PRAYUDI, nama yang selalu dikaitkan dengan rancangan busana yang elegan dan rapi. Nama ini juga seakan identik dengan kain ikat dan sasirangan -- dua dari sekian banyak jenis kain tradisional yang digarap dan diangkat Prayudi ke dalam khazanah dunia mode. Dengan bekal pendidikan Akademie Bekleidung Technicker und Mode Aschaffenburg (1971), Akademie Mueller und Sohn Duesseldorf (1971) dan magang pada studio Margo Strauss sebagai pemotong pola, setelah kembali ke Indonesia, di awal tahun 1970-an Prayudi menggarap batik katun bersama PN Sandang dan Taman Busana. Masih dengan batik tulis katun, ia diminta merancang gaun untuk Ratu Juliana yang berkunjung kemari, pada 1972. Di tahun-tahun berikutnya Prayudi masih berkesempatan mendandani ibu-ibu negara lain, seperti Imelda Marcos, Nyonya Gough Whitlam, Ne Win, dan Nancy Reagan. Kariernya sebagai perancang profesional sejak 1975, saat ia bersama dua alumnus Jerman lainnya, Lily Salim dan Syamsidar Isa, mendirikan Studio one yang memproduksi pakaian jadi. Kemudian Studio One bekerja sama dengan beberapa perusahaan batik terkenal menjadi pelopor produksi konfeksi dengan paduan warna yang material yang lebih dinamis, tanpa kehilangan ekspresi dan karakter dari batik. Hasilnya antara lain batik goyor dengan warna-warni yang cemerlang. Tiga tahun kemudian, ia memiliki usaha yang independen. Dan desainnya mengarah lebih canggih, dengan ciri khasnya struktur bahu yang cenderung tajam, berbicara. Tetapi si lajang yang pernah bercita-cita menjadi arsitek, namun mengalihkan bidang studinya karena merasa kurang sesuai -- antara lain karena harus kerja praktek memang dinding bata dan mengangkut batu bersama buruh-buruh Jerman -- selalu gelisah. Ia merasa jenuhan batik dan berpaling mula pada kain lurik, kemudian ke kain tenung yang kala itu hanya diproduksi sebagai bahan selendang dan sarung. Sayangnya, kain tradisional tersebut selain kurang rapat tenunannya untuk busana modern, juga lebar bahannya hanya 60-70 senti, hingga kurang ekonomis dari segi desain. Untuk mengatasi kesulitan itu, Prayudi mencoba melacak sendiri perajin dan berupaya agar ada perbaikan dalam ukuran maupun desain motif kain. Usaha pribadi yang konon menghabiskan biaya dan waktu yang tak sedikit itu ternyata belum memuaskan. Bekerja sama dengan Departemen Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Kecil, modifikasi tenunan mulai membuahkan hasil. Berbeda dengan rekan-rekan perancang yang lebih suka mengambil jalan pintas, mem-print motif tradisional di atas kain ribuan meter jumlahnya, Prayudi memilih membagi pengalaman dan pengetahuannya tentang warna, motif, dan teknik tenun pada para perajin di Yogya, Bali, Lombok, Ujungpandang, dan Kalimantan. Berpegang pada proses pengerjaan dengan tangan, tak heran kalau rancangannya menjadi tidak murah, dan ia punya alasan untuk itu. "Orang sering tak percaya Prayudi tak punya bengkel tenun sendiri," katanya santai. Sebab, ia merasa tugasnya adalah mempromosikan industri kecil. Mengangkatnya menjadi sesuatu yang bernilai jual tinggi, sehingga menambah lapangan kerja. Yang telah terjadi di Desa Sulang, Klungkung, di Bali, contohnya. Sebelum Prayudi, yang bekerja sama dengan Industri Kecil dan UNDP (Program Pembangunan PBB) menjamah salah satu desa binaan itu, wanita-wanitanya bekerja sebagai buruh kasar pengayak pasir bahan bangunan. Dengan alasan tidak ingin terikat pada material tertentu dan juga tak ingin mengikat perajin, Prayudi tak pernah memonopoli desain -- suatu hal yang nyaris tak masuk akal. Tak takut ditiru orang? "Toh akan ditiru juga. Kalau begini, perajin jadi ada kerjaan, saya masih bisa desain lagi, 'kan... ?" katanya, selalu dengan senyum. Idealismenya kuat dan sering membuat kejutan. Di awal tahun 1980-an, Prayudi, yang kebanyakan kliennya adalah wanita karier, mencoba membebaskan mereka dari tirani kain sarung yang ketat, dan kebaya pas di tubuh yang menghambat gerak-gerik mereka yang aktif. Apa yang kemudian dikenal sebagai "Kebaya Prayudi" adalah bentuk kebaya yang dimodifikasi. Penampilannya lebih segar, dengan dengan gembung berlipit-lipit dari bahan organdi dengan warna-warni cerah, longgar, dikenakan dengan sarung batik sutera yang hanya dililit, disimpul, atau membentuk draperi, dan pemakaiannya tak perlu selalu menggunakan sanggul. Satu plus lagi, kebaya itu bisa menjadi blus bila dipakai di atas rok, berarti ekonomis. Tidak semua kalangan, terutama yang konservatif, bisa menerima dandanan semacam itu, tapi jenis kebaya ini ditiru secara luas, baik oleh tua maupun muda. Keahliannya dalam ketepatan pola dan tailoring yang feminin tak hanya ditemukan pada busana eksklusif, tapi juga pada rancangan busana madya bagi kalangan yang lebih luas. Untuk itu Prayudi menerima penghargaan Aparal tahun 1985/1986. Dan insya Allah kalau pada minggu ini ia mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden -- mengingat keterlibatannya secara konsisten selama belasan tahun dengan usaha tekstil tradisional -- itu memang sudah sepantasnya. Ananda Moersid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini