Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Tafsir Biblikal ke Roh Gibran

Altje Ully Panjaitan menampilkan instalasi yang bernuansa agamis tapi sekaligus melontarkan kritik seorang perempuan terhadap perkawinan?

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGARADEON NI OROAN
Pameran, Tunggal Altje Ully Panjaitan
Galeri Lontar, 17 Februari --- 12 Maret 2000
Siapa di antara kita yang mampu menerjemahkan bahasa jiwa yang tak tampak menjadi bahasa jiwa yang tampak?" Itulah sebaris kalimat dari sepucuk surat yang ditulis di New York, 25 Maret 1925, oleh penyair Lebanon Kahlil Gibran (1883-1931) kepada kekasihnya, May Ziadah, seorang sastrawan dan cendekiawan Arab terkemuka (1886-1941). Antara keduanya terjalin hubungan percintaan platonis melalui surat-surat—kini menjadi kekayaan sastra dunia—sepanjang lebih dari 20 tahun.

Kalimat itu ditorehkan kembali dalam sebuah lempengan keramik yang digantung menjadi bagian karya Altje Ully Panjaitan, 42 tahun, di Galeri Lontar, dari 17 Februari hingga pertengahan Maret, yang bertema Pangaradeon Ni Oroan (Persiapan Pengantin Perempuan). Dua karyanya, masing-masing seri Instalasi II dan Instalasi V—dibuat pada 1999—menampilkan pecahan dan lempengan-lempengan keramik bakaran tinggi, menyitir baris-baris panjang surat-surat indah sang penyair. Kata "dunia" dalam surat Gibran diganti dengan kata "jiwa" dalam karya Altje Ully.

Keramik bakaran tinggi dan kutipan surat-surat cinta Kahlil Gibran bahkan dapat mendekatkan asosiasi kita pada "nyala biru", lambang kedalaman cinta sang penyair kepada sang kekasih, May Ziadah (bukan Zaidah sebagaimana ditulis dalam pengantar di katalogus). "Bahasa jiwa" menjadi semacam password yang membawa kita memasuki relung-relung ruang batin karya Altje Ully, melalui renungan dan penafsiran terhadap relasi perempuan dan perkawinan. Pameran ini juga penting: karya perempuan perupa yang pertama menyuguhkan semua karyanya—dalam sebuah pameran tunggal—dengan bahasa seni rupa instalasi.

Semua karya Altje merupakan karya instalasi yang berseri. Setiap karyanya menyatukan penggalan mata rantai wacana yang merenungkan sekaligus mempertanyakan kembali secara bermakna nilai-nilai perkawinan bagi perempuan yang bertaut dengan pertanyaan dasar filsafat manusia: roh, jiwa, dan materi atau tubuh. Kita dapat mengutip pernyataan spekulatif-filosofis Altje: "Seorang gadis yang pernah patah hati, walau belum mengenal perkawinan tingkat tubuh dalam arti apa pun, bisa memasuki konteks janda dalam perkawinan tingkat jiwa…. Seorang perempuan yang tidak sesungguhnya pernah kawin secara jiwa akan menjadi gadis seumur hidup, bahkan pada masa kawin dan masa janda.… Saya ingin mengungkapkan perkawinan yang menandakan saya memasuki ruang Tuhan."

Perenungan tematis ini di dalam ruang pameran dapat ditafsirkan kembali sebagai sebuah "siklus", katakanlah dari transendensi (roh) ke imanensi (tubuh) dan sebaliknya, dari imanensi ke transendensi. Juga, dalam putaran itu, kita menengarai bagaimana sebuah ide, "roh", atau gagasan yang berkembang "ditubuhkan" dalam seni rupa karya Altje.

Karya instalasi pertama diawali dengan renungan biblikal: satu-satunya karya yang diberi judul jelas, Apocalypse (1998), yang menafsirkan masa "akhir zaman" yang dilambangkan dalam sebuah ayat di dalam Injil sebagai Perkawinan Anak Domba. Perkawinan Anak Domba dalam kepercayaan Kristiani digambarkan sebagai kedatangan Kristus yang kedua kalinya di dunia. Kristus pulalah yang sesungguhnya disebut sebagai "sang mempelai laki-laki" dalam ayat yang lain, "kepala" dari "tubuh" yang melambangkan segenap jemaat.

Dari tafsir biblikal ke ranah antropologis dan sastra: Altje menggubah instalasi yang terdiri atas bahan-bahan ready-made berupa gantungan baju dan atribut pakaian yang memberi citra sosok perempuan dalam tiga wujud: anak gadis, seorang istri, dan janda. Altje menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang khazanah budaya: rangkaian daun beringin untuk menunjukkan tradisi manortor, sebuah momen dalam tari adat Batak ketika laki-laki memperoleh kesempatan menyematkan daun beringin ke rambut sang gadis sebagai tanda suka; sortali, atribut berupa ikat kepala yang digunakan dalam upacara perkawinan, dan kudung ulos, sebagai penutup kepala dalam upacara pemakaman seorang suami.

Akhirnya, Instalasi VII (1999) adalah karya Altje yang seakan "menjanjikan" kebebasan. Karya instalasi ini terdiri atas tiga properti, mirip seting untuk sebuah pertunjukan: kursi goyang, boneka manekin bergaun pengantin, dan sebuah jendela tua yang mempersembahkan sebuah lengkung langit biru, setatapan mata. Sang pengantin masih menunggu. Narasi berakhir, tapi "persiapan pengantin perempuan" boleh jadi baru diawali.

Dapatkah pencarian jiwa atau roh dalam Pangaradeon Ni Oroan Altje Ully Panjaitan dalam pameran ini dibaca sebagai kritik terhadap perkawinan, yang dewasa ini tak kurang mengutamakan pranata sosial dan sisi materialnya serta hubungan cinta yang telah terkuras kedalamannya?

Hendro Wiyanto
(pengamat seni rupa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus