Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kiki meloncat ke TV

Cerita serial dalam majalah "hai" kiki dan komplotannya, karangan arswendo atmowiloto di tv-kan. pihak tvri sudah lama minta arswendo atmowiloto membuat cerita yang bisa difilmkan.(ter)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM suka dan duka kita selalu bersama dalam cinta dan mimpi kita jalan sendiri. Itulah motto sebuah komplotan remaja, yang muncul di mjalah Hai sejak nomor 3 tahun I, 1977, yang Sabtu sore ini muncul pula dalam siaran TVRI. Komplotan Kiki. Sudah sejak lama sebetulnya, Arswendo Atmowiloto, pengarang Kiki dan Komplotannya itu, diminta pihak TVRI untuk membuat cerita yang bisa di-tvkan -- dan kalau bisa merupakan cerita serial. Pikir punya pikir akhirnya 'bapak'nya Kiki itu menyodorkan Kiki. "Imung mungkin lebih seru ceritanya, tapi juga lebih sulit pelaksanaannya," kata Arswendo. Imung adalah tokoh detektif cilik dalam cerita serial Hai juga. Sekitar setengah jam siaran TVRI sore ini adalah hasil latihan sekitar 4 bulan. Arswendo, yang rupanya akrab dengan Gelanggang Remaja Bulungan, setelah pihak TVRI setuju dengan cerita Kiki, mencari sutradara yang sanggup menggarap ini di gelanggang remaja tersebut. Aji, atau Arya Dwipayana, anak muda yang suka menulis cerita pendek di berbagai majalah, juga seorang sutradara remaja, menyanggupinya. Kemudian dimulailah pencarian pemain. Caranya, dengan melihat-lihat para remaja yang suka berkumpul-kumpul di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan itu. Kalau ada yang mereka kira cocok untuk salah satu peran, langsung ditegur, diminta kesediaannya bermain sandiwara. Mungkin karena kisah Kiki dan komplotannya telah demikian populer, praktis tak ada yang menolak tawaran. Dan pilihan Aji bersama Arswendo rupanya selalu kena. Cuma, agak susah mencari pemeran Kiki, memang. Tokoh cewek yang menjadi pemimpin komplotan itu memang khas. Tingkah lakunya mirip cowok alias urakan. Penampilannya cerdas sekaligus berwibawa. "Beberapa kali pemeran Kiki diganti, akhirnya diperoleh yang agak mirip dengan yang dalam cerita, tutur Arswendo. Menjinakkan Ular Rani Nuraini, siswi SMAN VI kelas I IPA akhirnya ditemukan. Ketika dia hendak telepon di boks telepon di Gelanggang Remaja Bulungan itu -- yang memang berdekatan dengan sekolahnya -- cara jalannya, sikapnya dan postur tubuhnya rupanya menarik perhatian Aji. Ternyata anak ini bersedia dicoba. "Mula-mula untuk coba-coba saja, ternyata main sandiwara itu menyenangkan," kata Rani. Ia memang tak berambut kribo seperti Kiki dalam cerita, tapi itu toh, gampang diatasi. Rani, si bungsu dari tiga bersaudara anak seorang karyawan swasta ini, rupanya memang boleh. Ia tergabung dalam kelompok pencinta alam di sekolahnya. Ia belajar menjinakkan ular dari seorang guru yang diundang sekolahnya. "Tapi saya tak suka berkomplot seperti Kiki dalam cerita itu, lho," katanya sambil makan bakso di halaman gelanggang itu. Sebagai pembaca setia Kiki sejak duduk di SMP, Rani menemukan satu hal yang tak cocok antara sekolah dalam cerita dan sekolah sebenarnya. "Di sekolah antara guru dan murid tak seakrab yang dalam kisah Kiki itu," ujarnya. Jadi anak ini memang boleh. Untuk pemain cowok, Aji tak mendapat kesulitan benar. Ia tinggal memilih para pemain remaja yang tergabung dalam berbagai grup teater remaja. Pun dalam latihan, pemain cowok tak banyak membutuhkan bimbingan. Lain halnya dengan yang memerankan para cewek, yang memang hampir semuanya belum pernah sekali pun menginjak panggung sandiwara. Betapa semangatnya anak-anak itu berlatih salah satu contohnya adalah Vita Julianti siswa SMAN IX kelas III IPS, yang memerankan Ida. Dalam satu adegan dalam cerita yang sedang dipersiapkan, bukan yang disiarkan sore ini, ada Ida lagi menjahit. Wah, padahal Vita tak begitu trampil menjahit. Maka ia pun belajar menjahit, bahkan berniat masuk kursus menjahit. Adapun Aji, yang baru tahun lalu lulus dari SMAN VI jurusan IPS, sejak 1978 adalah sutradara Teater X, grup teater yang didirikannya, dan tahun itu menjadi salah satu pemenang dalam Festival Teater Remaja. "Nggak tahu dari mana saya bisa menjadi sutradara. Begitu saja," cerita anak yang kelihatannya lemah lembut, tapi ternyata bisa tegas kalau sedang memimpin latihan. Pengarah acara sandiwara ini, Afiudin, agaknya optimistis juga. "Sesudah Keluarga Marlia Hardi cerita ini diharapkan bisa jadi cerita serial di TVRI," katanya. Ia berusaha untuk tak banyak ikut mengatur adegan. Dan itulah yang diharapkan dari Aji maupun Arswendo. "Saya tak ribut soal honorarium, tapi saya harap pihak TVRI tak banyak ikut campur, biar murni gagasan sutradara dan pemain sendiri," kata Redaksi Hai ini. Kalau membaca kisah Kiki dan Komplotannya itu sendiri, memang menarik. Arswendo mampu mengungkap bahasa anak-anak sekarang. Dan tanpa nada menyuguhkan cerita yang penuh petuah, toh serial Kiki juga bukan cerita tanpa moral. Dalam cerita yang di-tv-kan ini, Porno itu Peristiwa Kimia, misalnya, adegan rapat guru menarik. Dialog di situ terasa dewasa, tak sekedar menyalahkan murid. Para bapak dan ibu guru itu pun menyadari bahwa buku porno bisa saja diperoleh muridnya di mana saja. Jadi harus ada hukuman yang adil meski buku porno itu akhirnya menjadi abu dibakar di halaman sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus