Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kereta Muntit & Perempuan Cantik

Pelukis Sudarso, 61, memamerkan 34 karyanya di taman ismail marzuki. bermula dari sisa cat pemberian affandi, karyanya lahir sejak th 1946. tapi, karya-karyanya terakhir justru tampil tanpa ekspresi. (sr)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASANYA, seorang anak muda: yang mulai berkarya belum dibebani pertanyaan: untuk apa semua itu is kerjakan? Atau bagaimana seharusnya. Begitu saja semacam kekuatan dari dalam mendorongnya untuk berkarya. Tak jarang pula dorongan itu terpancing ke luar karena melihat orang lain mengerjakan itu. Demikianlah pelukis Sudarso, 61 tahun, yang akhir Nopember lalu memamerkan 34 karyanya di TIM. Ia terdorong melukis karena salah seorang langganan yang membeli telur dan susunya tak lain adalah Affandi. Hal itu konkritnya bermula ketika Affandi memberinya sejumlah sisa-sisa cat dalam tube-tube yang gepeng. Dan dorongan itu semakin menjadi ketika Affandi beserta anak dan isterinya berkunjung ke pondok Sudarso, dan menganjurkannya agar terus menggambar. Lukisan-lukisan Sudarto di TIM itu tidak semuanya baru: hanya 10 buah yang berasal dari tahun 70-an. Ini menarik. Kecuali menunjukkan -kepada publik perkembangan karya-karyanya, sekali gus mengundang simpati atas kerendah hatian - yang bukan mustahil tak disengajanya. Kenapa? Bisa dikatakan bahwa lukisan-lukisannya yang baik adalah yang dari tahun-tahun 60-an ke belakang. Memang benar karya-karyanya dari akhir 60-an dan 70-an lebih cantik dan bersih. Namun kecantikan di situ rasanya kecantikan karena make up. Bandingkan misalnya Kerera Muntit (1946), Suasana Tahun 46 (1947). Isteriku (1947), Nenekku (1959), Mbok Mangun (1946), dengan-Tri (1974), Potret Diri (1973), Perahu-perahu (1973 ). Baju Merah (1975) atau Mbak Ami (1975). Deretan yang pertama menunjukkan betapa sapuan-sapuan kuwasnya, komposisi warnanya dan tarikan-tarikan garisnya hidup, ekspresip-- dan wajar. Meskipun qua-teknik bisa disebut beberapa kelemahan: perspektif warna yang kurang, Mngga pohon-pohon dan kereta muntit rasanya pada satu bidang atau bentuk-bentuk pohon yang sama saja. Namun itu semua justru menimbulkan apa yang disebut ekspresi itu. Semuanya bukan terasa sebagai kelemahan namun sebagai suatu bentuk di mana emosi-emosi tersalur - ke luar. Dan pelukis yang kini biasanya disebut bergaya realistis ini bukan tak pernah punya kecenderungan lain. Lihat misalnya Nenekku (1959). Lukisan satu ini bidang-bidangnya punya kecenderungan kubistis yang kuat. Sedang warna-warnanya menunjukkan keberanian Sudarso untuk tidak sekedar menangkap dan menuangkan seperti apa adanya. Serasa Lilin Mungkin karena pribadinya yang tak begitu kokoh, di tengah perjalanannya sebagai pelukis, di tengah suasana "realisme sosialis" Lekra dan "romantisme dangkal" Basuki Abdullah tahun 60-an, justru muncul beban itu: untuk apa sebenarnya is melukis. Dan seperti yang kita saksikan sekarang ini, ia memilih yang terakhir - untuk melanjutkan hidupnya sebagai pelukis. Muncullah sejak itu perempuan-perempuan cantik dengan kain kebaya yang rasanya baru saja dibeli dari toko, dengan setting yang tak masuk akal pemandangan dusun, sawah dan sebagainya - bila dihubungkan dengan bentuk dan pose figurnya. Dan Sudarso yang kiranya tak pernah secara sungguh-sungguh belajar apa itu anatomi tubuh manusia, yang menangkap bentuk manusia hanya dari luarnya, memang hanya memberikan pose-pose yang kaku, bentuk,bentuk yang cantik namun serasa lilin: benda mati tak berdarah. Benar, satu dua is pernah melahirkan lukisan-lukisan yang halus, lembut warna dan garisnya. Misalnya Stagenan (1968). Namun agaknya hanya satu kebetulan. Juga beberapa pemandangannya yang menghadirkan warna-warna segar dengan goresan yang meyakinkan. Bukan hanya karena yang macam ini sedikit jumlahnya, tapi sebagai satu karya masih butuh dikembangkan - sedang perkembangan selanjutnya, kita tahu, begitulah .... Barangkali Sudarso masih bisa diharap, barangkali juga tidak. Yang jelas sejarah akan mencatat juga, bahwa is pernah menghasilkan karya-karya yang tak begitu buruk. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus