KIKI mungkin tak akan pernah lahir, andai saja 'bapak'nya
mempunyai sekedar biaya untuk pergi ke Bandung. Arswendo
Atmowiloto, 32 tahun, orang Solo satu dari dua orang lulusan
SMA se-Provinsi Ja-Teng yang diterima di Akademi Postel Bandung,
1968, ternyata tak bisa ke Bandung pada waktunya, karena tak
punya uang. "Waktu itu saya sedih sekali," katanya.
Tapi anak muda yang wajahnya selalu nampak gembira ini, yang
ayahnya meninggal waktu ia masih 5 tahun, tak hanya bersedih.
Gagal melanjutkan sekolah, ia menengok bakat menulisnya --
setelah sebelumnya ia berusaha kerja apa saja, termasuk menjadi
penjaga sebuah pabrik bihun dan pemungut bola tenis.
Sejumlah cerita pendek, terutama dalam bahasa Jawa kemudian
muncul dari tangannya, kebanyakan ditampung di majalah bahasa
Jawa Mekarsari "Yogyakarta. Dan hidupnya kemudian agak teratur
setelah sebuah koran mingguan Dharma Kanda terbit di Solo dan
Arswendo masuk sebagai salah seorang wartawannya.
Sampai kemudian anak ketiga dari enam bersaudara ini tahu, bahwa
mengandalkan koran daerah sembari menulis cerita, hidup pun
bagaikan sawah tadah hujan -- apalagi setelah ia menikah, 1971.
Maka dia pun menengok Jakarta. Kebetulan ada panggilan dari
sahabatnya sastrawan Julius Sijaranamual.
Ceritanya, 1973 Julius mendirikan majalah humor Astaga, dan ia
minta Arswendo menjadi wakil pemimpin redaksi. Pindahlah
Arswendo ke ibukota. Apa boleh buat, majalah itu tak berusia
panjang. Kemudian kelompok harian Kompas yang waktu itu
mempunyai majalah Midi, menerimanya. Tapi, pun majalah remaja
ini tak berusia panjang.
Matinya Midi melahirkan Hai, majalah remaja juga. Dalam Hai
inilah Arswendo melahirkan Kiki dan Komplotannya. Persisnya
gagasan awalnya dicetuskan oleh rekannya yang kepengin ada
cerita dengan tokoh cewek.
Arswendo setelah lulus dari SMA mengaku tak pernah menengok
suasana sekolah. Toh, Kiki hidup dengan lancar dan wajar.
"Bahkan ada surat pembaca yang mengatakan suasana sekolah Kiki
kok seperti suasana SMAN II Solo," tutur Arswendo yang memang
lulusan SMAN II Solo. "Padahal itu tak saya sengaja. Saya
bercerita begitu saja."
Detektif Jawa
Adapun Imung, detektif cilik yang juga menjadi cerita serial di
Hai, sebenarnya telah diciptakan Arswendo sebelum ada majalah
remaja itu. Dan jauh sebelumnya, akhir tahun 60-an ia telah
menulis cerita detektif bersambung dalam bahasa Jawa di majalah
Mekarsari ia mengaku banyak membaca cerita detektif dari Agatha
Christie. Juga suka sekali mengikuti Sherlock Holmes. "Tapi
yang saya sukai cerita detektif bahasa Jawa karangan Suparta
Brata yang biasanya ada dalam majalah Panjebar Semangat,"
ujarnya.
Sebenarnya tak hanya cerita remaja yang berhasil dilahirkannya.
Tiga naskah dramanya memenangkan sayembara penulisan naskah
drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1974 & 1975). Ia pun dulu
sering menulis cerita pendek di Mingguan Mahasiswa Indonesia,
Bandung.
Kini serial Kiki agak macet. Soalnya kini Kiki sudah lulus SMA
"Kalau Kiki sebagai mahasiswa masih bertingkah seperti sewaktu
di SMA, 'kan nggak lucu lagi," kata Arswendo. Itulah sebabnya,
tak selalu Hai muncul dengan Kiki, akhir-akhir ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini