PADA awal kerajaan bisnisnya yang berlangsung selama 100 tahun, Oei Tiong Ham Concern dikenal sebagai NV Handel Maatschapij Kian Gwan. Didirikan oleh Oei Tjie Sien di Semarang pada 1 Maret 1863. Pada 1853, dalam usia 23 tahun, ia beremigrasi dari Provinsi Fujian, Cina Selatan, karena kemelut Perang Candu dan kegagalan Pemberontakan Taiping. Jawa, 1860-an, baru saja sembuh dari "Perang Jawa" (Java Oorlog) dan Sistem Tanam Paksa yang luar biasa kejamnya. Tanam Paksa dinerkenalkan, sebagai upaya memperbaiki posisi keuangan Pemerintah Hindia Belanda setelah terjadinya kemunduran akibat "Perang Jawa" yang berakhir pada 1830. Sistem itu disusun untuk memulihkan keuangan secara cepat dengan menghasilkan panen produk yang siap dipasarkan di Eropa. Di bawah Sistem Tanam Paksa, para petani Indonesia harus menanami seperlima dari tanah desa dengan tumbuh-tumbuhan yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah kolonial. Ataupun rakyat harus bekerja selama 66 hari dalam setahunnya di perusahaan-perusahaan milik negara. Untuk itu, mereka menerima gaji kecil dan pengurangan pajak tanah. Malangnya, lapangan-lapangan kerja lainnya, seperti pembangunan jalan, kemudian dimasukkan juga ke dalam peraturan tersebut. Ditambah dengan kurangnya pengawasan. timbullah penyalahgunaan. Daya beli -- sebagai imbalan dari sistem itu -- sangat rendah. Rakyat Indonesia tak kebagian mencicipi bagian layak keuntungan eksploitasi sumber ekonomi seperti itu. Jadi Sistem Tanam Paksa itu tak diatur oleh sistem pasar: pemasokan dan permintaan. Itu usaha tanpa tedeng aling-aling untuk memeras daya guna buruh dengan biaya seminimal mungkin. Tanpa keinginan untuk mengembangkan bidang pemasaran yang berhubungan dengan produk-produk yang dihasilkan. Sejauh hal-hal yang berhubungan dengan pasar domestik, pada 1830-an, perekonomian Hindia Belanda tak bergerak sama sekali. Malah mungkin telah menurun dibandingkan dengan keuntungan yang datang dari ekspor hasil bumi ke Eropa (Belanda). Di tempat-tempat yang tak dihuni perusahaan-perusahaan pribumi, sedikit sekali kemungkinan untuk memulai sesuatu. Sampai pemerintah kolonial bersedia mempertimbangkan Hindia (Indonesia) Belanda sebagai sesuatu yang lebih dari hanya alat pasok ekonomi Belanda. Risiko-risiko bisnis pun timbul sebagai penghalang. Namun, ruang manuver bisnis orang Cina semakin sulit karena mereka tak diizinkan memiliki tanah. Oleh polisi, mereka juga dikenai peraturan pas -- kalau bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Selama tahun-tahun awal eksistensi perusahaan-perusahaan khusus itu, orang-orang Cina ditempatkan pada wilayah tertentu. Di sana, mereka berkelompok menjadi kubu ekonomi, dipimpin oleh jagonya. Bersandar pada ajaran Konfu sius, untuk mengubah kesulitan menjadi menguntungkan, orang Cina banting tulang dalam kubu kubu tersebut. Mereka bergerak ke arah penyesuaian dengar faktor-faktor ekstern. Namun perluasan bisnis secara umur hampir selamanya lebih cepat ke timbang penghasilan dalam kubu itu sendiri. Apalagi sebagian besar perluasan usaha individu diatur oleh berbagai macam serikat usaha (gilda) untuk menspesialisasikan buruh dan pengusaha yang terampil. Itu akibat pengaruh praktek monopoli serikat usaha itu untuk mengatur bagaimana menjadi anggota organisasi. Sekali menjadi anggota serikat, risiko bisnis dianggap lenyap, apa pun yang ditentukan oleh peraturan-peraturannya. Tapi, tanpa izin, orang Cina tak dapat berdagang di pedesaan. Karenanya, selama tahun-tahun terakhir abad ke-19, diperlukan upaya sungguh-sungguh di kalangan pengusaha Cina untuk berdagang di luar pasar lingkungannya yang tertutup. Tak lama setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa, secara bertahap Undang-Undang Gula yang baru menghapuskan pengawasan pemerintah atas produksi gula. Karenanya, perusahaan-perusahaan swasta pun mulailah memainkan peranannya. Sampai pada waktu itu, pengelolaan hasil bumi lain sudah ditinggalkan oleh pemerintah dan telah beralih ke tangan swasta. Tapi, dalam kesempatan untuk menggarap pasaran setempat, risiko-risiko yang sama juga berlalu dengan kuat. Perkembangan bisnis perkebunan secara besar-besaran tak mampu meningkatkan tarap hidup para petani, dan keuntungan dari usaha bebas itu tidak menjamin pengembangan pasaran domestik. Ekspor hasil panen dari tanah itu ditangani secara terpadu oleh berbagai perusahaan. Lepas dari upaya untuk menganggap enteng posisi kuat perusahaan-perusahaan tersebut, satu-satunya kesempatan untuk berkembang sebagai pedagang adalah menangani volume panen yang sangat sedikit dan berserak di petani kecil pribumi. Satu-satunya keuntungan yang dapat ditarik para pengusaha Cina dari undang-undang pertanian baru itu adalah berusaha mendorong petani kecil untuk menghasilkan dengan hati-hati produk-produk yang terpilih. Ataupun berusaha masuk ke dalam perdagangan hasil bumi -- untuk diekspor dalam skala besar. Sadar pada risiko, Oei Tjie Sien mengalihkan usahanya dengan memperdagangkan komoditi Cina dan mengeskpor gula dan tembakau. Tak lama kemudian, ia mengajak mitra usaha dan membentuk apa yang dikenal sebagai "kongsi", yang kelak direorganisasikan menjadi "Kian Gwan" yang artinya "Sumber Semua Kesejahteraan". Kongsi tersebut didasarkan pada perusahaan terbatas kekeluargaan. Bagi seorang imigran Cina muda membentuk suatu perusahaan terbatas, menyediakan barang dalam waktu yang begitu singkat, dan di paksa oleh keadaan adalah sebuah keberhasilan. Kejutan lain, keluarga Oei Tjie Sien mempekerjakan orang-orang luar dan bukan dari keluarga sendiri untuk mengelolanya. Kasus ini memperlihatkan salat satu perbedaan antara wiraswasta istimewa yang amat berhasil itu dan pengelolaan perusahaan-perusahaan Cina secara umum di Indonesia. Perbedaan yang sangat mencolok -- dibandingkan dengan praktek perusahaan-perusahaan Cina secara umum -- tetap menjadi ciri khusus perusahaan itu. Sekaligus jadi bukti akan faktor yang menentukan keberhasilannya. Usaha pertama telah dipilih untuk meliput secara luas tentang benda-benda dan menjamin pasaran secara berlebih, walaupun terbatas. Pasok barang impor bagi penduduk kubu etnik Cina dan pembelian hak dari pemerintah untuk menjamin penyerahan telah mendatangkan penghasilan yang pasti. Di atas semua dasar yang terjamin itu dibentuklah rumah-rumah gadai, ekspor gambir dan kemenyan dengan keuntungan besar yang potensial. Kiat Memecah Belah dan Memerintah Menjelang pergantian abad, pemerintah kolonial khawatir pada daya beli rakyat pedesaan yang makin menurun. Banyak perdebatan mengenai industrialisasi bagi rakyat Hindia Belanda, tetapi ada juga kepercayaan bahwa orang Indonesia memiliki kelebihan memadai dalam persaingan industri kecil melawan para produser Eropa. Sementara itu, pemerintah kolonial mengikuti kebijaksanaan yang ditujukan pada perluasan kegiatan pertanian ukuran kecil dan meningkatkan pasaran untuk produk pedesaan di provinsi luar Jawa. Menjelang akhir abad ke-19, ekspor hasil pertanian dari luar Jawa sudah mulai meningkat secara lebih cepat ketimbang yang dihasilkan di Jawa. Di luar Jawa, hasil produk petani kecil makin cepat dari produk perkebunan. Daftar terlampir (lihat tabel) menunjukkan kecenderungan dalam ukuran besar kecil kegiatan pertanian di Jawa (dan Madura) dan di provinsi-provinsi luar Jawa. Sebagai akibat pertumbuhan dan perubahan itu, dalam pola ekonomi, permintaan atas benda-benda -- terutama beras tumbuh dengan cepat di luar Jawa. Itu mempopulerkan pengangkutan laut antarpulau, dan selanjutnya mendorong perluasan pertanian ukuran kecil di Jawa sendiri. Para kapitalis kolonial telah gagal mengantisipasi kebutuhan untuk mengintegrasikan pengangkutan laut di Hindia Belanda. Sebagai akibatnya, mereka telah mengesampingkan kemungkinan spesialisasi dan keuntungan marginal yang lebih besar kepada kegiatan provinsi luar Jawa. Perluasan horison yang amat besar atas kemungkinan usaha telah memungkinkan tumbuhnya perusahaan Kian Gwan secara luar biasa antara 1990 dan 1930. Agak diragukan bahwa pemilik telah menyusun rencana horisontal yang sistematis dan terintegrasi secara vertikal untuk usaha mereka pada pergantian abad itu. Salah seorang anak, Oei Tiong Ham -- lahir pada 1866 dan memimpin perusahaan itu selama masa perluasannya yang besar-besaran melanjutkan dan memperluas praktek mengangkat para pengelola yang berasal dari luar keluarga. Itu memungkinkannya untuk mendirikan cabang-cabang baru di Jakarta dan Surabaya. Ia juga bersikap tegas dalam menuntut hasil dari sebuah kontrak dan menyeret mereka yang tak memenuhinya ke pengadilan. Dengan cara itu, ia memperoleh hak pemilikan atas tiga pabrik gula setelah mengambil alih manajemen atas perusahaan itu selama beberapa tahun. Pada tahun yang sama, miliknya bertambah lagi dengan sebuah pabrik gula. Sebagai akibat masuknya pabrik-pabrik tersebut, organisasi Kian Gwan makin bertambah penting. Konfrontasi dengan personel yang mendapat pendidikan Barat telah menimbulkan berbagai macam pertikaian dalam masalah kepegawaian. Tapi para pemiliknya tak terhanyut oleh sentimen. Keterampilan teknis dan pengelolaan gaya Belanda diperlukan, tidak hanya karena kurangnya sumber-sumber alternatif penyediaan personel, tapi juga personel yang berkebangsaan Belanda sangat berguna secara politis. Dengan begitu, Oei Tiong Ham menghadapi tantangan karena diperkenalkannya teknik produksi modern. Menurut ukuran perusahaan Barat pun, hasilnya dianggap hebring. Tujuannya adalah kekayaan dan kekuasaan. Dan ia berdaya upaya mencapai itu -- dengan mendorong para spesialis yang terlatih dalam perdagangan dan industri untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan perusahaan. Mengikuti pola pemanfaatan yang jebolan pendidikan formal, perusahaan itu mengatur agar orang-orang Cina yang paling pandai di Jawa dikirim ke Rotterdam dan Delft -- untuk mendapat latihan. Setelah kembali, mereka ditempatkan di pabrik-pabrik gula dan tapioka. Di sana mereka membantu proses pelistrikan dan reorganisasi pabrik-pabrik tersebut. Metode rekrutmen semacam itu mendatangkan dua manfaat: membentuk dengan kuat loyalitas pada perusahaan dan memungkinkan manajemen untuk memilih latihan yang cocok bagi para ahlinya. Bapak dan anak -- Oei Tjie Sien dan Oei Tiong Ham -- tidak menonjolkan diri mereka dalam pengelolaan. Itu tak perlu lantaran mereka telah mempekerjakan manajer profesional dengan gaji yang berlebih-lebihan. Walaupun demikian, kehadiran efektif Oei Tiong Ham sangat dirasakan dalam manajemen. Ia memiliki kekuasaan besar dan amat pintar menarik loyalitas para anggota stafnya. Salah satu tindakannya yang paling menonjol adalah penghargaannya atas pendidikan dan modernisasi. Walaupun begitu, ia tak pernah mengangkat seorang yang baru saja lulus sekolah atau pendidikan pada posisi kepala dalam organisasi pemasaran. Berlawanan dengan segala kebijaksaannya untuk membawa para spesialis ke pelbagai departemen dalam organisasi perusahaannya, untuk posisi puncak itu ia memilih seorang penjudi yang berani. Posisi itu ditempati oleh seorang pemegang buku muda yang hanya mendapat pendidikan dagang. Perluasan perusahaan yang terus-menerus mengundang terjadinya permainan poker, dan bukan permainan rolet Rusia. Kebijaksanaan untuk mengangkat dengan sistem dua tahap itu, tak diragukan lagi, merupakan penyebab perpecahan di dalam perusahaan. Tapi, Oei Tiong Ham berhasil mengatasi situasi seperti itu dengan kebijaksanaan "memecah-belah dan memerintah". Memilih spesialis dari luar merupakan inovasi pragmatis yang tak umum dikenal dalam masyarakat Cina. Dan pengangkatan seorang "penjudi" ke kursi direktur utama, adalah tradisi yang diajarkan Schumpeter tentang inovasi dan inisiatif. Bentuk organisasi Kian Gwan amat jauh berbeda dengan perusahaan Eropa yang besar. Sebagai permulaan pada perusahaan-perusahaan Eropa, pendelegasian kekuasaan sangat kurang, dan ruang lingkup untuk berprakarsa di kalangan kelompok-kelompok pengelola yang lebih rendah menjadi lebih sempit. Perkebunan-perkebunan dalam skala besar memiliki bobot besar dan kepicikan sebagai oligopolis. Saluran perdagangan mereka dibentuk dengan sebaik-baiknya oleh keyakinan pribadi atas jaminan posisi mereka dalam ekonomi kolonial. Lagi pula, rintangan rasial membuktikan dirinya sebagai sumber imobilitas dalam perusahaan dan menghalang-halangi suatu sistem selektif para administrator kapabel untuk berkembang. Dan akhirnya mereka-mereka yang bekerja pada cabang-cabang perusahaan itu di Hindia Belanda tak sempat memperoleh pengalaman. Lantaran keputusan-keputusan utama diambil di kantor pusat di Negeri Belanda. Jarak geografis yang luar biasa jauhnya antara kantor pusat dan unit produksi telah membuktikan dirinya sebagai sumber ketakefisienan dan menghambat. Sistem memegang buku Cina kuno tidak bisa lagi dipakai, dan suatu sistem administratif modern diperkenalkan. Sebuah perusahaan akuntan terkenal dibayar untuk mendesain dan memperkenalkannya. Perusahaan itu bertindak sebagai konsultan masalah administrasi. Bekas inspektur pajak bergabung dengan perusahaan itu dan memimpin divisi khusus yang mengurus pajak. Akan tetapi, masa Kian Gwan berhasil membiayai operasinya sendiri dari dana intern sudah lampau. Harus dikembangkan hubungan penuh dengan bank-bank dan ia mesti berkecimpung dalam pasar bursa valuta asing untuk perdagangan luar negerinya. Dalam kegiatan ekspornya, perusahaan menangani pencarteran kapal-kapal, polis asuransi yang rumit, dan juga surat-surat bongkar muatan. Sampai pada waktu itu semua masalah di atas telah dikuasai oleh oligopolis. Oei Tiong Ham mempelajari metode-metode penggabungan perusahaan untuk monopoli harga, dan menyadari sukses mereka terletak pada konsolidasi dan integrasi. Ia mulai memusatkan urusan-urusan komersialnya dengan mendirikan gudang-gudang yang khusus didesain untuk gula. Ini diikuti oleh integrasi vertikal yang lebih luas dan perluasan usaha pemasarannya. Organisasi pemasaran tidak hanya menjual produk dan berafiliasi pada impor, tapi menjual juga keperluan bahan mentah mereka, seperti karung goni dan rabuk. Untuk mengkoordinasikan keuangan perusahaan yang makin luas itu, ia mendirikan bank, yang diberi nama "NV Bank Vereniging Oei Tiong Ham". Untuk menjamin pengapalan ke Singapura, sebuah perusahaan perkapalan dibentuk di bawah nama "Heap Eng Steamship Company", yang kelak dikenal sebagai "Red Funnel Line". Perusahaan itu dimulai dengan lima kapal. Suksesi Oei Tiong Ham juga mengatur suksesi dalam keluarganya. Karena istrinya tak menghasilkan anak laki, ia kawin lagi. Hasilnya: delapan istri dan 26 anak. Demi perusahaan ia dingin dan bersikap bisnis dalam mengatur masa depan anak-anaknya seperti juga terhadap para manajernya. Dengan bantuan horoskop ia dapat memperkirakan bakat anak-anaknya untuk menentukan siapa yang harus menjadi ahli waris dan melanjutkan perusahaan sampai pada generasi ketiga. Kemudian diaturnya untuk melatih mereka yang terpilih menjalankan perusahaan besar. Lalu digebrakkannya pada mereka betapa pentingnya bekerja keras. Kian Gwan tetap sebuah bisnis keluarga dengan pemilikan kuat di tangan keluarga. Susunan para eksekutif adalah suatu kompromi antara praktek biasa orang Cina dan praktek modern orang Jepang. Oei Tiong Ham ngotot bahwa hanya seorang "Oei" yang dapat menjadi tuan besar. Tak seperti Mitsui dan Mitsubishi yang mengunjungi berbagai universitas terkenal untuk melahirkan pengganti yang cocok dan punya masa depan. Oei Tiong Ham telah menjadi multimilyuner. Namanya di lingkungan orang Cina diasosiasikan dengan suatu bisnis tangguh, rumit yang terdiri dari berbagai perusahaan yang aktif dalam bidang-bidang produksi. distribusi, ekspor-impor, keuangan, perkapalan, asuransi, dan bongkar muat kapal. Perusahaannya menjadi sumber penghasilan baik bagi pemerintah kolonial maupun bagi ribuan karyawannya. Anaknya -- Oei Tjong Swan dan Oei Tjon Hauw -- yang bekerja di bawah bimbingannya selama beberapa tahun, terus mengembangkan dan meluaskan pengelolaan dengan merekrut orang-orang Cina lulusan Rotterdam dan insinyur dari Delft. Pada masa itu administarsi telah dilangsingkan. Anggaran yang berdasarkan pada riset ekonomi telah diperkenalkan dan transaksi dipelajari dengan referensi biaya dan penyewaan dari semua faktor. Untuk suatu alasan yang tak dapat diterangkan, ada kebijaksanaan untuk tidak menggaji pengacara dalam organisasi tersebut. Apabila nasihat hukum diperlukan, maka seorang pengacara luar yang terkenal akan dihubungi. Pada 1911-1912, ekspor gula perusahaan itu berjumlah sampai 200 ribu ton. Tapi pada masa yang bersamaan, pasaran gula dalam negeri juga sedang berkembang. Ketika itu Oei Tiong Ham telah terlibat dalam persaingan melawan kartel-kartel raksasa Eropa dan Jepang dalam perdagangan dan distribusi internal dengan mempelajari metode-metode mereka. Tapi dalam hal perkembangan baru pasar yang sedang berlangsung, anak-anaknya tak punya contoh yang harus diikuti. Melalui jaringan kantor yang sudah ada dan perwakilan-perwakilan di seluruh Hindia Belanda, Kian Gwan sudah siap untuk mendistribusikan gulanya dengan keuntungan 2-5 sen per kilo. Volume perdagangan gula dalam negeri perusahaan itu meningkat dan mencapai lebih dari 200 ribu ton atau 60% dari konsumsi Indonesia. Jadi, perusahaan itu telah berhasil mengalahkan kartel raksasa Barat dalam pasaran dalam negeri yang menjanjikan keuntungan. Pada waktu yang bersamaan, ekspor produk-produk pertanian dan kehutanan juga ditingkatkan. Termasuk kopra, kapas, kulit hewan, tapioka, kopi, lada, gandum, cengkeh, karet, beras, rotan, dan damar. Sepanjang tahun 1930-an Kian Gwan adalah eksportir gandum yang terbesar ke Jepang. Dengan pendirian sebuah kantor di Bangkok, perusahaannya mampu merebut bagian cukup besar dari perdagangan impor beras Hindia Belanda. Cabang-cabang industrinya juga melakukan perluasan. Pabrik gula Redjoagoeng menjadi pabrik gula pertama di Hindia Belanda yang menggunakan tenaga listrik. Di Bululawang (Malang) sebuah pabrik tapioka modern didirikan dengan kapasitas 17.000 ton setahun. Pabrik itu menjadi pesaing kuat bagi Asosiasi Perdagangan Amsterdam yang sudah mapan malang-melintang di pasaran Amerika. Cabang-cabang perusahaan di seberang lautan dibentuk di Calcutta, Bombay, Karachi, Hong Kong, dan Shanghai. Melengkapi perluasan secara besar-besaran itu, hubungan keuangan dengan bank-bank Belanda dan Inggris diperluas. Perubahan penting lainnya membarengi perkembangan ekonomi itu. Beberapa tahun sebelum keadaan ekonomi yang baru itu muncul, larangan bergerak bagi orang Cina di Indonesia telah dibatalkan. Sistem pas diperlunak pada 1904 dan kemudian diperlunak lagi pada 1910, untuk kemudian pada 1916 dihapuskan sama sekali. Semua larangan bergerak dan bertempa tinggal yang dikenakan pada orang Cina di Jawa dihapuskan pada 1919. Menyusul di provinsi luar Jawa pada 1926. Setelah Perang Dunia I selesai, kelebihan produksi gula menghasilkan Perjanjian Chadbourne pada 1931. Di bawah persetujuan tersebut Jawa terpaksa mengurangi produksinya dari tiga juta ton sampai tak lebih dari 1,4 juta ton dengan rata-rata satu juta ton untuk diekspor. Setelah perjanjian itu muncul lagi Konvensi Gula Internasional yang menjatah kuota negara-negara pengekspor gula. Sebelum itu Kian Gwan menguasai bagian lebih besar perdagangan domestik ketimbang perdagangan gula di luar negeri. Dengan demikian, perdagangan gula Kian Gwan tak banyak terpengaruh oleh pembatasan-pembatasan di kalangan kartel yang pada bersaing. Akan tetapi, sebuah organisasi penjual tunggal, Nivas, dibentuk dan semua pabrik gula harus menjual produknya kepada badan itu. Manfaat cara ini adalah bahwa Nivas bertindak sebagai pemegang monopoli yang menjual kepada eksportir yang terpaksa memikul beban fluktuasi dalam memperoleh keuntungan di pasaran akhir. Tapi pada kesempatan berikutnya, bagaimanapun mereka mesti bereaksi dengan amat hati-hati. Kelak karet pun diatur oleh Rencana Stevenson yang pada gilirannya digantikan oleh "Restriksi Karet Internasional" yang menentukan kuota nasional. Pasar tak lagi ditentukan oleh kekuatan stabil dan proses perubahan yang lambat. Campur tangan pemerintah kolonial telah membawa suatu keadaan yang membuat pasok dan distribusi harus dalokasikan lagi dan kuota nasional tak lagi stabil. Ketakpastian pasaran belum membuktikan diri sebagai suatu penghalang bagi inovasi dan keberanian Kian Gwan di masa lampau. Tetap dalam situasi baru risiko tidak diperhitungkan tersendiri oleh Kian Gwan. Praktek-praktek monopsoni dan monopoli Nivas telah memaksa Gian Gwan menyalurkan produknya melalui suatu perwakilan yang tak menanggung risiko. Dalam keadaan seperti itu, Kian Gwan tak memiliki peluang untuk melakukan manuver seperti pada masa sebelumnya. Ia mendapatkan dirinya bersaing dengan perusahaan yang pasoknya tak dapat diramalkan seperti keuntungan yang diperoleh Nivas. Kasus beras yang menjadi bagian paling besar dalam perdagangan antarpulau memberikan gambaran baik tentang risiko bisnis selama masa malaise. Pada tahun-tahun 1930-an pengarahan menuju swasembada berarti bahwa daerah beras yang potensial "plus" didorong untuk menanam lebih banyak padi agar dapat menggantikan impor beras yang dilakukan sebelum itu. Menanam padi ternyata secara relatif lebih menguntungkan. Karenanya, terjadilah peralihan dari penanaman padi-padian komersial ke produksi beras untuk mengompensasikan kehilangan penghasilan yang diakibatkan oleh jatuhnya ekspor. Tapi pasaran internasional untuk jagung jatuh dan beberapa bagian dari kelompok petani yang lebih miskin menggantikan beras dengan jagung yang harganya lebih murah. Ini menyebabkan peningkatan pasok beras di pasaran yang mengakibatkan pula kesukaran-kesukaran bagi para petani dan pedagang beras. Dengan berlanjutnya perubahan harga dunia untuk barang-barang kebutuhan itu plus kemajuan yang salah dalam produksi domestik, tingkat spekulasi di pasaran beras menjadi tinggi. Pada 1933 pemerintah kolonial turut campur tangan dalam menstabilkan harga dengan cara mengeluarkan lisensi impor beras. Larangan impor beras memberikan rangsangan pada perdagangan beras antarpulau. Tetapi sebagai hasilnya, harga yang lebih tinggi menyebabkan kemelut ekonomi di provinsi-provinsi luar Jawa dan sekali lagi pemerintah campur tangan. Pada 1934 pajak variabel dikenakan atas impor untuk menyubsidi pengiriman ke provinsi-provinsi luar Jawa. Ini berarti bahwa harga akhir adalah kompromi antara biaya domestik dan harga internasional. Keanehan pajak ini memungkinkan pemerintah membantu dalam menstabilkan harga setelah mengamati pasok domestik dan kondisi permintaan. Walaupun demikian, stabilitas harga beras terakhir di pasaran konsumen tak perlu berarti bahwa petani padi dan pedagang dapat melepaskan diri dari risiko. Pengaruh persaingan yang lebih besar pada penghasilan beras di Jawa dan fluktuasi dalam permintaan akhir mungkin saja telah mendatangkan hasil berlimpah-limpah dalam jangka wakta yang pendek dan kekurangan dalam produksi domestik. Perusahaan Kian Gwan terpaksa menyesuaikan diri pada campur tangan lebih jauh dalam pasaran. Peraturan produksi muncul dari Dana Beras, Dana Kopi, dan Dana Kopra. Impor komoditi tertentu, terutama tekstil, muncul di bawah sistem lisensi yang didasarkan pada sejarah impor -- dan disebut hak-hak bersejarah -- dari setiap perusahaan. Ini berarti pengecualian total bagi Kian Gwan dalam mengimpor tekstil. Oei Tjong Hauw menyadari bahwa pertumbuhan seluruh organisasinya tak lagi berada di tangannya. Ia kemudian membalas peningkatan yang tak dapat diramalkan dengan cara menggolongkan lebih lanjut risiko bisnis. G.C. Allen dan A. Donithorne melaporkan: Perusahaan-perusahaan dagang besar muncul termasuk beberapa yang sebelumnya hanya berkecimpung dalam perdagangan intern dan intraregional. Pada 1931 perusahaan besar Cina, Kian Gwan, yang menurun lantaran depresi gula, bergerak ke dalam jalur bisnis baru, dan mulai mengarahkan pada usaha impor dengan Barat. Pada mulanya perusahaan tersebut hanya menangani benda-benda dan rabuk, tetapi kelak ruang lingkupnya diperluas. Apalagi kebalikan dari diskriminasi yang diterapkan pada masyarakat Cina, Oei Tiong Ham bermaksud menempatkan lebih banyak tekanan pada industri yang dianggap kurang berisiko daripada pertanian. Misalnya, ketika pada 1936 pabrik pengolahan karet Nederlandse Rubber Unie gagal, Kian Gwan menyewa pabrik tersebut. Tapi, pada tahun berikutnya Hindia Belanda masuk ke dalam International Rubber Agreement yang membatasi ekspor karet. Karet petani kecil yang ditangani Kian Gwan dikuasai oleh kupon karet yang dapat ditukar dengan lisensi ekspor karet untuk tujuan ekspor. Kupon tersebut dapat diperdagangkan dengan bebas oleh penanam karet potensial yang lebih menyukai menjual kupon mereka kepada pihak yang benar-benar menghasilkan karet. Bagi perusahaan seperti Kian Gwan itu adalah pasaran pelengkap. Kupon karet itu menjadi sebuah jalan untuk berspekulasi. Para pedagang memperjualbelikan kupon itu melalui perantara. Para pengolah pun memperdagangkannya dengan tukar-menukar kupon dari penghasil karet yang tak efisien kepada yang efisien yang akan memasok pabrik-pabrik mereka. Maka, para pengolah dihadapi oleh dua pasaran. Keuntungan marginal harus disamakan dengan pemaksimalan laba: pasar kupon dan pasar lempengan karet sebagai hasil para pengolah getah. Akan tetapi, spekulasi semacam itu tak mencegah harga karet dan kupon menjadi berfluktuasi. Para pengolah dipaksa mempertahankan persediaan karet dan kupon. Kian Gwan mendirikan beberapa depot karet setelah dengan hati-hati mempelajari keadaan itu. Pada 1937, secara umum Kian Gwan sangat sukses dan makin meluaskan kapasitas pengolahannya. Pabriknya memproses lempengan menjadi "selimut" dan mengekspornya ke Amerika. Dengan produksi dua sampai tiga ribu ton sebulan, pabrik itu merupakan yang paling besar di Hindia Belanda. Pembatasan pasar di Hindia Belanda dan larangan ekspor mendorong Oei Tjong Hauw melirik bisnis baru ke seberang lautan. Ia tertarik oleh tanah kelahiran leluhurnya dan pilihannya jatuh ke Cina. Meski Cina memiliki prasarana keuangan yang besar, ia mengintegrasikan institusi-institusi bisnis dan cap "K.G." menjadi terkenal di sana. Pemerintah Cina dan modal swasta bersiap-siap untuk memulai suatu perusahaan patungan yang disebut China Alcohol Distilling Company di Shanghai pada 1935. Peralatannya dibeli di Inggris dan kapasitas pabrik adalah 4.000 galon alkohol industri per hari. Pengelolaan pabrik dan rencana penjualan dipercayakan kepada Kian Gwan. Kebanyakan kegagalan Kian Gwan adalah dalam usaha yang bersifat khusus dan bila harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Begitulah kejadiannya dengan impor benda-benda modal tertentu yang sudah dilakukan oleh "Lindeteves". Dan bisnis film didominasi oleh "Fox" dan "Warner Brothers". Selama masa itu produk domestik penghasil barang-barang konsumen (khususnya sabun, rokok, dan tekstil) meningkat sebagai resep untuk menggiring ke pemenuhan untuk diri sendiri. Setelah membuat keputusan untuk menyusup ke bidang yang kurang berisiko dalam pembuatannya, perusahaan tersebut mampu memajukan penanaman modalnya di sana. Kegiatan asuransi juga dilaksanakan oleh Kian Gwan demi kepentingan kelompok perusahaan-perusahaan Inggris, Austra- lia, dan Amerika. Kantor baru didirikan di Bangkok, Kanton, Tianjin, dan Amsterdam. Sementara itu, di Semarang sebuah kantor pusat baru juga dibangun. Begitu perusahaan Kian Gwan berusaha menyebarkan risiko bisnisnya pada satu lingkungan yang spekulatif, perusahaan itu mendapatkan bahwa metode anggaran modern dan analisa ekonomi kurang bisa diterapkan. Para lulusan yang dipekerjakan di divisi perdagangan perusahaan itu dipaksa mengakui ketakcukupan keterampilan mereka untuk menghadapi keadaan ini. Dalam situasi yang cepat berubah dan tak biasa, sulit sekali bagi kedua orang bersaudara itu untuk sama-sama menyetujui kebijaksanaan. Sementara itu, perpecahan juga terjadi di mana-mana pada perusahaan itu. Dalam kesulitan seperti itu, Oei Tjong Swan memutuskan untuk meninggalkan perusahaan pada 1931 dan menjual saham-sahamnya kepada saudara-saudaranya. Pedagang Cina secara tradisional adalah seorang pedagang eceran biasa dalam ukuran terbatas. Untuk organisasi yang lebih besar, dengan berbagai divisi yang beroperasi pada bidang-bidang yang berlainan, tingkat kebutuhan spesialisasi menimbulkan masalah bagi pengambil keputusan utama. Ia dibebani oleh keharusan untuk mengambil keputusan bagi apa saja yang berjumlah sampai beberapa perusahaan yang berbeda-beda. Di samping itu ia harus juga mampu membandingkan tingkat risiko dari ciri-ciri yang berbeda-beda. Ini bukan untuk menyarankan bahwa ia sedang membidik secara murni pada penyamaan laba marginal jangka pendek dalam semua bidang. Persoalannya tak begitu sederhana. Sebagian dari modal yang ditanamnya akan memberi hasil secara penuh dalam waktu yang cukup lama. Sementara itu, yang lainnya, walaupun tak banyak menguntungkan, mereka sendiri akan membuka jalan ke usaha yang lebih lanjut. Contoh-contoh yang belakangan adalah perkapalan dan per- bankan. Tak diragukan lagi personel terampil Kian Gwan dipekerjakan untuk mengoperasikan cabang yang tersendiri itu seefisien mungkin dan dengan biaya minimal. Pemilik perusahaan dibebani dengan masalah penilaian atas pembiayaan internal antarcabang dan penanaman kembali modal. Seluruh tingkat keputusan akan menjadi pokok untuk menaksir kemungkinan risiko dan akhirnya bertindak menurut sikap penilaian yang sama artinya dengan berjudi. Tapi dalam kondisi ekonomi yang tak terduga setelah Perang Dunia I, semangat berjudi menjadi relatif lebih penting ketimbang masa lain ketika perhitungan lebih mudah dilakukan. Seorang pengusaha yang kurang berani ketimbang Oei Tjong Hauw akan berupaya memperkuat posisinya dan menyingkir keluar dari depresi dengan hati-hati seperti yang dilakukan sebuah perusahaan besar Eropa. Dalam keadaan seperti itu, Oei Tjong Hauw mendorong aneka ragam problem tersebut melalui pelbagai krisis yang menjebol bisnis-bisnis Eropa yang mapan dan kukuh. Ia memainkan intuisinya sepanjang itu layak. Sangat berhati-hati dalam hubungan antarmanusia. Ia mendominasi perusahaan bagaikan Paterfamilias. Pemilik perusahaan paham bahwa perluasan lebih lanjut kapasitas perusahaan dibatasi oleh dua faktor. Pertama, masalah personel memang sangat kompleks. Pengetahuan ilmiah atau pragmatis tak akan secara otomatis membuat seorang laki-laki menjadi pedagang yang baik. Lebih jauh lagi, daftar pembayaran upah sulit ditentukan dalam suasana memberikan hak lebih tinggi pada pendidikan formal. Masalahnya diganggu dengan penolakan para lulusan pendidikan Cina yang bekerja pada divisi industri untuk menerima pembayaran berbeda bagi mereka dan personel Belanda. Kedua, ada kebutuhan yang makin besar akan modal. Sumber keluarga dan kredit bank tak lagi mencukupi. Ini harus ditempuh dengan tujuan bahwa bank tak bersedia lagi memperpanjang kredit, sehubungan dengan posisi kolateral dan likuiditas perusahaan tersebut. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Oei Tjong Hauw yakin bahwa ia dapat memanfaatkan kredit bank lagi dengan cara yang menguntungkan. Dalam istilah ekonomi, ini berakumulasi menjadi kasus khusus inisiatif kewiraswastaan yang menghabiskan fasilitas kredit berdasarkan kebutuhan perbankan. Oei Tjong Hauw berharap mengubah perusahaan keluarga menjadi perusahaan umum. Tetapi tak tersedia pasaran modal di Hindia Belanda, dengan perusahaan-perusahaan asing yang mengandalkan diri pada modal dari seberang lautan. Modal pribadi yang tersedia di negeri itu ada di tangan orang yang mungkin ragu untuk menyerahkannya kepada raja bisnis yang egosentris itu. Persediaan para manajer kompeten dibatasi dan disarankan dalam tulisan ini bahwa ada ketakutan akan kekurangan manajer kompeten untuk membarengi adanya modal yang baru. Itu sama saja dengan membuang-buang sumber keuangan dan itu pulalah yang mencegah Oei Tjong Hauw mendapat dana yang diperlukannya. PT Rajawali Indonesia Faktor non-ekonomislah yang akhirnya menentukan hasil usaha mengadakan perluasan. Perang Jepang melawan Cina dimulai pada 1937. Dua tahun kemudian Eropa berada dalam kemelut dan perdagangan Negeri Belanda pun berakhir pula. Pada awal 1942 Perang Pasifik sampai di ambang pintu Hindia Belanda. Periode antara Perang Dunia II dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada l945 menjadi saksi keruntuhan material besar-besaran perusahaan itu. Ada penyitaan atas pabrik-pabrik di seberang lautan, seperti di Shanghai. Ada tuduhan membantu musuh terhadap pengelola di berbagai negara dan pembakaran atas pabrik-pabrik gula sebagai akibat meletusnya perjuangan bangsa Indonesia untuk berdaulat. Sikap yang telah lama merasuk terhadap perusahaan itu dan munculnya perasaan anti-Cina yang mendalam semakin menyulitkan masalah akomodatif di Indonesia yang amat luas dan beraneka ragam itu. Tahun-tahun setelah kemerdekaan adalah tahun-tahun reorientasi mental yang mendalam. Sebagai permulaan, beberapa personel lama tak lagi cocok untuk melanjutkan perusahaan Oei Tiong Ham dalam situasi seperti itu. Selama pendudukan Jepang dan perjuangan fisik, manajer peringkat yang lebih rendah telah menjalin persahabatan di kalangan mereka sendiri dengan cara berbagai pengalaman dalam unit perjuangan yang sama. Hubungan baru tersebut mungkin lebih menentukan dalam manajemen yang efektif ketimbang posisi-posisi formal dalam hierarki. Lebih-lebih dalam situasi yang di dalamnya campur tangan yang makin meningkat oleh pemerintah yang kedatangannya ke kekuasaan dibantu oleh para pejuang muda tersebut. Itu malahan lebih penting lagi. Sulit sekali untuk mengetahui bagaimana pengorganisasian sistem penghargaan apabila pengelola senior tak dapat menyelesaikan persoalan dalam berhubungan dengan para pejabat pemerintah, sedangkan manajer yang lebih muda bisa. Pada prakteknya, tanda tangan para birokrat diperlukan apabila urusan bisnis ingin selesai. Sebagai akibatnya, banyak dari kalangan personel yang lebih tua diberhentikan. Beberapa dari mereka memang mendekati masa pensiunnya sedangkan ada pula yang memulai bisnis mereka sendiri. Staf yang berkebangsaan Belanda mengundurkan diri secara sukarela. Proses Indonesiasi dijalankan dengan sangat serius dan perusahaan berusaha mendapat calon-calon yang cocok. Namun, pada waktu yang bersamaan kualifikasi juga tetap dipertahankan pada tingkat tinggi agar dapat menarik calon-calon terbaik. Kian Gwan dikenal sebagai perusahaan internasional dengan pandangan internasional pula. Walaupun demikian, perusahaan itu adalah lambang kapitalisme dan justru citra tersebut dimulai pada masa yang tak begitu menguntungkan ketika ia merekrut otak-otak muda Indonesia asli. Kecenderungan ke arah kendali pemerintah makin meningkat setelah tahun 1950. Dalam pada itu lingkungan perdagangan baru menimbulkan kesan pada pemilik akan kenyataan bahwa Kian Gwan tak dapat terus aktif sebagai perusahaan bisnis keluarga apabila ia ingin memahami perkembangan baru di Indonesia. Namun, kemungkinan untuk memasukkan mitra baru berkurang, boleh jadi lantaran masalah pembagian kekuasaan yang menyangkut seluruh kegiatan. Tahun 1950-an adalah periode yang lebih sulit lagi bagi perusahaan. Kedudukan Kian Gwan lebih sulit ketimbang kartel-kartel Eropa karena yang belakangan ini memiliki cabang-cabang di seberang lautan yang mendukung operasinya di Indonesia. Sedangkan Kian Gwan justru sebaliknya: ia menggunakan operasi Indonesianya untuk mendukung kegiatan seberang lautannya. Mereka mencari penyelesaian dengan cara kerja sama dengan pihak ketiga. Salah satu hasilnya adalah Asosiasi Perdagangan Internasional (International Trade Association) yang khusus bergerak dalam lapangan impor, pemasangan dan pemeliharaan alat-alat besar yang meliputi mesin-mesin tunggal sampai pabrik besar. Perusahaan itu dibentuk atas seruan orang-orang Indonesia terkemuka dan beberapa pemuka bisnis Amerika. Akan tetapi, Kian Gwan terus menjadi korban kebijaksanaan ekonomi berbagai kabinet. Selama berlangsungnya Perang Korea, ketika permintaan akan karet meningkat, sedikit sekali perhatian yang dicurahkan pada kualitas ekspor. Maka, setelah masa peningkatan itu, ketika Amerika melepaskan sebagian dari persediaan karetnya yang bermutu tinggi, penurunan nilai tukar uang asing di Indonesia yang didapat dari penjualan karet jauh lebih hebat ketimbang penyesuaian kuantitas saja. Pemerintah berusaha menghentikan kejatuhan itu dengan cara menciptakan peraturan baru seperti sistem barter, menekan biaya produksi, sistem tarif nilai tukar dan bonus ekspor. Ini adalah permulaan dari berbagai peraturan dasar yang meratakan jalan ke arah manipulasi pasar. Perusahaan mendapat pukulan besar dengan kematian Oei Tjong Hauw pada Januari 1951. Menurut tradisi Cina, anak sulung harus mengambil alih. Tapi dalam hal ini sang calon memilih untuk tinggal di Amsterdam dan si bungsu dipilih sebagai pengganti. Sekarang penguasa tertinggi di seluruh perusahaan adalah Dewan Direksi Pengelola, yang terdiri dari delapan pemegang saham, dengan dua koordinator sebagai penghubung -- adik bungsu di Singapura dan Jakarta. Yang sulung di Amsterdam. Tiap kantor punya otonomi sendiri kecuali dalam masalah personel ketika kantor Jakarta mengambil semua keputusan untuk menghindari malu dan kehilangan kepercayaan dalam anggota keluarga. Sesuai dengan kebutuhan hukum, Kian Gwan Indonesia terpaksa direorganisasikan untuk mengikutsertakan banyak warga negara Indonesia, baik pribumi maupun yang naturalisasi. "Asosiasi Perdagangan Internasional" dengan mitra Amerikanya dipaksa mengundurkan diri. Diskriminasi terhadap pengusaha nonpribumi terjadi dalam bidang fasilitas kredit pada umumnya, bantuan pemerintah untuk membentuk industri baru atau memperbaiki yang lama, dan hak-hak penjualan besar. Pada 1957, 42 orang asing dilarang mendirikan atau meluaskan perusahaan. Tersisih dari hak untuk mengimpor perlengkapan baru, orang Cina beralih ke dalam usaha-usaha kecil tanpa mesin seperti bioskop dan hotel. Berbagai industri, misalnya tekstil, telah meluas dan dimekanisasikan di bawah para pemilik Cina selama tahun 1950-an. Tapi dalam lingkungan yang kacau mengenai definisi seorang warga negara Indonesia sampai 1958 telah memperbesar risiko dalam penanaman modal. Sejauh yang berhubungan dengan kepentingan Kian Gwan, para pengelola puncaknya terpaksa diganti. Anak tertua Oei Tjong Hauw -- seorang warga negara Indonesia -- telah mendapat kedudukan presiden direktur lantaran anak yang paling muda telah mengambil kewarganegaraan Inggris di Singapura. Kedua bersaudara itu setuju pada pemilikan bersama dengan orang luar pada industri yang baru dibentuk atau yang direhabilitasi. Atas dasar pemikiran ini, pabrik gula yang ada di Krebet dibangun kembali dan dijalankan dengan cara bekerja sama dengan pemerintah. Kian Gwan mempersiapkan pengelolaannya. Didorong oleh sukses itu, perusahaan memutuskan untuk memulai "NV Industrial Management Company (Imaco)" dengan tujuan memasukkan sebanyak mungkin orang Indonesia yang kapabel dalam pengelolaannya. Termasuk ke dalam operasi Imaco adalah memprosikan proyek-proyek industri, perencanaan mengenai ukuran dan ruang lingkupnya, dan implementasi rencana-rencana tersebut. Kegiatan Kian Gwan tidak lagi hanya dalam produksi langsung dan penjualannya. Kini perusahaan tersebut terlibat dalam mempromosikan perkembangan industri dengan menyediakan pengelolaan dan bantuan teknis. Termasuk ke dalam proyek itu adalah "Pharmaceutical Processing Industry" (NV Phapros) di Semarang. Kemudian sebuah pabrik gula, "Pakkies", direhabilitasikan dan direorganisasikan dengan bekerja sama dengan para penguasa militer setempat. Persoalan kewarganegaraan jadi semakin mendesak, selagi sebagian besar dari saham masih dikuasai oleh keluarga Oei. Banyak di antara mereka yang secara pasti bukan orang Indonesia. Pada prinsipnya kemudian, keluarga setuju untuk membiarkan para eksekutif seniornya menjadi pemegang saham, sehingga sedikit demi sedikit anggota keluarga akan mundur dan kemudian hanya menjadi para pemegang saham biasa. Tapi, pada 1961, keluarga Oei terlibat dalam suatu pertikaian hukum yang gawat melawan pemerintah, yang berakhir dengan tindakan pengambilalihan semua hak milik dan kegiatan perusahaan itu di Indonesia. Bisnis tersebut direorganisasikan menjadi perusahaan milik pemerintah dan diberi nama baru: PT Rajawali Indonesia. Semua direktur -- dengan satu perkecualian -- adalah bekas orang Kian Gwan. Keberhasilan PT Rajawali adalah sebuah contoh mengenai apa yang dapat dilakukan dengan menggabungkan sekelompok pengelola pribumi di bawah persetujuan dan restu pemerintah. Perusahaan itu telah mendapat tawaran untuk mengadakan usaha patungan dari perusahaan-perusahaan asing. Kisah Kian Gwan menunjukkan bahwa ungkapan "kelihaian bisnis orang Cina" adalah suatu generalisasi yang menyembunyikan informasi kualitatif mengenai kewiraswastaan. Ketika sekelompok imigran minoritas berjuang untuk memperoleh suatu pijakan komersial, upaya mental mungkin lebih baik dilukiskan, dalam istilah McCleland, sebagai achievement (keberhasilan) ketimbang kewiraswastaan seperti yang dikatakan oleh Schumpeter. Kenyataan bahwa anak-anak Cina disekolahkan dan dikondisikan untuk meneruskan bisnis orangtua mereka telah menjadikan sukses orang Cina makin kurang masuk persyaratan pada kualitas Schumpeter tentang inovator egosentris. Oei Tjie Sien dan leluhurnya menunjukkan perilaku komersial yang bertentangan dalam banyak cara dengan konservatisme orang Cina yang khas. Misalnya saja, dengan kesiapan Oei Tjie Sien untuk memanfaatkan teknologi dan keterampilan terbaru. Mempekerjakan manajer profesional (dari luar keluarga) dan kelompok rasial. Kerja sama dengan perusahaan asing. Pencarian dana di luar lingkungan orang Cina. Penyitaan dengan segera milik pengutang yang lalai. Dan sedemikian jauhnya masuk secara langsung ke dalam persaingan dengan para oligopolis Eropa. Tetapi, karena perencanaan nasional negara jatuh ke dalam wilayah antara teori pertumbuhan yang seimbang dan tak seimbang, akan muncul sekumpulan manajer miriad, dalam sektor swasta dan pemerintahan, yang dipaksa mengambil keputusan keuangan, yang sebelumnya tak pernah ditempuh di negeri itu. Dasar Kian Gwan tumbuh menjadi makmur adalah kemampuan menyebarkan berbagai risiko pada berbagai bidang yang berbeda dan independen. Kemudian ada suatu kasus yang mendorong perusahaan dalam usaha yang berbeda untuk membentuk suatu "koperasi keuangan", tempat keuntungan dan kerugian ditampung. Apa yang telah disaksikan dalam negara-negara berkembang adalah pendistribusian kredit negara yang menjurus pada keuntungan sangat besar, katakanlah, dalam perdagangan impor, dan terjadinya kebangkrutan dalam banyak bidang produksi langsung. Tujuan kembar efisiensi pasar dan perkembangan telah secara gamblang menunjukkan ketaksesuaiannya, dan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik telah mendominasi faktor yang disebut duluan. Apabila perusahaan-perusahaan yang produktif dibiarkan hidup terus dalam tahun-tahun pertama ketika pasar dan keuntungan tak menentu, mereka harus menanggungnya dengan berbagai cara. Perusahaan dapat diminta menerima kredit negara di bawah satu syarat bahwa campuran itu dilakukan sesuai dengan peraturan. Di tempat sang pemilik, seorang pejabat pemerintah mengawasi untuk meyakinkan bahwa kredit tidak ditujukan ke arah usaha-usaha perdagangan spekulatif dalam jangka waktu pendek. Dewasa ini, risiko pergantian impor dan promosi ekspor yang harus ditanggung pengusaha barangkali lebih besar daripada masa-masa lalu, terutama di bawah keadaan inflasi dan penyesuaian nilai tukar secara periodik. Walaupun demikian, kebutuhan akan internalisasi tingkat pendapatan terhadap faktor-faktor ekonomi yang bermacam-macam, dan bukan hanya di dalam suatu garis produksi, akan lebih penting. Pengaturan seperti itu tak menghalangi kemungkinan kegagalan secara umum. Tapi kelihatannya, apabila itu terjadi, akan muncul malaise yang serius dalam keseluruhan bidang ekonomi. Bukan sekadar masalah mendorong para wiraswastawan yang tak berpengalaman dan bersikap hati-hati. Apabila kebijaksanaan seperti itu diikuti, kewiraswastaan pribumi, seperti terlihat di kios-kios pasar seluruh Asia Tenggara, bisa dikekang dan dimanfaatkan secara bijaksana. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini