POPULATION MOVEMENT IN WET RICE COMMUNITIES
Oleh: Ida Bagus Mantra
Penerbit: Gajab Mada University Press, Yoyakarta, 1981
210 halaman. Tanpa indeks
Kira-kira sepuluh tahun lalu seorang menteri membuat analogi
daya tarik migrasi, khususnya urbanisasi, dengan teon laron -
serangga malam yang senang tempat berbinar-binar. Maksudnya: di
mana ada daya tarik sosial - seperti elektrifikasi, fasilitas
pendidikan, kesehatan, dan hiburan - ke situ orang menuju.
Anggapan yang menggunakan analogi dan akal sehat itu masuk akal,
kalau saja semua tingkah laku manusia semata-mata didasarkan
pada pertimbangan rasional. Sayang dalam kenyataan manusia bukan
sekadar makhluk rasional. Motif tingkah lakll mereka lebih
kompleks dari itu.
Faktor yang menentukan tingkah laku seseorang meliputi
pertimbangan emosiol nal, kekerabatan, persepsi, dan sebagainya.
Di sinilah Dr. Ida Bagus Mantra mencoba menguak kekuatan yang
mendorong orang desa meninggalkan tempat asalnya - sel mentara
atau seterusnya. Serta kekuatan yang menahan penduduk untuk
tetap tinggal di desanya.
Dengan pendekatan studi mendalam (indepth inquiries) ia amati
peri laku mobilitas penduduk di dua dukuh: Kadirojo, Desa
Margorejo, Kecamatan Tempel di Kabupaten Sleman dan Dukuh
Piring, Desa Murdigadung, Kecamatan Sanden, di Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Dalam telaahnya Mantra menuding kekuatan centrifugal
(mendorong keluar) dan kekuatan centripetal (merenggut ke dalam)
yang bekerja dalam dinamik migrasi kependudukan. Ekonomi petani
yang menghimpit, kesempatan pendidikan, tetek bengek kewajiban
kemasyarakatan yang dirasa memberatkan, mendorong orang
meninggalkan tempat asal.
Sedang unsur penahan yang membuat orang tidak pindah dari
desanya: Pertama, ternyata ikatan kekerabatan- sanak famili
saudara, ikatan batin, pertemanan, dan sebagainya. Kedua,
semangat gotong royong yang masih kuat dirasa sebagai jaminan,
biarpun hidup susah, bila tetap tinggal di desa itu. Ketiga,
ikatan batin dan spiritual terhadap tanah, juga status yang
menempel akibat pemilikan tanah di desa itu (kuli, setengah
kenceng, yasan, dan sebagainya). Keempat, desa asal usul, tempat
makam nenek moyang, harus dileluri (dijunjung tinggi). Kelima,
hambatan fisik, ekonomi maupun kepastian nasib, tiadanya
pengalaman, keterampilan dan keberanian, menyebabkan mereka
cenderung terima nasib (halaman 1968, 1969).
Hasilnya: fenomen perpindahan ulang alik circular migration),
ikatan kampung halaman yang cenderung tetap kuat, masih
merupakan gejala umum dalam dinamik perpindahan penduduk kedua
dukuh tersebut, baik yang nglaju, menginap, mondok ataupun yang
pindah.
Di Indonesia ada beberapa ahli kependudukan mengkhususkan diri
dalam studi migrasi: Suharso, Mayling Oey, Kartomo dan Mantra
sendiri. Tetapi berbeda dengan yang lain, buku Mantra, semula
ditulis sebagai disertasi, mewarisi tradisi Pusat Penelitian dan
Studi Kependudukan UGM Pendekatannya antropolQgis, dengan
penelitian mendalam di satu dua desa atau dukuh dan mengorek
referensi yang amat kaya (buku ini mendaftar lebih dari seratus
bahan bacaan yang digunakan).
Isinya menarik, walaupun susunan dan tata sajiannya kaku -
maklum gaya disertasi. Tetapi bahasanya lancar dan mudah dibaca.
Kekurangannya cuma ditemukan dalam menyisipkan kata: mestinya
nglaju tertulis ngalju (hal. 8) petok tertulis petuk (hal. 37)
ahli waris tertulis alur waris (hal. 73) yang artinya lain sama
sekali. Juga merantau setahu saya kultur dan kata Minangkabau,
bukan Jawa Barat seperti kata Graeme Hugo yang dipetik Mantra
(hal. 9). Dan penyuntingan terhadap referensi kurang bersih.
Soetjipto Wirosardjono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini