Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kian Jauh dari Keajaiban Saman

Sekuel Bilangan Fu yang menautkan kisah Calon Arang dan misteri Gerakan 30 September 1965. Kata-kata telah padam, kebetulan-kebetulan yang pragmatis.

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manjali dan Cakrabirawa
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010
Tebal: x + 252 halaman

KEAJAIBAN mungkin hanya datang satu kali. Dalam industri musik, kita menyebutnya one hit wonder. Artinya, setelah dwilogi Saman dan Larung, tampaknya kita harus melupakan kemampuan Ayu Utami menghasilkan kalimat-kalimat sebening kristal dan ikhlas menerima fase kreativitas Ayu sekarang.

Novel Manjali dan Cakrabirawa, meski lancar, lebih datar ketimbang induknya sendiri, Bilangan Fu. Persamaannya, kedua novel ini senang berkutat pada kalimat yang berupaya mengejar daya puitis, tapi pembaca malah terjerembap, misalnya: ”Dia membiarkan dirinya merambang di ketinggian, sementara gravitasi menyusun ulang kesadarannya...” (halaman 218) atau ”… bayangan seringkih jelaga” (halaman 4).

Novel keempat Ayu ini melanjutkan kisah tiga sahabat yang saling memendam hasrat: Parang Jati si jenius 12 jari, Marja yang binal, dan Sandi Yuda yang bergaya jantan seperti tentara. Ketiganya kini menyusuri Kediri, Jawa Timur, ke hutan dan kampung yang memendam peninggalan candi-candi abad ke-11 Masehi. Yang membawa mereka adalah Jacques Cherer, seorang arkeolog tua Prancis yang kenes yang selalu me lontarkan ”o la la” di setiap ucapannya.

Jacques, yang mengenal Suhubudi, mengajak Parang Jati menemukan candi hilang titinggal Calon Arang janda ahli teluh yang hantunya memakan usus dan paru-paru manusia. Bagaimana cerita terkenal leak Bali ini bisa sampai ke Jawa? Menurut Ayu, dalam perkamen tua yang tersimpan di pura-pura, Calon Arang hidup di zaman Kerajaan Kahuripan ketika diperintah Raja Airlangga (990-1049).

Dalam fantasi Ayu, cerita Calon Arang ini berhubungan dengan perpecahan TNI Angkatan Darat yang berujung pada ”kudeta” di malam 30 September 1965. Calon Arang punya jimat yang hanya bisa dikalahkan ”ilmu putih”, yaitu Bhairawa Cakra. Sementara itu, penculik tujuh jenderal pada malam horor 1965 adalah pasukan elite pengawal Presiden Soekarno: Cakrabirawa.

Kebetulan? Novel ini memang merayakan banyak kebetulan. Nama belakang Marja sama dengan nama belakang putri Calon Arang, Ratna Manjali, meski tanpa penjelasan mengapa orang tuanya memberi nama itu. Sandi Yuda, yang pulang ke Bandung untuk berlatih panjat tebing bersama pasukan elite tentara. Yuda bertemu dengan teman baru yang sangat terobsesi pada jimat Calon Arang. Keduanya merencanakan perampokan arca Syiwa Bhairawa yang ditemukan Jacques dan Parang Jati.

Dua peristiwa berbeda tempat itu dipersatukan oleh pencarian kuburan anggota Cakrabirawa, seorang suami anggota Gerakan Wanita Indonesia yang ditemukan tak sengaja oleh Marja. Kebetulan-kebetulan yang berhubung an itu tak hanya soal besar, tapi me rembet pada lagu Wakil Rakyat (Iwan Fals) yang diputar Jati di mobil men cuplik lagu Genjer-genjer. Puncak kebetulan lain: sang tentara yang terobsesi itu ada hubungan dengan anggota Gerwani itu.

Menggabungkan sejarah, mitos, klenik, dan anasir-anasir yang menyer tainya tentu bukan pekerjaan mudah. Butuh referensi dan racikan cerita yang apik. Sayangnya, di bagian inilah Ayu terpelecok dengan menjadikan data yang ia sajikan bergaya Wikipedia yang dihadirkan secara repetitif. Celakanya lagi, informasi itu tak baru benar. Kita diceramahi soal G-30-S, soal Calon Arang, soal kerajaan Jawa Kuno, dan soal nama Cakrabirawa yang sejati nya diberikan Bung Karno pada 1962 karena terilhami nama senjata ampuh milik Batara Kresna dalam lakon wa yang purwa. Meski informasi ensiklopedia ini tidak tumpah-ruah seperti pada Bilangan Fu, agaknya kita harus menerima, inilah gaya Ayu yang sudah di pilihnya. Atau katakanlah, sebuah fase kreativitas baru: di dalam fiksi, Ayu ingin menjelas-jelaskan isi.

Yang menarik justru kisah cinta segitiga antara Yuda, Jati, dan Marja. Marja bukan lagi sosok binal yang penasaran apakah penis Jati bercabang seperti jari-jarinya. Ia gadis 19 tahun yang bisa menahan godaan tak bersetubuh dengan Jati kendati sudah tidur satu sleeping bag. Di dalam Bilangan Fu, segitiga itu digambarkan samar dan justru menggairahkan karena kita diso dori adanya berahi terpendam antara Jati dan Yuda. Dalam Manjali, Ayu justru menegaskan sebuah segitiga ”konvensional”: dua lelaki dan satu perempuan yang meletupkan cinta remaja.

Peristiwa-peristiwa dalam Manjali terlalu padu mendukung akhir cerita. Seolah-olah hidup ini sebuah sirkuit yang kelihatan pangkal dan ujungnya. Bilangan Fu juga ajek dengan peristiwa yang bersambungan satu sama lain, tapi plot dan subplotnya kerap mengejutkan. Misteri fu dan hu serta disunat nya Jati oleh Suhubudi pada suatu malam yang keramat itu masih meneror hingga kini.

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus