Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kedut Perdana Tari Perut

Seorang penari Irak membimbing para penari kita menari perut. Mencoba menggabungkan belly dance dengan gerak lokal.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yola Yulfiani dan Hanny Herlina tak bisa menahan senyum ketika goyangan perut mereka mendapat aplaus hangat penonton. Tubuh mereka meliuk, bergelombang, berkedut-kedut dari atas ke bawah. Gerakan itu membuat roncean koin yang disebut rapta yang menempel di pinggul mereka bergemerincing riuh.

Ini bukan pentas di De Leyla Café di kawasan Gatot Subroto, atau restoran Turki Anatolia di bilangan Kemang—dua tempat yang sering menyajikan pentas tari perut—melainkan di Erasmus Huis, Jakarta. Ini pertunjukan tari perut para penari Indonesia yang dibimbing seorang penari Irak bernama Kamal al-Bayati. Bertajuk Baghdad-Jakarta, mereka menyajikan belly dance bercampur gerak balet, tari jaipongan, tari Jawa, dan tari Betawi.

”Banyak pengalaman baru yang tak saya dapat di balet,” kata Susi Mariah dari sekolah balet Sumber Cipta. Malam itu Susi kedapuk menarikan dua nomor: Araballet dan Al-Jawari Ballet, yang memadukan gerakan balet dengan kedutan tari perut. ”Beda dengan balet, dada, pinggul, dan perut pada tari ini bisa digerakkan ke berbagai sudut,” ujarnya.

Awal dari semua ini adalah ketika Kamal al-Bayati pada Agustus 2006 memutuskan menetap di Jakarta. Penari Irak ini berniat melakukan kolaborasi. Bertemulah ia dengan Sardono W. Kusumo. Dan Sardono merekomendasikan penari alumni IKJ: Hanny Herlina, Dilliani, dan Yola Yulfiani. Kamal kemudian juga bertemu dengan Susi di Gedung Kesenian Jakarta. Ia pun memberi Susi sebuah video tari yang menayangkan Kamal tengah beraksi belly dance. Kamal kemudian menggembleng mereka semua di rumahnya di bilangan Jeruk Purut.

”Susah. Bila pinggul yang bergerak, badan harus diam,” kata Yola. Menurut penari yang telah melanglang ke Inggris dan Korea ini, pada tari perut semua bagian tubuh harus bisa digerakkan secara terpisah. Jika giliran dada yang bergerak, pinggul tidak boleh ”macam-macam”. Yola sendiri malam itu menampilkan tari tunggal berjudul Jawa Fusion Arab.

Tetap mengenakan kostum mirip Jasmine, putri raja cantik dalam cerita Aladin, ia menggabungkan gerak dasar tari Jawa seperti trisik: gerak jinjit jalan kecil-kecil, kengser kaki menggeser, atau gerakan tangan ukel. Dalam tari Jawa, gerak tangan mengalir tapi badan stabil. Sedangkan pada tari perut justru aliran ada di badan ”Itu yang saya mix,” katanya. Menurut Yola, saat latihan, ia lebih dahulu menampilkan olahan-olahan Jawa lalu Kamal melihat dan mengarahkan di bagian mana unsur tari perut menarik dikombinasikan. Hasilnya memang cukup menyegarkan. Tari tunggal itu lumayan kuat.

Inti pertunjukan malam itu terutama memang coba-coba menggabungkan tari perut dengan beberapa gerakan tari Indonesia. Dilliani, misalnya, membaurkan dengan unsur-unsur gerak Betawi. Sedangkan Hanny dengan jaipongan.

Kamal al-Bayati bukan kali ini saja mengajak blending tari perut dengan tari tradisi setempat. Saat berusia 19 tahun ia hijrah ke Berlin untuk belajar tari dan membuat komposisi Baghdad-Berlin. Pada 1996 ia menghirup udara Gomera, Kepulauan Canary, Spanyol. Di sini Kamal menciptakan Baghdad-Gomera. Kamal pun sempat hidup di La Paz, Bolivia, menciptakan Baghdad-La Paz. ”Makanya kini saya membuat Baghdad-Jakarta,” ujarnya.

Kamal merasa tak mendapat kesulitan berarti ketika melakukan fusi dua tarian tradisi ini. Baginya, Indonesia memiliki kedekatan kultur dengan Arab. Catatan sejarah mengatakan, asimilasi budaya Arab telah terjadi di Indonesia sejak abad ke-14. Selain itu, Buya Hamka pernah mengatakan, terdapat catatan penjelajah Cina yang menemukan komunitas orang Arab di pesisir pantai barat Sumatera. ”Makanya saya dapat melihat unsur-unsur Arab di tarian sini dengan mudah,” katanya.

Memang yang ditampilkan pada malam itu bukan sebuah koreografi utuh. Hanya sebuah sampel. Ini pentas perdana yang dibikin ngepop dengan iringan lagu-lagu ala Buddha Bar yang memblender house music dengan instrumen Timur Tengah. Para penari pun belum merasa seprofesional penari perut di klub malam.

”Kalau yang profesional, begitu mendengar bunyi gendang, otomatis pinggulnya bergerak,” kata Yola. Gendang Arab itu namanya barbuka. Bila tak terbiasa, memang liukan pinggul masih tampak kaku. ”Goyang saya masih hafalan, ya namanya masih beginner-lah ,” kata Yola, tertawa.

Seno Joko Suyono dan Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus