DALAM suka dan duka kita selalu bersama dalam cinta dan mimpi
kita jalan sendiri. Itulah motto sebuah komplotan remaja, yang
muncul di mjalah Hai sejak nomor 3 tahun I, 1977, yang Sabtu
sore ini muncul pula dalam siaran TVRI. Komplotan Kiki.
Sudah sejak lama sebetulnya, Arswendo Atmowiloto, pengarang Kiki
dan Komplotannya itu, diminta pihak TVRI untuk membuat cerita
yang bisa di-tvkan -- dan kalau bisa merupakan cerita serial.
Pikir punya pikir akhirnya 'bapak'nya Kiki itu menyodorkan Kiki.
"Imung mungkin lebih seru ceritanya, tapi juga lebih sulit
pelaksanaannya," kata Arswendo. Imung adalah tokoh detektif
cilik dalam cerita serial Hai juga.
Sekitar setengah jam siaran TVRI sore ini adalah hasil latihan
sekitar 4 bulan. Arswendo, yang rupanya akrab dengan Gelanggang
Remaja Bulungan, setelah pihak TVRI setuju dengan cerita Kiki,
mencari sutradara yang sanggup menggarap ini di gelanggang
remaja tersebut.
Aji, atau Arya Dwipayana, anak muda yang suka menulis cerita
pendek di berbagai majalah, juga seorang sutradara remaja,
menyanggupinya. Kemudian dimulailah pencarian pemain. Caranya,
dengan melihat-lihat para remaja yang suka berkumpul-kumpul di
Gelanggang Remaja Jakarta Selatan itu. Kalau ada yang mereka
kira cocok untuk salah satu peran, langsung ditegur, diminta
kesediaannya bermain sandiwara.
Mungkin karena kisah Kiki dan komplotannya telah demikian
populer, praktis tak ada yang menolak tawaran. Dan pilihan Aji
bersama Arswendo rupanya selalu kena. Cuma, agak susah mencari
pemeran Kiki, memang. Tokoh cewek yang menjadi pemimpin
komplotan itu memang khas. Tingkah lakunya mirip cowok alias
urakan. Penampilannya cerdas sekaligus berwibawa. "Beberapa
kali pemeran Kiki diganti, akhirnya diperoleh yang agak mirip
dengan yang dalam cerita, tutur Arswendo.
Menjinakkan Ular
Rani Nuraini, siswi SMAN VI kelas I IPA akhirnya ditemukan.
Ketika dia hendak telepon di boks telepon di Gelanggang Remaja
Bulungan itu -- yang memang berdekatan dengan sekolahnya -- cara
jalannya, sikapnya dan postur tubuhnya rupanya menarik perhatian
Aji. Ternyata anak ini bersedia dicoba. "Mula-mula untuk
coba-coba saja, ternyata main sandiwara itu menyenangkan," kata
Rani. Ia memang tak berambut kribo seperti Kiki dalam cerita,
tapi itu toh, gampang diatasi.
Rani, si bungsu dari tiga bersaudara anak seorang karyawan
swasta ini, rupanya memang boleh. Ia tergabung dalam kelompok
pencinta alam di sekolahnya. Ia belajar menjinakkan ular dari
seorang guru yang diundang sekolahnya. "Tapi saya tak suka
berkomplot seperti Kiki dalam cerita itu, lho," katanya sambil
makan bakso di halaman gelanggang itu.
Sebagai pembaca setia Kiki sejak duduk di SMP, Rani menemukan
satu hal yang tak cocok antara sekolah dalam cerita dan sekolah
sebenarnya. "Di sekolah antara guru dan murid tak seakrab yang
dalam kisah Kiki itu," ujarnya. Jadi anak ini memang boleh.
Untuk pemain cowok, Aji tak mendapat kesulitan benar. Ia tinggal
memilih para pemain remaja yang tergabung dalam berbagai grup
teater remaja. Pun dalam latihan, pemain cowok tak banyak
membutuhkan bimbingan. Lain halnya dengan yang memerankan para
cewek, yang memang hampir semuanya belum pernah sekali pun
menginjak panggung sandiwara.
Betapa semangatnya anak-anak itu berlatih salah satu contohnya
adalah Vita Julianti siswa SMAN IX kelas III IPS, yang
memerankan Ida. Dalam satu adegan dalam cerita yang sedang
dipersiapkan, bukan yang disiarkan sore ini, ada Ida lagi
menjahit. Wah, padahal Vita tak begitu trampil menjahit. Maka ia
pun belajar menjahit, bahkan berniat masuk kursus menjahit.
Adapun Aji, yang baru tahun lalu lulus dari SMAN VI jurusan IPS,
sejak 1978 adalah sutradara Teater X, grup teater yang
didirikannya, dan tahun itu menjadi salah satu pemenang dalam
Festival Teater Remaja. "Nggak tahu dari mana saya bisa menjadi
sutradara. Begitu saja," cerita anak yang kelihatannya lemah
lembut, tapi ternyata bisa tegas kalau sedang memimpin latihan.
Pengarah acara sandiwara ini, Afiudin, agaknya optimistis juga.
"Sesudah Keluarga Marlia Hardi cerita ini diharapkan bisa jadi
cerita serial di TVRI," katanya. Ia berusaha untuk tak banyak
ikut mengatur adegan. Dan itulah yang diharapkan dari Aji maupun
Arswendo. "Saya tak ribut soal honorarium, tapi saya harap
pihak TVRI tak banyak ikut campur, biar murni gagasan sutradara
dan pemain sendiri," kata Redaksi Hai ini.
Kalau membaca kisah Kiki dan Komplotannya itu sendiri, memang
menarik. Arswendo mampu mengungkap bahasa anak-anak sekarang.
Dan tanpa nada menyuguhkan cerita yang penuh petuah, toh serial
Kiki juga bukan cerita tanpa moral. Dalam cerita yang di-tv-kan
ini, Porno itu Peristiwa Kimia, misalnya, adegan rapat guru
menarik. Dialog di situ terasa dewasa, tak sekedar
menyalahkan murid. Para bapak dan ibu guru itu pun menyadari
bahwa buku porno bisa saja diperoleh muridnya di mana saja.
Jadi harus ada hukuman yang adil meski buku porno itu akhirnya
menjadi abu dibakar di halaman sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini