KOTA Jakarta tak pernah henti mengiming harapan pada jutaan orang. Tapi, tidak semua orang dapat mewujudkannya dalam kenyataan. Ada mereka yang mencoba menggapai harapan itu dengan membanting tulang di bawah sengatan terik matahari, ada menjangkaunya dari ruang berpendingin hawa di gedung jangkung, dan ada pula yang mengais di malam hari. Pintu rezeki memang seakan tak pernah tertutup di Jakarta. Ada saja celah usaha bagi mereka yang mau mencoba. Bahkan di bawah temaram lampu minyak, di sudut kota yang kumuh, tetap terbuka secercah harapan untuk mendapatkan seperiuk nasi bagi anak bini. Di tengah persaingan ketat, dan terkadang kejam, orang-orang yang tabah tetap dapat menjangkau harapan yang sederhana di Ibu Kota. Mereka yang memburu nafkah sampai menjelang subuh itu jumlahnya cukup banyak, baik laki-laki maupun perempuan, dan dengan bermacam ragam pekerjaan: mulai dari dokter jaga, patroli keamanan, sopir taksi, petugas pompa bensin, kuli jalan, buruh bangunan, tukang becak, pedagang sayur, pengamen, pedagang rokok, pramuria, sampai pedagang kue baskom. Tanpa mereka, barangkali denyut Jakarta sebagai kota metropolitan, yang dihuni 8 juta jiwa, tak terasa. Jakarta memang bisa menjadi medan perburuan rezeki yang empuk bagi orang-orang yang liat. Bagi mereka yang rapuh dan mudah putus asa, Ibu Kota Jakarta bisa terasa lebih kejam daripada "ibu tiri" Tapi, orang tak pernah kapok mencoba peruntungan di sini: Ketika malam tiba menyungkup Jakarta, kala sebagian warga kota tidur nyenyak bersama keluarga, sebagian lagi meninggalkan rumah untuk mengais rezeki. Dan, itu tak akan pernah berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini