Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran yang terbit sebelum pergelaran Sobrat berlangsungdi Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, selama empat hari sampai akhir pekan laluboleh dikatakan tidak berbukti. Itulah ketakutan kalau-kalau pertunjukan berjalan lamban. Pementasan terakhir Rendra, Shalawat Barzanji, di Tennis Indoor Senayan dua tahun lalu, mempersembahkan sebuah tontonan yang cantik, intens, tetapi sangat lamban. Dan orang seperti khawatir apakah usia Rendra yang makin bertambah menyebabkannya banyak berlapang dada terhadap tempo permainan para anak buahnya yang rupanya tidak lagi digertak agar lebih sigrak di dalam gerak.
Tetapi itu tidak terjadi. Atau hampir tidak. Kalaupun masih ada perasaan berlama-lama pada penonton, itu pertama karena kesetiaan Rendra pada naskah, hal yang sebetulnya terhitung luar biasa. (Contoh pementasan Rendra yang repertoarnya seperti hasil "perusakan" atas naskah [Yunani] lama adalah Lysistrata di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki 30-an tahun lalu). Dengan kesetiaan itu cukup banyak dialog yang sebenarnya bisa dibuat lebih simpel atau bahkan adegan yang bisa dipangkas tetap dipelihara. Kedua, lebih menentukan, adalah kesukaan Rendra berlama-lama pada bentuk-bentuk koreografis tertentu yang lalu diberinya waktu lebih banyak.
Dan ketiga, jejeran sketsel putih di belakang itu, dengan hanya sedikit trap papan di depannya, membikin panggung terasa luas: adegan-adegan kecil jadi tampak terpencil dan sepi. Lampu spot tidak akan selalu bisa mengatasi situasi ini tanpa merusak perimbangan untuk seluruh pertunjukan. Dan lampu (Jose Rizal Manua) memang tidak banyak dipakai: ia baru memamerkan dirinya dengan bagus dalam adegan di kapal, untuk menciptakan langit dan awan yang bergerak sebagai petunjuk samudra.
Tetapi bila kelambanan tidak sampai merebahkan diri, sebabnya ialah karena bentuk-bentuk di panggung itu bukan hanya bagus, tetapi juga dinamis. Pertama, koreografer Boi G. Sakti memasukkan semua pemain ke dalam pola tari yang dengan dasar silat Minang yang tangkas memberi kesan genit, lovely dan patah-patah, pas dengan model pendekatan Rendra yang komedik terhadap naskah yang oleh pengarangnya sendiri dikatakan sebagai "sandiwara gelap".
Sedangkan pengaruh kedua diberikan oleh tata musik I Wayan Sadra. Susah mengatakan mana yang lebih bagustarinya atau musiknyatetapi dengan warna-warni kostum yang sebagiannya mensugestikan zaman Belanda, dan dengan tokoh-tokoh khusus pembawa udara gembira yang bagai penari sekaligus peragawati (diberi nama Inang Honar dan Mongkleng), semua kru bergerak bersama-sama menghidupkan sebuah tontonan menghibur yang lincah dan manja.
Dan bukan sebuah melodrama. Ini dikatakan sendiri oleh Rendra di buku acara. "Saya mementaskannya dalam gaya mendongeng yang ceria, sehingga isinya yang gelap itu akan menonjol sebagai ironi." Tanpa pendekatan seperti itu kiranya lakon Arthur S. Nalan, yang menjadi pemenang sayembara penulisan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2003, itu akan lebih susah dikeduk potensi warna lokalnya yang sebenarnya kaya (Rendra menyebutnya jejak teater rakyat dan kandungan etnografi) dan akan hanya menyediakan kesempatan menuturkan cerita lurus yang sedikit berpanjang-panjang, yang hanya akan ditunggu bagaimana semuanya berakhir.
Ini pada awalnya memang cerita hitam tentang kehidupan para kuli kontrak zaman Belanda di sebuah tempat pertambangan emas di tanah Sumatera. Para tokoh utama adalah orang-orang muda dari Cirebon yang dipancing ke tanah seberang oleh inang perempuan pencari tenaga kerja dengan iming-iming "emas sebesar-besar biji salak", dan kehidupan bebas lengkap dengan perjudian dan perempuan. Di antara mereka terdapat Sobrat, jagoan muda kampung yang meninggalkan Mimi (Emak) yang selalu memanggil-manggilnya. Ia didampingi Mongkleng, tokoh hitam (oleh Rendra diganti dengan perempuan cantik) yang merupakan personifikasi suara nafsunya sendiri.
Setelah menyeberang laut, cerita menyuguhkan dunia kuli kontrak dengan kehidupan yang keras, dengan mandor-mandor, bandar judi, dan jaringan perdagangan perempuan pemuas lelaki. Orang kecintaan Sobrat, wanita yang dilindunginya di kapal dari pemerkosaan nakhoda, diculik para mandor dan dijual untuk dijadikan nyai seorang kontrolir. Bagian selanjutnya, Sobrat kecemplung ke dalam sumur penambangan ketika tali yang digayutinya putus. Semua orang mengiranya mati, tapi ia diselamatkan siluman perempuan penguasa bukit tambang itu, yang berjanji memberinya kekayaan asalkan ia bersedia mengawininya.
Jadi, Sobrat kini benar-benar memperoleh emas segede-gede biji salak, yang lalu dibagikannya kepada kawan-kawannya (yang gempar karena mengiranya hantu). Ia merebut tempat perjudian, membebaskan semua kuli dari jeratan utang, mengajak mereka pulang, bahkan berhasil merebut kembali nyai-Belandanya untuk dia kawini. Hanya Emak (Mimi), yang suaranya berkali-kali mengingatkannya dalam perjalanan hidupnya, sudah keburu mati. Cerita ini mestinya bisa menjadi sebuah kisah heroik tentang kebenaran mengalahkan kebatilan. Tetapi tidak. Istri Sobrat yang siluman itu datang. Tahu dikhianati, ia menghukum (bekas) suaminya. Ia cukup meniup telinganya, dan Sobrat berubah jadi orang bisu-tuli.
Menjadi cerita rakyat, bukan? Maksud pengarang melukiskan kehidupan kuli kontrak zaman Belanda, betapapun, tercapai. Hanya, bukan lewat drama yang lurus tegang. Rendra telah menyulap semuanya menjadi tari. Dan bukan tragedi. Ia karikatur yang bergoyang. Yang juga bagus ialah bahwa pementasan ini seperti menjanjikan regenerasi pemain. Latihan memang kelihatan tuntas. Pemeran Sobrat, Isaias Sadewa, memang masih memerlukan rekor jam terbang: inilah pertama kalinya ia ikut latihan di bengkel bapaknya. Tetapi adiknya, Maryam Supraba, yang juga baru kali ini menekuni dunia teater, melejit menjadi salah satu yang terbaik (sebagai Mongkleng), di bawah Olive Dewi Rustiani yang memerankan Inang pencari tenaga kerja. Mereka luar biasa.
Rendra orang yang berbahagia, telah menurunkan tiga putra-putrinya: di samping mereka berdua juga ada Clara Sinta, yang paling tua, yang memerankan Rasminah kekasih Sobrat. Di samping itu ada, misalnya, Otig Pakis (Surobromo) yang kuat atau Adi Kurdi (Mandor Bokop) yang mengesankan. Itu semua di samping dua penari betulan, Davit dan Ade Suharto, yang anak buah Boi G. Sakti. Ade lulusan Jurusan Tari Universitas Adelaide dan sekarang pun tinggal di sana. Memang, stilisasi bisa sangat menolong seorang pemain, terutama yang muda-muda: kalau saja ia pas masuk lalu bergerak. Dan Bengkel, jelas, memegang masa depannya.
Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo