BATUHAMPAR, desa kecil di Sumatera Barat itu, amat berpengaruh
dalam pembentukan pribadi Bung Hatta. Masuk wilayah Kabupaten 50
Kota, desa yang dihuni 4.000 jiwa ini terletak 117 km dari
Padang, 15 km dari Payakumbuh. Di jantung desa itu datuk (kakek)
Bung Hatta yaitu Syekh Abdul Rahman mendirikan sebuah surau yang
kemudian berpengaruh cukup luas di kawasan sekitarnya. Dalam
memoarnya Bung Hatta menulis:
Berpuluh tahun kampung itu terkenal sebagai pusat pendidikan
agama Islam. Dari seluruh Sumatera, juga Kalimantan dan Malaya,
orang datang belajar ke sana. Kampung itu mulai terkenal sejak
Datuk Syekh Abdul Rahman diakui sebagai ulama besar di situ.
Beliau bukan saja seorang guru agama yang besar pengaruhnya,
tetapi juga seorang ahli Tarikat Islam. Ia bercita-cita
menjadikan Batuhampar sebagai pertahanan agama Islam, karena
penyerbuan bangsa kulit putih ke Minangkabau sudah mendesak
Islam ke pinggir.
Bangunan surau itu sebenarnya lebih mirip sebagai masjid yang
bagus. Dengan arsitektur gaya Timur Tengah, ada beberapa kubah
di kanan, kiri dan tengah. Menaranya pun lumayan tinggi. Di
sanalah setiap malam terutama di malam Jumat atau malam-malam
bulan Ramadhan, sejak dulu hingga kini, ratusan orang mengikuti
suluk. Yaitu semacam laku ibadah dengan membaca wirid atau
doa-doa lain seperti lazimnya diajarkan oleh aliran kesufian
Islam yang disebut tarikat. Ada pula sekelompok orang mengkaji
tafsir AlQur'an. Di masa kanak-kanaknya, di sanalah agaknya
pribadi Hatta digembleng, terutama setelah Syekh Abdul Rahman
digantikan oleh putra sulungnya, Syekh Arsya, ayah gaek Hatta.
Para Perantau
Surau warisan kakek Hatta itu masih terpelihara hingga kini. Dan
para syekhnya pun terus bergantian. Setelah Arsyad digantikan
Arifin, muncul Darwisy dan terakhir kini Syekh Damrah Arsyadi,
55 tahun. Malah sejak 10 tahun terakhir, di samping sutau juga
sudah berdiri madrasah Al-Manar baik tingkat ibtidaiyah (SD),
tsanawiyah (SLP) mauan aliyah (SLA). Inilah satu-satunya
madrasah di Batuhampar, sementara sebuah SD sudah berdiri di 3
jorong (dukuh) di desa itu.
Untuk madrasah tersebut pemerintah membantu 4 tenaga guru.
Adapun para murid, selain membayar uang sekolah Rp 1.000 sebulan
juga menyumbang 1 liter beras. Dengan murid sekitar 300 orang,
madrasah itu kini berkembang dari 3 menjadi 9 lokal. Dana
pembangunannya tidak hanya dikumpulkan dari masyarakat setempat
tapi juga dari para perantau yang tersebar di Medan, Padang atau
Jakarta.
Setiap kali berkunjung ke Batuhampar (terakhir 1976), Hatta
sangat memperhatikan perkembangan Al-Manar dan masjidnya. Tapi
proklamator lebih menyukai istilah "surau" yang dianggapnya
lebih merakyat -- dan khas Sumatera Barat. Yang lebih menarik,
surau Batuhampar ternyata punya peranan lain. "Di surau itu pula
rembuk desa dilaksanakan," kata Drs. Aminuddin, anggota Fraksi
PP di DPRD Sumatera Barat asal Batuhampar.
Surau Batuhampar juga berfungsi sebagai ajang silaturahmi, yang
semula dipelopori oleh Hatta sendiri. Setiap kali berkunjung ke
sana, Hatta menggunakan surau tersebut sebagai tempat pertemuan
dengan sanak familinya. Sekarang hal itu diteladani oleh
tokoh-tokoh asal Batuhampar atau yang pernah belajar di surau
itu. Bermalam di surau, berbincang perkara kehidupan beragama.
Dan sebagainya.
Empat tahun lalu ketika terakhir kali berkunjung ke Batuhampar
Bung Hatta menekan tombol meresmikan listrik masuk desa bagi
desa kelahirannya itu. Batuhampar merupakan desa pertama di
Sum-Bar yang menerima aliran listrik setelah PLTA Batang Agam
selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini