Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEX AND THE CITY Sutradara: Michael Patrick King Skenario: Michael Patrick King Pemain: Sarah Jessica Parker, Cynthia Nixon, Kristin Davis, Kim Cattral, Chris Noth, Jennifer Hudson
Apa boleh buat.
Seburuk apa pun, sekonyol apa pun, film ini sudah ditunggu seantero jagat karena banyak hal. Persahabatan empat cewek New York pada usia mereka yang sudah 30-an, Carry Bradshaw (Sarah Jessica Parker), kolumnis tentang seks dan gaya hidup yang menjadi narator serial selama enam musim tayang ini; Miranda Hobbes (Cynthia Nixon), pengacara sukses yang rasional dan sinis; Charlotte York (Kristin Davis), yang manis, optimistis, romantis, dan selalu percaya pada kebaikan semua orang; dan Samantha Jones (Kim Cattral), yang hidupnya hanya didorong oleh libidonya.
Tetapi bukan hanya karena adegan seks keempat cewek New York ini yang mengikat penonton dengan setia (maklum, dalam serial ini adegan seks bukan cuma posisi misionaris, melainkan berbagai gaya yang sangat mementingkan kepuasan perempuan); juga bukan hanya pameran baju dan sepatu Manolo Blahnik atau Jimmy Choo, tetapi karakter yang diangkat dari kumpulan kolom Candance Bushnell ini dirangkai dengan plot yang kuat dan dialog serta narasi yang sangat terpelihara hingga akhir setiap episode. Jika enam musim tayang HBO ini menjadi salah satu ikon yang ditunggu penggemarnya, itu bukan karena satu sosok Sarah Jessica Parker belaka, melainkan karena persahabatan keempat wanita itulah yang menarik kita, betapapun dangkalnya persoalan yang mereka hadapi, betapa_pun cengengnya, betapapun remeh-temehnya, tetapi ada beberapa saat yang memperlihatkan kuartet Carrie, Miranda, Charlotte, dan Samantha adalah wanita biasa juga di antara tumpukan baju, sepatu, dan tas mewah yang mereka kenakan.
Dalam film, kita diingatkan lagi kehidupan empat sahabat lengkap dengan suami/kekasih masing-masing melalui sebuah ”album” yang dedesa_in gaya MTV lengkap dengan narasi suara Carrie. Lalu, kita masuk ke lantai apartemen penthouse di Manhattan, ketika Carrie dan Big (Chris Noth), kekasih Carrie yang mundur maju seperti terwelu dalam kehidupan Carrie itu, menunjukkan komitmennya: ingin tinggal bersama Carrie. Kita menghela napas. Akhirnya Mr No Commitment itu bisa bersetia pada tokoh kita. Lho, lantas persoalannya apa dong?
Berikutnya kita mesti mulai menikmati berondong jagung sajalah. Kirim pesan pendek juga boleh kepada teman: ”Hey, Sarah Jessica Parker a.k.a Carrie Bradshaw lagi fashion show di apartemennya; eh, sekarang dia sedang fashion show wedding gown berbagai merek terkenal….” Jadi kali ini Anda tak cuma disuguhi nama Manolo Blahnik dan Jimmy Choo, tapi juga Louise Vuitton, Vivienne Westwood, dan seabrek nama desainer dunia yang bekerja sama dengan sang produser. Berondong jagung saja hampir nyemprot keluar mulut.
Sembari menyaksikan fashion show (beneran) dua kali; dan fashion show (bohongan) dua kali ala Carrie, dan sesekali menyaksikan problem marital Miranda dengan Steve (”I only did it once…,” kata Steve dengan muka memelas), dan persoalan seks Samantha yang mencoba bersetia pada Smith sembari ngiler melihat tubuh tetangga; saya masih menanti plot dan twist ala Sex and The City di HBO. Mana? Mana dia?
Oh, itu lagi.
Berhubung pembaca/penonton tak sudi diberi spoiler, dengan takzim saya tak akan memberitahukan apa yang akan terjadi pada nasib Carrie dan Big alias John Preston itu. Tetapi saya cuma bisa bilang: sama sekali tidak baru, tidak unik, tidak mengejutkan, dan saya terdorong untuk keluar dan membeli berondong jagung lagi.
Tetapi mungkin ada yang perlu diakui di sini: Para tokoh sudah memasuki usia 40-an; tokoh Kim Cattral yang memerankan Samantha Jones bahkan merayakan usia yang ke-50. Dan dalam film ini, mereka tak peduli dengan kerut di leher, di mata dan bibir; mereka semua menunjukkan sikap: so what, saya memang sudah menanjak tua, tapi ”I am fabulous….” Kalaupun ada kekhawatiran ala perempuan soal berat badan, itu hanya tersaji pada akhir cerita dan sama sekali tak menjadi bagian dari obsesi keempat perempuan cantik yang memang sudah terlihat berkerut ini.
Kalaupun ada sisa-sisa elemen serial yang berhasil diangkat justru pada segmen Miranda dan Steve yang sungguh menyentuh (pada adegan jembatan itu). Mungkin hanya David Eidenberg, yang berperan sebagai Steve, suami Miranda, lelaki yang mendapat peran yang agak penting dalam film ini. Selebihnya para lelaki lain, baik kekasih/suami/kawan, hanya tampil seperti patung ganteng yang hampir tak ada guna selain aksesori. Bahkan Mr Big tampak menjadi lelaki lamban yang membosankan dengan dialog datar. Serial Sex and the City memiliki ciri khas untuk keterbukaannya dalam dialog para cewek: tentang posisi seks, tentang organ tubuh mereka, tentang kegagalan hubungan, dan tentang relung paling gelap diri mereka. Itu hal lain yang membuat kita merekat terus pada kotak ajaib itu. Tetapi keterbukaan itu, ”kebawelan” dan legitnya penulis Candance Bushnell (pemilik ide serial ini) tak terasa dalam film.
Kalimat ”apa boleh buat” tadi memang kalimat penting. Film ini sudah ditunggu penggemarnya di seluruh jagat karena tampaknya para penonton merasa serial Sex and The City terhenti begitu mendadak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo