Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Kami Menawarkan Risiko Bagi Documenta

Direktur ruangrupa Ade Darmawan:

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM pernah prestasi sedemikian tinggi diperoleh kurator seni rupa Indonesia, bahkan Asia, sebagaimana dicapai Ruangrupa. Komunitas seniman yang bermarkas di Gudang Sarinah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu terpilih menjadi direktur artistik atau kurator utama Documenta 15 yang akan digelar pada 2022.

Bagi warga seni dunia, Documenta dianggap sebagai salah satu perhelatan seni rupa paling bergengsi dan berkualitas di dunia. Documenta memiliki posisi tersendiri dibanding biennale (pergelaran seni rupa dua tahunan) dunia seperti Venice Biennale atau Sao Paulo Biennale, apalagi art fair yang cenderung komersial. Diadakan tiap lima tahun sekali di Kota Kassel, Jerman, Documenta dianggap senantiasa menyuguhkan karya-karya seni rupa dunia yang matang, reflektif, dan sangat memiliki bobot sosial atau politik tinggi. Karena itu, sering karya yang tampil di Documenta dan gagasan kuratorialnya mempengaruhi wacana seni rupa sesudahnya. Perhelatan Documenta selalu ditunggu-tunggu dan dinanti konsep kuratorialnya oleh kalangan seni rupa dunia. 

Riwayat Documenta bermula dari Perang Dunia II. Pada 1943, Sekutu mengebom Kassel. Hampir seluruh wilayah Kassel hancur, termasuk studio milik seorang desainer lulusan akademi seni Kassel bernama Arnold Bode. Selama sepuluh tahun, Bode selalu memikirkan cara menyelamatkan kotanya melalui seni rupa. Ia memiliki gagasan membangkitkan kembali jiwa Kassel dengan sebuah pameran seni rupa internasional. Bode ingin membuat pameran yang menampilkan semua masterpiece modernisme yang dilarang Nazi sekaligus sebuah perhelatan besar yang bisa menunjukkan jalan ke arah seni era pascaperang.

Maka lahirlah Documenta pada 1955 dengan kurator pertama Arnold Bode. Pameran pertama Documenta itu membuat seni rupa dunia terperenyak karena mampu menghadirkan karya banyak maestro, dari Pablo Picasso, Joan Miro, Piet Mondrian, Max Ernst, Henry Moore, Marcel Duchamp, Paul Klee, hingga Marc Chagall Oskar Kokoschka. Perhelatan-perhelatan Documenta selanjutnya selalu ditandai dengan karya-karya yang tak jarang kontroversial. Dalam Documenta 12 pada 2007, seniman Kroasia yang juga aktivis pembela kaum perempuan Afgan korban perdagangan opium, Sanja Ivekovic, misalnya, menanami Friedrichsplatz—lapangan di depan gedung Fridericianum, tempat pameran utama Documenta diselenggarakan—dengan bunga opium. Lapangan Friedrichsplatz akhirnya menjadi seperti ladang opium dengan bunga-bunganya yang merah mekar. Bersamaan dengan itu, Ivekovic memasang pelantang yang memperdengarkan suara kor perempuan Afgan, Zagreb, dan Kroasia. 

Karena itulah mengejutkan pada ulang tahunnya yang ke-15 nanti Documenta memilih Ruangrupa sebagai kurator utama. Sebelumnya bahkan tak ada satu pun perupa Indonesia yang pernah diundang resmi ikut serta dalam pameran Documenta. Penetapan Ruangrupa sebagai kurator utama sekaligus keputusan pertama Documenta memilih kurator yang sifatnya kolektif (sepuluh anggota Ruangrupa). Finding Committee Documenta yakin Ruangrupa memiliki kemampuan berjejaring dengan berbagai kelompok alternatif seni di dunia dalam sebuah ekosistem. Dengan pendekatan kuratorial yang didasari jaringan internasional organisasi seni berbasis komunitas lokal, Ruangrupa diharapkan mampu mengeksekusi perhelatan di Kassel secara lain daripada yang lain.

Ade Darmawan, yang bersama Farid Rakun mewakili Ruangrupa dalam seleksi di Kassel, tak memungkiri tim juri Documenta mengambil risiko dengan memilih mereka sebagai Direktur Artistik. Sebab, strategi kuratorial mereka akan sama sekali berbeda dengan kurator-kurator Documenta sebelumnya, yang dari satu Documenta ke Documenta lain tetap lebih menekankan unsur ekshibisi atau pameran. Strategi yang disajikan Ruangrupa akan lebih membangun dan mempertautkan jaringan komunitas alternatif seni rupa di berbagai belahan dunia dengan ruang-ruang komunitas di Kassel. “Kami ingin mengajak mereka bersama-sama membangun dan berjejaring dengan sistem berpikir yang lain,” kata Ade.

Ade dan kawan-kawan berencana menghubungi semua anggota jaringan dari Afrika, Amerika Latin, sampai Asia Tengah untuk lebih dulu membentuk platform bersama sebelum mengajak mereka masuk ke Kassel pada 2022. “Seniman-seniman yang kita ajak bisa jadi ada di luar radar Documenta selama ini,” tutur Ade. Hal itu mungkin terjadi karena selama ini, dengan pengalamannya berpameran dan bekerja sama dalam berbagai proyek di Gwangju Biennale (2002 dan 2018), Istanbul Biennale (2005), Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (Brisbane, 2012), Singapore Biennale (2011), Sao Paulo Biennale (2014), Aichi Triennale (Nagoya, 2016), Cosmopolis di Centre Pompidou (Paris, 2017), dan TRANSaksi: Sonsbeek (Arnheim, 2016), Ruangrupa sudah memiliki jejaring seniman global.

“Kami ingin platform ini nanti bertahan, bahkan beyond pameran,” ucap Ade saat menemui Seno Joko Suyono, Isma Savitri, Angelina Anjar Sawitri, dan fotografer Nurdiansyah dari Tempo di sekolah, basis komunitas alternatif, dan studio seniman Gudskul yang mereka dirikan di kawasan Jagakarsa, pekan lalu. Berikut ini petikan wawancara yang juga diikuti sebagian tim Ruangrupa, antara lain Mirwan Andan, Iswanto Hartono, Indra Ameng, Daniella Fitria, dan Reza “Asung” Afisina. Sesekali mereka menambahkan penjelasan atas uraian Ade Darmawan.

 

Bagaimana Ruangrupa bisa terpilih menjadi kurator pameran Documenta?

Prosesnya sejak September 2018. Lumayan panjang karena tahapnya banyak. Kami diseleksi oleh apa yang disebut Finding Committee Documenta yang beranggotakan delapan orang. Komite tersebut dipilih superboard Documenta yang anggotanya berasal dari beragam latar belakang, termasuk politikus dari Hessen, Jerman (delapan anggota Finding Committee adalah Ute Meta Bauer, Direktur Centre for Contemporary Art Singapore; Charles Esche, Direktur Van Abbemuseum Eindhoven, Belanda; Amar Kanwar, seniman dari New Delhi; Frances Morris, Direktur Tate Modern Gallery, London; Gabi Ngcobo, kurator Berlin Biennale 2018; Elvira Dyangani Ose, kurator Creative Time, New York; Philippe Pirotte, Direktur Staatliche Hochschule fur Bildende Kunste Frankfurt; Jochen Volz, Direktur Pinacoteca do Estado de Sao Paulo, Brasil). Finding Committee-lah yang melakukan pendekatan awal. Ada sekian banyak kurator dalam daftar rekomendasi mereka, termasuk Ruangrupa. Mereka meminta kami dan kurator-kurator lain membuat proposal pendek. Dengan sistem gugur, kami lolos ke babak kedua dan diminta mengembangkan proposal menjadi lebih panjang dan detail. Lalu pada Januari kami diundang ke Kassel untuk wawancara. Saya ke sana bersama Farid Rakun dan Sari Julia. Kami tidak tahu kandidat lain siapa saja karena prosesnya serba rahasia.

Siapa yang mewawancarai?

Tim juri yang dipimpin direktur baru Documenta, Sabine Schormann. Wawancaranya dua tahap. Setelah wawancara pertama, kami disuruh menunggu. Kami tidak tahu bakal ada wawancara kedua. Baru malam diberi tahu bahwa esoknya kami akan diwawancarai lagi.

Dalam wawancara itu apa saja yang mereka ulik?

Proposal kami sebenarnya lebih banyak membicarakan metode atau struktur, bukan tema pameran. Kami bakal mengajak banyak orang, termasuk Documenta, untuk membuat struktur yang sifatnya seperti cara kerja lumbung dan koperasi. Di dalam koperasi ada edukasi alternatif, sustainability, dan tentu saja hal-hal yang artistik. Karena kami lebih bicara soal metode, pertanyaan mereka yang paling kencang adalah bentuk pameran kami nanti akan seperti apa. Pada bagian ini, kami harus meyakinkan juri. Sebab, sampai muncul pernyataan dari dewan juri: “Kayaknya Anda tidak butuh pameran.” Ada juga juri yang menanyakan apa pentingnya konsep pameran dalam kuratorial kami. Jelas pasti ada pameran, itu kami jelaskan. Kami merasa bisa meyakinkan mereka dalam wawancara ini. Sampai akhirnya, setelah dua hari berturut-turut wawancara, esoknya mereka mengabari bahwa kami terpilih menjadi Direktur Artistik Documenta 15.

Tadi Anda menyebutkan akan bekerja dengan konsep “lumbung” dan “koperasi”. Seperti apa nanti eksekusinya?

Ini seperti saat kami mengurasi Sonsbeek di Arnheem, Belanda, pada 2016, atau banyak proyek lain yang kami buat di dalam dan luar Indonesia. Kami selalu berpikir apa pentingnya acara itu, baik buat Ruangrupa maupun yang di luar kami. Lewat konsep lumbung, kami ingin menyodorkan sesuatu yang praktis. Kami ingin mengembangkan praktik-praktik independensi di berbagai tempat di dunia agar makin dimiliki semua orang. Sebab, kami melihat di masa sekarang ini masih saja ada relasi-relasi tidak sehat, misalnya utara-selatan dalam hubungan funding.

Jadi Anda ingin menampilkan bermacam komunitas dari berbagai negara yang melakukan gerakan-gerakan tertentu....

Ya, kami tertarik pada komunitas-komunitas dan seniman-seniman yang telah bekerja mengimplementasikan model-model independensi yang berkelanjutan, dari model ekonomi alternatif sampai pendidikan alternatif. Mereka tidak di-support negara atau lembaga internasional, tapi dapat bertahan dan berkembang. Kami ingin mensurvei praktik-praktik demikian di berbagai belahan dunia. Kami ingin berkolaborasi pelan-pelan dengan mereka. Kita akan bersama-sama melakukan riset panjang selama tiga tahun, misalnya. Prosesnya akan kami catat dan publikasikan. Kami bisa belajar banyak dari model seperti itu. Kami lalu ingin mengajak mereka semua membuat lumbung bersama di Documenta. Di Kassel bisa kita bayangin akan sangat berkembang, akan sangat dialogis. Goal kita dengan platform semacam ini adalah beyond pameran.

Lumbung dan koperasi kan sangat Indonesia. Apakah juri mempertanyakan itu?

Saat kami bilang konsep lumbung, juri paham tapi kaget. Konsep lumbung dan koperasi sebenarnya banyak digunakan di banyak tempat di dunia, hanya penamaannya berbeda. Di Indonesia sendiri kami berencana berkeliling untuk mencari praktik koperasi yang mungkin dijalankan di pedalaman, koperasi petani dan nelayan misalnya.

Sudah ada gambaran akan menyulap Kassel seperti apa?

Secara garis besar sudah. Cuma ada banyak detail yang akan kami kembangkan hingga tiga tahun mendatang, sebelum perhelatannya berlangsung pada 2022. Namun kerangka dan backbone-nya sudah siap. Dalam bayangan kami, Documenta nantinya lebih practical, sensual, dan eksperimental. Jadi nanti akan banyak intervensi ke tempat-tempat publik.

Konferensi pers Documenta 15. TEMPO/Nurdiansah

Contohnya?

Misalnya di sebuah negara Afrika ada model edukasi yang menarik. Itu bisa kita cangkokkan ke salah satu institusi di Kassel. Kami, misalnya, akan mengokulasikan sistem edukasi alternatif itu di kampus atau sekolah. Kami akan nge-hack kampus atau sekolah. Kalau Documenta-Documenta sebelum ini meninggalkan karya yang sifatnya fisik, kami lebih tertarik meninggalkan sistem. Seperti laboratorium begitu.  Untuk itu, kami tertarik pada ruang-ruang yang punya sistem existing, seperti sekolah, rumah sakit, kampus, bank, stadion, gereja, atau masjid.

Konsep Ruangrupa sangat berbeda dibanding kurator Documenta sebelum-sebelumnya. Proses menjadi sangat penting di sini....

Persis! Kalau Documenta sebelumnya kan hanya show. Tapi konsep kami yang demikian itu yang sebenarnya agak dikhawatirkan oleh juri: “Ntar gue lihat apaan nih di Kassel?” Kira-kira mereka bertanya begitu. Kami jelaskan, pasti akan ada pameran. Seniman-seniman bisa membuat karya yang memperkuat konteks. Misalnya di sebuah kampus kami memasukkan komunitas dari Amerika Latin yang telah melakukan praktik-praktik pendidikan menarik. Lalu ada seniman yang bisa melihat fenomena itu dari sudut pandang yang puitik. Dia bisa membuat karya yang melengkapi. Jadinya koeksistensi.

Apa tahap pertama apa yang akan dilalui?

Kami akan membentuk tim lintas disiplin, menggabungkan para pakar baik dari ekonomi, legal, koperasi, teknologi, dan media, juga ahli currency. Kita juga punya list panjang jaringan seniman selatan-selatan, yang akan kami review. Itu resource yang kami punya. Kami akan jalan, mengunjungi banyak negara, bertemu dengan orang-orang lintas disiplin itu. 

Konsep Anda bisa berkonsekuensi membuat anggaran Documenta 2022 membengkak. Padahal Documenta 2017 dikatakan mengalami defisit anggaran karena kurator Adam Szymczyk dengan tema “Learning from Athens” membuat perhelatan Documenta di dua tempat, Athena dan Kassel. Pengeluaran jadi besar sekali….

Serangan soal defisit Documenta itu memang ada, terutama dari partai kanan. Tapi, sejauh informasi yang kami ketahui, Kota Kassel pada 2017 itu untungnya tetap lebih banyak. Ya, kami akan duduk bareng untuk masalah bujet. Namun sebenarnya, dengan model kami, kalau ngomongin pembengkakan anggaran sebenarnya malah bisa ditekan. Sebab, kami tidak tertarik membuat suatu hal yang kecil menjadi besar, melainkan mengoneksikan unit-unit yang sudah ada.

Di mata juri, konsep Ruangrupa pastilah sangat radikal....

Ya, kami menawarkan risiko bagi mereka karena secara struktur mereka harus mengubah banyak. Karena konsep kami berbeda, juri memberi catatan bahwa yang dilakukan Ruangrupa adalah institutional practice, bukan institutional critics. Kami tidak mengkritik sesuatu secara berjarak, tapi mempraktikkannya.

Politik begitu terasa dalam konsep Ruangrupa….

Ya. Ini memang sesuatu yang politiknya dikerjakan, bukan cuma dibicarakan. Kami akan membangun aliansi gerakan komunitas berbagai negara yang punya pengalaman struggle dan survival. Kami ingin mengangkat yang belum terangkat, melihat yang belum terlihat, termasuk ranah teori. Teori-teori lokal dari berbagai belahan dunia yang bukan grand theory. Konferensi Asia-Afrika 1955, misalnya, itu pengalaman yang sangat berharga dari Indonesia

Anda juga mengusung luka patriarki. Seperti apa gambarannya?

Kami tidak mau terjebak dalam jargon-jargon. Kami tidak mau membicarakan feminisme atau kesetaraan gender dalam label-label.  Kami membayangkan ingin membawa atau mempelajari sebuah komunitas yang memiliki pengalaman melawan konflik patriarkal dan membagikannya di Documenta. Kita tidak ngomongin apa itu feminis. Kita melihat gerakannya yang kontekstual. Teman-teman di Barat itu, misalnya, kaget melihat cara seniman perempuan Indonesia mengusung feminisme dengan pendekatan yang berbeda.

Anda melihat panitia Kassel tertantang oleh risiko yang Ruangrupa tawarkan?

Risiko kan DNA mereka, ha-ha-ha.... Mungkin salah satu kriteria penilaian pemilihan Direktur Artistik Documenta justru adanya konsep berisiko semacam ini. Mereka mengambil gagasan-gagasan yang paling berisiko karena proses persiapan Documenta kan panjang, lima tahun, persiapan anggaran juga ada. Mereka justru ingin dikenang di posisi dan level itu. 

Dibanding pameran lain seperti Venice Biennale atau art fair, di mana posisi Documenta?

DNA masing-masing berbeda. Masing-masing memiliki ekosistem dan perspektif untuk mengalami apa itu yang disebut seni kontemporer. Venice menurut saya lebih seperti sebuah party. Sebuah momen show off. Di Venice, paviliun negara-negara menampilkan dress-up sebagus-bagusnya, berusaha menarik perhatian sebesar-besarnya. Justru biennale yang lebih kecil dan non-Barat bagi saya yang lebih menarik. Sedangkan art fair komersial. Pengaruh art fair makin merangsek ke mana-mana. Pertanyaannya, kontribusi apa yang bisa art fair berikan sebagai platform, di luar transaksi ekonomi.

Anggota komunitas seni Ruangrupa, Iswanto Hartono (kiri), Indra Ameng, Daniella Fitria, Ade Dharmawan, dan Mirwan Andan, saat ditemui di Gudskul Ekosistem, Jakarta, 27 Februari 2019. Dok Documenta

Sepanjang sejarah Documenta, selalu ada karya besar monumental yang menarik perhatian. Misalnya Joseph Beuys pernah membagi-bagikan bibit pohon kepada warga untuk menanamnya di jalan, hingga sekarang Kassel menjadi rindang. Pada 2017, perupa Argentina, Marta Minujin, membuat instalasi raksasa Parthenon of Books yang mereplikasi bentuk kuil kuno Parthenon di Akropolis Athena. Dalam instalasi itu, ribuan buku yang pernah dilarang Nazi ditempelkan oleh Marta Minujin. Nah, apakah pendekatan Ruang-rupa bisa memunculkan karya monumental seperti itu?

Yang kami bayangkan kenangannya bukan simbolis, tapi sistem. Bahkan sistem itu mungkin beyond Kassel. Jadi tidak sentralistis, dan bisa dikenang di banyak tempat dengan cara sendiri.

Di Documenta juga sering terjadi warga Kassel patungan membeli bila ada karya yang menarik. Misalnya karya Jonathan Borofsky, Man Walking to the Sky, dalam Documenta 9 pada 1992 dibeli patungan oleh publik dan diletakkan di depan stasiun lama Kassel. Apakah hal itu mungkin terjadi di Documenta dengan konsep Anda?

Begini, yang menarik, saat konferensi pers di Kassel, ada warga Kassel yang datang. Mereka mengatakan senang dengan konsep kami karena mereka nanti akan dilibatkan. Kami ingin nantinya seni tidak menjadi sesuatu yang memisahkan warga dengan karya si seniman. Di Sonsbeek di Arnhem, kami mengundang para seniman membuat karya yang bisa digunakan. Lalu ada yang bikin sekolah, taman, lapangan sepak bola. Ada gereja bikinan seniman yang kemudian digunakan untuk foto-foto pre-wedding. Pengalaman itu berharga banget, bahwa karya tidak harus simbolis, tapi menjadi bagian dari kehidupan sehari hari. Banyak hal yang memang tak bisa dicapai di Arnhem. Itu bisa kita coba lagi di Kassel.

Apakah peluang seniman Indonesia tampil di Documenta lebih besar dengan ada-nya Ruangrupa?

Yang jelas kami ingin mengundang seniman dari area di luar radar Documenta selama ini. Seniman Asia Tenggara sangat sedikit yang pernah diundang. Indonesia malah belum pernah. Documenta memang ngawur, ya (Ade tertawa). Kami sudah punya jaringan di selatan-selatan, tapi tentu akan meluaskan radar ke Asia Tengah, Eropa Timur, Afrika Utara. Pemilihan seniman sendiri sepenuhnya di tangan kami, bekerja sama dengan ahli-ahli lintas disiplin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus