka Panjang, sampai
tahun 1985), dimasyarakatkan ke daerah-daerah. Khususnya ke
kalangan Muspida, Universitas, dan DPRD. Sekaligus untuk
memancing feedback, sebab setiap kali saya ceramah di
daerah-daerah, selalu saja timbul keluhan tentang kurangnya
kepastian hukum, tingkah laku aparatur yang semena-mena, dan
ketidakberesan proyek Inpres.
Prioritas pertama, saya usulkan dunia universitas. Khususnya
universitasuniversitas di luar Jakarta. Kemudian soal timingnya,
saya usukan sebelum MPR bersidang bulan Oktober. Malah kalau
bisa sebelum bulan puasa. Juga menteri-menteri yang mau saya
ajak serta, sudah saya usulkan waktu itu. Antara lain Subroto
dalam soal BUUD, Sumarlin karena banyak soal aparatur negara.
Sadli dalam minyak dan LNG. Kaskopkamtib Sudomo, memang tidak
saya usulkan, sebab saya anggap dialog dengan universitas itu
tidak menyangkut sekuriti secara langsung. Kemudian,30 Juni saya
ke Eropa. Dua minggu saja di sana, pulangnya anak-anak saya
sudah ramai bicara soal pungli dan tarif bis kota. Lantas ada
konperensi Pacific Sciences di Bali. 18 Juli, saya disuruh
terbang satu pesawat dengan Presiden ke Bali, dan dalam pesawat
Pak Harto bilang setuju dengan ide saya itu. Hari Jumat
sepulangnya dari Bali, saya dipanggil Presiden via ADC, dan 23
Juli, kami yang diberi tugas ini dipanggil semua di Bina Graha.
Disuruh siap-siap dan segera mulai dialog dengan mahasiswa.
T: Lantas apa tindak lanjut dialog itu ?
S: Apa yang dibicarakan di sini akan saya bawa ke tingkat
pengambilan keputusan, sebab suara mahasiswa itu menyatakan
perasaan yang hidup dalam masyarakat. Hasilnya baik untuk
penyempurnaan PJP, sebagai bahan untuk pembicaraan CBHN dalam
sidang MPR Oktober nanti, maupun untuk segera diambil keputusan
oleh Dewan Stabilisasi Ekonomi atau Politik. Lebih dari itu, tak
dapat sayajanjikan.
T: Banyak mahasiswa yang belum puas dengan dialog Kamis lalu
itu. Malah ada yang khawatir, ketidakpuasan itu akan terus
meningkat dalam dialog nantinya di Yogya, di Bandung, maupun di
Surabaya. Jadi kalau diharapkan efeknya meredakan ketegangan di
kalangan mahasiswa, hasilnya bisa sebaliknya. Kalau Jenderal
Sumitro keliling kampus berakhir dengan 'Malari', kini Prof.
Sumitro kelding kampus berakhir dengan apa?
S: Harapan saya, jangan ada akumulasi dan eskalasi ketidakpuasan
itu. Sebab konteks dan tujuan 'safari' ini sekarang kan lain?
T: Ada malah yang menilai, dialo ini tak lebih dari 'pengadilan
terbuka' terhadap para teknokrat. Isinya tak lebih dari
pernyataan hdak percaya lagi terhadap beleid para menteri.
S: Orang bebas menilai. Tapi buat saya, di dalam atau di luar
kabinet sama saja. Masalah pengangguran, sumber daya dan
sebagainya akan tetap saya garap, dalam posisi apapun.
T: Bagaimana kesan Prof. Sumitro sendiri terhadap pertanyaan
atau reaksi mahasiswa? Konyol? Kritis? Dan pertanyaan mana yang
paling berkesan ?
S: Saya memang sudah mengharapkan pertanyaan yang kritis dari
forum ini. Pertanyaan yang konyol maupun yang kritis, tentu ada
saja. Bahkan dalam dialog dengan para sarjana pun tidak semuanya
kritis, ada juga yang konyol. Saya terkesan oleh pertanyaan
beberapa mahasiswa dari daerah, tentang situasi pendidikan di
luar Jawa. Saya bisa menghayati keresahan mereka, karena ini
menyangkut nasib mereka yang tidak mau pindah sekolah ke Jawa.
Memang bukan itu pemecahannya. Tapi kirimlah dosen yang bermutu
ke universitas di luar Jawa. Ada juga penanya yang jujur. Di
sekedar datang untuk menyatakan isi hatinya, dengan catatan: tak
usah dijawab. Saya menghargai logika dan saya menghargai
kejujuran. Sebab saya memang mengharapkan logika dan kejujuran
dalam dunia universitas. Saying masih banyak penanya yang
omongnya ngaco saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini