Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Marie Colvin, arena perang adalah rumahnya.
Setiap kali perang berkobar nun jauh dari apartemennya yang nyaman di New York, Amerika Serikat, dia akan segera terbang menghampirinya, “Karena setiap perang adalah magnet bagimu,” demikian tuduhan Patrick Bishop, wartawan yang dua kali ia nikahi dan ceraikan.
Dengan kehidupan personal yang kompleks dan komitmen pada jurnalisme yang absolut, Marie Colvin merasa sulit mengikuti “peta kehidupan normal”. Colvin merindukan anak yang tumbuh dari rahimnya, tapi dia mengalami keguguran. Meski Colvin mencoba kehidupan pernikahan beberapa kali, toh suaminya yang berprofesi sebagai jurnalis pun mempermasalahkan kondisinya: “Lihatlah wajahmu sekarang, dulu kamu tampak begitu jelita.” Cukup dengan kalimat itu, Colvin memutuskan meninggalkan sang suami (untuk kedua kalinya).
Film ini dimulai dengan adegan Marie Colvin yang bersiap menuju Sri Lanka, sementara si bos (Tom Hollander) lebih tertarik wartawan bintangnya itu meliput soal Palestina. “Kirim orang lain saja, Tamil banyak korban karena perang saudara dan perlu diungkap.” Di sana, saat dia meliput Macan Tamil itulah tubuhnya terjengkang dihajar bom dan salah satu matanya hilang. Sejak itu, dia mengenakan eyepatch—penutup mata—dan berseloroh bahwa dia bajak laut.
Adegan berganti-ganti antara masa lalu saat Colvin meliput di Afganistan, Irak, serta Libya dan masa kini ketika ia akhirnya sempat mengalami depresi karena semua penderitaan orang-orang yang diliputnya akhirnya mendorongnya lari ke botol minuman keras. Tapi, apa pun yang menderanya, ketika berada di arena perang atau berhasil mewawancarai pemimpin Libya secara eksklusif, dia terlihat sebagai wartawan yang nyaman di “rumah”-nya.
Rosamund Pike dalam A Private War. IMDB
Sutradara Matthew Heineman (Cartel Land, 2015)—sebelumnya dikenal sebagai sutradara dokumenter—merekam kehidupan Colvin dengan gaya dokumenter, terutama saat di arena perang. Dengan kamera handheld yang mengikuti gerak Colvin sepenuhnya, yang wajahnya pucat tanpa polesan apa pun, Heineman membawa kita kepada perjalanan Colvin yang menjadi wartawan perang tidak hanya lantaran haus berita, tapi lebih karena dia merasa “pembaca harus bisa berempati”. Ketika Colvin menyaksikan puluhan tengkorak muncul di kuburan massal di Irak, kita menyaksikannya menjadi manusia. Ada air mata, rasa sakit, dan kemarahan.
Tentu saja ada beberapa “humor” pahit yang terselip di balik kegagahan wartawan dahsyat ini: dia selalu mengenakan bra yang cantik karena, “Kalau suatu hari mati kena bom, saya tidak mau terlihat dengan bra yang sudah bulukan,” katanya di antara tawa yang parau, bau asap rokok, dan vodka. Humor lain adalah ketika perang Irak berkobar dan para wartawan Amerika Serikat diperintahkan “embedded” alias menempel pada pasukan Amerika, Colvin dan fotografer Paul Conroy diam-diam kabur meninggalkan “para pengasuh sialan” itu, karena baginya wartawan tak boleh diperintah narasumber. Colvin dan Conroy malah menyewa mobil menuju arena yang dikabarkan terdapat kuburan massal.
Rosamund Pike, yang berperan sebagai Marie Colvin, tampil luar biasa didampingi Jamie Dornan, yang memerankan Paul Conroy. Keduanya pasangan kolega sejati yang paham bahwa mereka di sana untuk “bercerita” tentang korban perang kepada dunia. Ini yang kemudian sekaligus membawa mereka ke Suriah, neraka perang yang tidak hanya memakan begitu banyak korban, termasuk wartawan yang meliput area itu.
Di Homs, Suriah, Colvin diwawancarai wartawan CNN, Anderson Cooper. Sutradara Heineman mengambil rekaman wajah Cooper saat mewawancarai Colvin yang menjawab di antara bunyi dentuman bom. “Ini perang terburuk yang pernah saya alami dari semua perang yang pernah saya liput,” katanya.
Dan benar saja. Bom menghajar Colvin dan koleganya, fotografer Prancis, Rémi Ochlik, tewas seketika. Conroy, meski terluka berat, mampu bertahan dan menjadi saksi peristiwa tersebut. Pemerintah Suriah mengklaim serangan tersebut dilakukan teroris, sementara Conroy menyatakan bahwa jelas Colvin dan kawan-kawan adalah target pemerintah negara itu.
Di tengah revolusi Internet dan kegilaan media sosial, jurnalisme kian berubah bentuk dan makin jauh dari fungsinya sebagai pilar keempat. Film yang menceritakan kesungguhan seorang wartawan seperti Marie Colvin inilah yang menjadi penting.
Film ini diakhiri dengan satu pernyataan dari Marie Colvin sesungguhnya dalam sebuah wawancara: “Rasanya saya ke tempat-tempat ini karena saya peduli (akan nasib orang-orangnya) dan saya ingin pembaca juga ikut peduli.” Ketika ditanyai apakah dia merasa takut, Colvin menjawab dengan jujur, “Rasa takut biasanya muncul setelah semua sudah selesai,” lalu tertawa.
Lantas rangkaian tulisan Colvin di Sunday Times Magazine tampil satu per satu dengan iringan suara Annie Lennox menyanyikan lagu Requiem for a Private War.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMDB
Sutradara : Matthew Heineman
Skenario : Arash Amel, berdasarkan artikel Vanity Fair, “Marie Colvin’s Private War” oleh Marie Brenner
Pemain : Rosamund Pike, Jamie Dornan, Tom Hollander Stanley Tucci
Produksi : Acacia Filmed Entertainment, Savvy Media Holdings, Thunder Road Pictures, Denver and Delilah Productions
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo