Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kekuasaan, Tubuh, dan Kegilaan

Karya-karya perupa dari Jepang, Indonesia, Thailand, Amerika Serikat, Jerman, Kanada, dan Cina ditampilkan dalam acara Jakarta International Performance Art Festival 2000" (JIPAF).

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya-karya perupa dari Jepang, Indonesia, Thailand, Amerika Serikat, Jerman, Kanada, dan Cina ditampilkan dalam acara Jakarta International Performance Art Festival 2000" (JIPAF).

Festival seni rupa pertunjukan di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, 2-4 Maret lalu tidak cuma ditingkahi hujan gerimis. Festival ini diwarnai pula hujan pertanyaan. Tentu saja. Seni rupa pertunjukan adalah ungkapan baru yang relatif belum dikenal di Tanah Air. Bahkan, isitilah "seni rupa pertunjukan" (terjemahan performance art) merangsang pertanyaan karena sudah ada istilah "seni pertunjukan" (performing arts), yang meliputi antara lain teater, tari, musik, dan pembacaan puisi.

"Jakarta International Performance Art Festival 2000" (JIPAF), inilah judul festival yang menempuh risiko itu. Di tengah pertanyaan apa, sih, seni rupa pertunjukan itu, sulit dibayangkan bagaimana karya-karya yang ditampilkan dicerna publik. Namun, festival yang diurus perupa Arahmaiani dan perupa Jepang Seiji Shimoda dengan bantuan Japan Foundation ini bukannya gagal. Festival yang menurunkan karya delapan perupa Jepang, lima perupa Indonesia, tiga perupa Thailand, dua perupa Amerika Serikat, dua perupa Singapura, dua perupa Filipina, satu perupa Kanada, satu perupa Jerman, dan satu perupa Cina itu berhasil dalam memancing rasa ingin tahu.

Rangkaian acara yang berlangsung tiga hari itu ramai pengunjung. Perbincangan di warung kopi di sela-sela acara sedikit banyak memperlihatkan proses pemahaman. Publik Komunitas Utan Kayu, yang ternyata sangat toleran dan terbuka, bisa segera menangkap hal mendasar dalam seni rupa pertunjukan, yaitu perupa meninggalkan media seni rupa yang umum dan menggunakan dirinya untuk berkarya dan menyampaikan pesan. Publik juga segera sadar, seni rupa pertunjukan yang mengambil bentuk pertunjukan ternyata tidak menjadi teater atau pertunjukan tari.

Dalam teater dan tari, aktor dan penari menggunakan tubuh sebagai media ungkapan. Melalui olah tubuh dan latihan peran tubuh, mereka menjadi bahasa artistik yang tertata. Dalam seni rupa pertunjukan, perupa menggunakan tubuh yang tidak terolah. Namun, tubuh terlatih memang tidak diperlukan dalam seni rupa pertunjukan. Kehadiran perupa di panggung tidak bertujuan membawakan peran. Para perupa bukan pemain. Mereka tampil sebagai subjek yang menggunakan tubuh mereka sebagai obyek.

Karena mereka bukan hadir sebagai pembawa peran, ini membuat ungkapan perupa pada seni rupa pertunjukan bukan sekadar representasi yang mencari pemaknaan. Ungkapan dalam seni rupa pertunjukan adalah pernyataan (statement). Kendati dalam representasi karya seni pernyataan dan pemaknaan berbatas tipis, dalam seni rupa pertunjukan, batas ini harus ditegaskan. Membaca pernyataan seni rupa pertunjukan sebagai pencarian makna bisa membelokkan pesan yang ingin disampaikan.

Pertunjukan Mamiko Kawabata, yang tampil pada hari pertama JIPAF, adalah pernyataan yang tak bisa dilihat sebagai pencarian makna. Dalam pertunjukan berjudul Kiss Me Please ini, Kawabata menyatakan, "Saya bukan seniman. Saya pekerja seks."

Sudah tentu Kawabata tidak bermaksud membuat pengakuan bahwa ia seorang pelacur (nyatanya, ia seorang seniman). Namun, di sisi lain, Kawabata juga tidak sedang menggambarkan kehidupan pelacur dengan berperan sebagai pelacur. Pernyataannya yang bukan pengakuan dan bukan pula pembawaan peran adalah representasi intelektual.

Pertunjukan Kawabata ketika ia meminta tiga penonton laki-laki mencium bibirnya menunjukkan pandangannya: semua perempuan adalah pekerja seks di hadapan laki-laki. Pernyataan ini sudah tentu bukan pembenaran, tapi sinisme bernada protes (terkesan kuat pada bagian pertunjukannya yang menyatakan ejakulasi sebagai tanda kekuasaan laki-laki).

Kesan membawakan peran terlihat pula pada pertunjukan Nishijima Kazuhiro. Perupa laki-laki ini, pada pertunjukannya, menjadi perempuan. Ia mengganti baju laki-lakinya dengan kimono perempuan, lalu bertingkah seperti perempuan Jepang yang mengabdi pada laki-laki, dan akhirnya menelanjangi dirinya dalam gelap (kegelapan kehidupan seks perempuan Jepang). Kendati ada metafora pada pertunjukannya, Kazuhiro tidak memerankan perempuan. Ia mencoba menjalani pengalaman perempuan Jepang dalam kehidupan dengan cara memprovokasi tubuhnya.

Kecenderungan yang sama terlihat lebih jelas pada pertunjukan Fen-Ma Liu Ming. Perupa laki-laki dari Cina ini telanjang dalam ruangan terang-benderang, tidak sebagai laki-laki. Wajahnya yang cantik membuat tubuhnya, yang juga halus, hadir nyaris sebagai tubuh perempuan. Dalam pertunjukannya, Fen-Ma menyerahkan tubuhnya kepada penonton—membiarkan diprovokasi. Ia meminta penonton berpotret bersama tubuhnya yang telanjang, sementara ia sendiri terkulai lemah (barangkali menelan obat penenang). Ia mendapatkan pengalaman yang dicarinya: sejumlah penonton laki-laki, atas desakan penonton lain, mempermainkan tubuhnya.

Menggunakan tubuh sendiri sebagai obyek dan melakukan provokasi pada tubuh adalah kecenderungan yang dominan dalam seni rupa pertunjukan. Kecenderungan ini tampil kuat pada pertunjukan-pertunjukan JIPAF yang berhasil. Kecenderungan ini tampil pula pada pertunjukan Amanda Heng (Singapura), Kaori Haba, Yukio Saegusa, Arai Sin-ichi, dan Seiji Shimoda (semuanya dari Jepang), dan Nao Bustamante (Amerika Serikat).

Mengamati tubuh, karena itu, merupakan hal utama dalam membaca seni rupa pertunjukan. Misalnya pertunjukan Shin-ichi Arai, Happy Japan, yang mempermasalahkan sebuah komik yang menyerukan heroisme Jepang. Dalam pertunjukannya, Arai menyobek-nyobek komik ini dan menelanjangi dirinya. Ia kemudian menggambar bulatan merah pada bendera Jepang dengan pantat telanjang.

Sekilas, Arai terkesan menyatakan sikap anti-Jepang dan mengkritik kekejaman Jepang pada Perang Dunia II (hal yang justru dibela komik heroik tadi). Namun, ketika pernyataan yang dilontarkan melalui tubuh itu diamati, muncul kesimpulan bahwa kesan tadi ternyata menyesatkan. Pertunjukan Arai sama sekali tidak anti-Jepang.

Pada bagian kedua pertunjukannya, Arai menjejalkan sobekan komik tadi ke mulutnya sambil berkeliling ke penonton membagikan sobekan yang sama. Dengan mulut tersumpal, ia berteriak, "Hidup Jepang," (dalam bahasa Indonesia) berkali-kali. Penjejalan sobekan komik ini dilakukannya hingga gumpalan sobekan itu menyumpal kerongkongan dan menutup saluran pernapasannya. Wajahnya memerah, ingusnya mengalir, napasnya tersengal, tapi ia tetap berusaha mati-matian meneriakkan, "Hidup Jepang."

Emosi penonton, tidak bisa lain, terguncang melihat perupa itu tersiksa di arena pertunjukan. Guncangan ini belum tercerna ketika pada titik kritis, Arai memuntahkan sobekan-sobekan komik yang mengganjal, dan menghirup udara. Terbata-bata, ia berkata, "I am happy for Japan, but…." (Ia tak bisa meneruskan kalimatnya.) Seketika itu, pesan pertunjukannya pun menjadi jelas. Ia bukan cuma seseorang berkebangsaan Jepang. Ia seorang manusia yang dipermalukan, dihina, diinjak-injak identitasnya, dihimpit benturan kekuatan dan propaganda, dan disalahkan untuk hal-hal yang tidak dilakukannya.

Kecenderungan menampilkan wacana tubuh menandakan kelahiran seni rupa pertunjukan sedikit banyak dipengaruhi pikiran pascastrukturalis Prancis, Michel Foucault, yang meluas pada 1970-an (terjadi melalui penerjemahan buku-bukunya ke bahasa Inggris). Dasar pikiran Foucault yang juga tercermin pada seni rupa pertunjukan ialah penentangan totalitas kekuasaan.

Bagi Foucault, kekuasaan bukan sekadar kekuasaan politik. Kekuasaan yang dianggapnya lebih menindas adalah kekuasaan yang terstruktur dalam masyarakat. Kekuasaan ini berdiri sebagai konvensi yang mengalami pembenaran ilmu (disebutnya genealogi).

Kebaruan pandangan Foucault dalam menganalisis kekuasaan ialah bahwa genealogi membuat setiap individu ikut menindas dirinya sendiri. Kenyataan ini mengungkapkan, kekuasaan dalam bentuk apa pun pada akhirnya melakukan penindasan tubuh. Bagi Foucault, ini merupakan pembunuhan daya hidup.

Dalam JIPAF, pertunjukan Seiji Shimoda menampilkan keyakinan Foucault secara esensial. Dalam pertunjukan ini, Shimoda memprovokasi tubuhnya sendiri melalui tekanan (gerakan tangan) yang nyaris tidak terlihat (ia seperti mengerahkan tenaga dalam). Pada pertunjukan-pertunjukan JIPAF yang lain, wacana kekuasaan atas tubuh larut dalam penampilan berbagai tema, seperti eksploitasi tubuh perempuan, kekerasan dalam kekuasaan totaliter, dan pemenjaraan tubuh.

Menghadapi kekuasaan yang terstruktur, Foucault berpendapat, individu harus membuat pernyataan sebagai subyek karena tubuh mereka telah menjadi obyek. Dalam kondisi terkurung, resistensi terhadap kekuasaan ini diyakini Foucault bisa muncul intensif melalui kegilaan dan seksualitas. Keyakinan ini berhulu pada pemikirannya mengkaji sejarah kegilaan dan sejarah seksualitas. Dalam bukunya, Madness and Civilization, Foucault melihat peradaban abad ke-16 sampai ke-18 lebih menghargai kegilaan (dipercaya mengandung pikiran yang melebihi pikiran rasional) daripada peradaban modern. Ia melihat, sejak abad ke-19, kedaulatan rasio membangun penjara bagi "melankolisme" dan memberinya cap kegilaan. Pemikiran ini menjelaskan latar belakang kecenderungan seni rupa pertunjukan menampilkan ketelanjangan, seks, kegilaan, dan sensasi yang meletup.

JIPAF ternyata tak cuma menampilkan wacana tubuh. Sejumlah pertunjukan—termasuk pertunjukan perupa-perupa Indonesia—menampilkan protes kepada kekuasaan politik tanpa mengaitkannya dengan masalah tubuh.

"Di Asia, performance art memang lebih banyak menampilkan dimensi politik," kata perupa Thailand, Chumpon Apisuk, menanggapi kenyataan itu. Ia mengetengahkan ada pergeseran konsep performance art di Asia, kecuali Jepang. Namun, di JIPAF, pertunjukan seni rupa macam ini terkesan ragu-ragu. Pertunjukan yang terlalu teatrikal barangkali lebih baik ditampilkan dalam bentuk teater. Sementara itu, intensitas ungkapan yang mengangkat masalah politik terlihat tidak mencapai intensitas ungkapan yang sama pada lukisan, instalasi, gambar, dan ungkapan seni rupa yang lain.

Jim Supangkat
(Kurator dan pengamat seni rupa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus